Menuju konten utama

Perang Dagang dengan AS Buat Industri Manufaktur Cina Kian Menurun

Industri manufaktur Cina terus mengalami penurunan di tengah situasi perang dagang dengan AS.

Perang Dagang dengan AS Buat Industri Manufaktur Cina Kian Menurun
Investor memantau layar yang menunjukkan Indeks Komposit Shanghai di sebuah broker di Beijing, Senin, 31 Agustus 2015. Dari Australia hingga Zambia, Chili hingga Indonesia, terasa efeknya akibat perlambatan ekonomi Cina yang tajam dirasakan dalam bentuk harga komoditas yang tertekan, pengangguran yang meningkat dan harga rumah yang menyusut. AP PHOTO / Ng Han Guan

tirto.id - 'Made in China 2025' menjadi brand utama Cina dalam mendominasi sektor hi-tech [teknologi tinggi] dunia. Namun, perang dagang dengan Amerika Serikat serta hukum dan regulasi yang dimilikinya mengganggu perkembangan sektor tersebut.

Dilansir dari SCMP, Cina berambisi mengembangkan hi-tech sejak tahun 2015 dengan mempromosikan sepuluh unggulan industri mutakhir. Yakni: robot, peralatan maritim, tranportasi kereta api, energi terbarukan kendaraan, misi luar angkasa, biomedis, material baru, teknologi informasi, pembangkit listrik, dan teknologi pertananian.

Namun, data dari Biro Statistik Nasional Cina pada Senin (20/1/2019) menunjukkan produksi robot mereka turun sebesar 12,2 persen pada bulan Desember. Penurunan ini bahkan jadi kelanjutan, setelah hal yang sama (7,0 persen) terjadi pada bulan November.

Pertumbuhan sektor energi terbarukan di bidang permobilan yang disubsidi pemerintah Cina melambat. Perlambatan membuat angkanya hanya berada di 15,5 persen pada bulan Desember, dari 24,6 sebulan sebelumnya.

Produksi ini sebenarnya berintegrasi dengan produk lainnya, seperti sirkuit terpadu, semikonduktor yang memberi daya pada telepon pintar, komputer, dan peralatan lainnya. Serta produk industri dan militer kelas atas juga mengalami penurunan 2,1 persen pada bulan Desember.

Setidaknya, seluruh produk sektor industri Cina meliputi manufaktur, tambang, utilitas, dan pembangkit tenaga listrik menyumbang Produk Domestik Bruto sebesar 40 persen. Angka ini naik 6,2 persen pada tahun 2018 dan turun 6,6 persen pada tahun 2017.

Menurut alisis Nomura, pertumbuhan industri ini didukung oleh kenaikan di sektor pertambangan, yang mengimbangi lambatnya sektor manufaktur dan utilitas.

Adapun penyebab utama dari jatuhnya industri manufaktur dan utilitas adalah perang dagang dengan AS. Situasi ini membuat tarif AS yang tinggi memotong jumlah permintaan. Dampaknya, kepercayaan bisnis dan konsumen menurun, begitu pula kegiatan ekonomi. Ini dibuktikan dengan ekspor Cina yang turun 4,4 persen pada bulan Desember dibandingkan tahun sebelumnya.

Cina berharap dapat mempromosikan produk manufaktur dan ekspor teknologi tingkat tingginya. Namun, lagi-lagi permintaan global yang lemah dan perang dagang dengan AS menghambat itu.

Menurut Iris Pang, seorang ekonom Cina, salah satu sektor yang ingin dipimpin Cina dalam hal pembuatan robot juga mengalami penyusutan.

“Produsen produk ini [robot] mungkin dipertimbangkan untuk di buat di tempat lain [guna menghindari tarif] karena perang dagang,” kata Iris pada SCMP.

Ia menambahkan, Vietnam menjadi pilihan yang baik dalam mengurangi pengeluaran modal.

Angus Chan, analis industri mobil yang berbasis di Shanghai mengatakan pertumbuhan energi terbarukan kendaraan juga mengalami penurunan pertama kalinya dalam hampir 30 tahun terakhir. Ini dapat dilihat dari penjualan mobil yang menjadi indikator utama untuk melihat konsumsi Cina. Sektor ini menuntut dukungan yang besar dengan pemberian subsidi dari pemeintah.

“Pemerintah telah meningkatkan pengeluaran dalam hal mendukung berbagai industri [yang diakibatkan oleh perlambatan ekonomi] … juga peningkatan subsidi di sektor otomotif tradisional akan menambah banyak tekanan pada defisit anggaran,” ucap Chan.

Meski begitu, menurut laporan dari JP Morgan, penghambat kemajuan Cina faktor pentingnya tetap karena permusuhan Cina dengan AS. Reformasi Undang-Undang AS tentang investasi asing telah membatasi rencana Cina meningkatkan pangsa pasarnya di sektor teknologi tinggi.

AS mematok tariff barang-barang Cina yang masuk ke negaranya senilai 250 miliar dolar AS. Mereka juga mengancam akan melipatkan bea cukai dua kali lipat karena praktik perdagangan tidak adil Cina tersebut. Sementara, Cina menawarkan tarif 110 miliar dolar untuk barang-barang AS yang ditargetkan menjadi industri penting seperti pertanian.

Setelah pertemuan Presiden AS Donald Trump dan Presiden Cina Xi Jinping pada bulan Desember, disepakati bahwa akan ada waktu tiga bulan untuk mencari kesepakatan.

Menurut berita yang ditulis Reuters, tak hanya di Cina, serangkaian data dari indeks pembelian pada bulan Desember juga menunjukkan penurutan dalam bidang manufaktur di seluruh dunia.

"Kami benar-benar melihat perlambatan global pada tahun ini. Khususnya di Asia dan negara-negara yang berorientasi ekspor mengalami gangguan," kata Irene Cheung, ahli strategi Asia di ANZ sebagaimana dikutip Reuters.

Baca juga artikel terkait PERANG DAGANG atau tulisan lainnya dari Isma Swastiningrum

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Isma Swastiningrum
Editor: Herdanang Ahmad Fauzan