Menuju konten utama
5 November 1930

Peran Eijkman dalam Penemuan Vitamin dan Pemberantasan Beri-beri

Eijkman dan Grijns menengarai adanya substansi antiberi-beri dalam kulit ari beras. Teori ini kemudian menelurkan istilah vitamin.

Peran Eijkman dalam Penemuan Vitamin dan Pemberantasan Beri-beri
Ilustrasi Mozaik Christiaan Eijkman. tirto.id/Sabit

tirto.id - Sejak beri-beri pertama kali diidentifikasi oleh Jacobus Bontius di Maluku pada 1629, hingga akhir abad ke-19 para ilmuwan medis percaya bahwa penyakit ini disebabkan oleh infeksi kuman. Teori ini lalu terpatahkan oleh riset-riset Christiaan Eijkman dan Gerrit Grijns pada 1890-an. Keduanya punya teori bahwa ada hubungan antara beri-beri dan komposisi makan (diet) masyarakat Hindia Belanda.

Pada 1898, Eijkman yang mengamati gejala beri-beri pada ayam memublikasikan risetnya. Saat diberi pakan beras putih halus, ayam-ayamnya menunjukkan gelagat polineuritis—kelumpuhan saraf dan otot—seperti yang tampak pada penderita beri-beri. Gejala itu perlahan sembuh ketika pakan diganti dengan beras giling kasar.

Melalui serangkaian riset lanjutan di laboratoriumnya di Weltevreden (Gambir), direktur Sekolah Dokter Jawa ini sampai pada kesimpulan bahwa ada semacam zat racun dalam beras. Ia juga menyebut bahwa penawar racun itu terdapat dalam kulit ari beras. Mungkin itu sebabnya ayam-ayamnya yang sakit bisa pulih setelah diberi pakan beras giling kasar.

Grijns menyempurnakan teori Eijkman dengan meneliti kandungan zat dalam beras. Ia tak menemukan adanya zat beracun dalam beras, baik yang digiling halus maupun kasar. Namun ia memang menemukan suatu substansi dalam kulit ari beras yang diduga bisa mencegah beri-beri.

Penelitian Eijkman dan Grijns menunjukkan bahwa kurangnya nutrisi makanan itulah yang menyebabkan manusia bisa terjangkit beri-beri. Tetapi, keduanya belum bisa mengidentifikasi secara pasti substansi macam apa yang terkandung dalam kulit ari beras itu.

Pemahaman terhadap substansi penting ini baru menemui titik terang pada 1901 melalui temuan tryptophan oleh biokimiawan Inggris Frederick Gowland Hopkins. Tryptophan adalah jenis asam amino esensial yang terdapat dalam protein. Zat ini hanya bisa diperoleh dari bahan makanan karena tubuh tak memproduksinya.

Ensiklopedia Britannica menyebut dari riset-riset lanjutan pada 1906-1907 Hopkins menyadari bahwa manusia dan hewan tak dapat hidup hanya dengan mengonsumsi protein, lemak, dan karbohidrat. Manusia juga memerlukan zat semacam tryptophan untuk pertumbuhannya.

Temuan Hopkins baru dipublikasikan dalam sebuah jurnal fisiologi pada 1912. Di tahun yang sama, biokimiawan Polandia Casimir Funk memperkenalkan istilah “vitamine” untuk menyebut substansi penting itu.

Awalnya Funk meriset senyawa pencegah beri-beri yang terkandung dalam bekatul pakan merpatinya. Hasilnya sama belaka dengan temuan-temuan Eijkman-Grijns di Hindia Belanda. Funk percaya bahwa beberapa penyakit manusia terjadi karena tubuh kekurangan senyawa jenis ini.

Karena senyawa ini mengandung komponen nitrogen yang dikenal sebagai “amine”, Funk lantas menyebutnya sebagai “vital amine” yang kemudian populer disingkat menjadi “vitamine”. Kini senyawa ini dieja sebagai “vitamin”. Huruf E diakhir namanya dihapus karena dalam riset-riset lanjutan diketahui tidak semua senyawa penting ini mengandung amine.

Penemuan vitamin adalah tonggak penting dalam bidang fisiologi. Namun, masih diperlukan beberapa riset mendalam untuk mengungkap jenis vitamin apa yang diperlukan untuk pencegahan beri-beri.

Infografik Mozaik Christiaan Eijkman

Infografik Mozaik Christiaan Eijkman. tirto.id/Sabit

Terkuaknya Misteri

W.F. Donath dan A.G. van Veen dalam “A Short History of Beri-beri Investigations in the Netherlands Indies” dalam bunga rampai Science and Scientists in the Netherlands Indies (1945, hlm. 77) menyebut Grijns melakukan suatu riset lagi untuk mengidentifikasi senyawa pencegah beri-beri dalam sekam padi pada 1911. Sayang sekali ia gagal karena keterbatasan fasilitas riset di Hindia Belanda.

Eijkman sendiri, setelah pulang ke Belanda pada 1896, melakukan beberapa riset membuat obat beri-beri. Ia mencoba bereksperimen dengan KCl, NaCl, dan senyawa lain yang memungkinkan, meski belum menunjukkan hasil yang konklusif. Tetapi, setidaknya berkat penelitian Hopkins dan Funk, teorinya tentang defisiensi nutrisi makanan sebagai penyebab beri-beri kian kokoh.

Pada 1913 peneliti Amerika, Elmer McCollum, membagi vitamin jadi dua jenis, vitamin A yang larut dalam lemak dan vitamin B yang larut dalam air. Beberapa tahun selanjutnya vitamin-vitamin jenis baru pun ditemukan. Ensiklopedia Britannica juga menyebut bahwa vitamin yang spesifik mampu mencegah beri-beri adalah vitamin B.

Penelitian selanjutnya difokuskan pada metode mengekstrak vitamin untuk dijadikan suplemen. Donath dan van Veen (hlm. 78) menyebut biokimiawan Baren Coenraad Petrus Jansen adalah ilmuwan pertama yang bereksperimen mengekstrak vitamin B dari sekam padi pada 1920 di Hindia Belanda.

Jansen butuh setidaknya enam tahun untuk bisa melakukannya. Pasalnya, ia juga melakukan penelitian untuk mengidentifikasi bahan-bahan makanan yang mengandung vitamin. Akhirnya pada 1926 Jansen, dengan bantuan W.F. Donath, berhasil mengektrak satu jenis turunan vitamin B dari beras yang disebut thiamin alias vitamin B1. Itu adalah jenis vitamin pertama yang berhasil dimurnikan kala itu.

Jansen dan Donath lalu mengirimkan hasil penelitian mereka kepada Eijkman di Belanda. Eijkman lantas mengakui bahwa ekstrak thiamin itu berkhasiat mencegah beri-beri. Sejak itu semua misteri telah terpecahkan. Pada 1929, Eijkman dan Hopkins mendapat anugerah Nobel bidang medis atas riset-riset mereka yang dianggap sebagai dasar penting dalam penemuan vitamin. Setahun kemudian, yakni pada 5 November 1930, tepat hari ini 90 tahun silam, Eijkman meninggal dunia di Utrecht, Belanda.

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 17 November 2018. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait SEJARAH SAINS atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Nuran Wibisono & Irfan Teguh