Menuju konten utama

Peran CIA di Balik Pemberontakan Sumatera dan Sulawesi

Berkat bantuan Amerika yang ingin Sukarno terjungkal, Permesta punya banyak senjata bahkan pesawat pembom.

Peran CIA di Balik Pemberontakan Sumatera dan Sulawesi
Pasukan Milisi Permesta. Foto/istimewa

tirto.id - Selain Tim Weiner dalam Membongkar Kegagalan CIA (2008), Ken Conboy dan James Morrison dalam Feet to the Fire: CIA Covert Operations in Indonesia (1999), mengupas operasi rahasia CIA dalam menggoyang kekuasaan Presiden Sukarno tahun 1957-1958. Pemerintahan Dwight Eisenhower, jenderal bintang lima yang memimpin armada sekutu dalam Perang Dunia II, tak ingin komunis membesar di Indonesia.

Eisenhower menyarankan CIA, badan intelijen AS, membantu angkatan udara rahasia bagi pasukan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Sulawesi Utara. CIA, demikian Eisenhower, punya pengalaman apik membangun sebuah operasi di Guatemala untuk menjungkalkan pemerintahan sayap kiri Jacobo Arbenz pada 1954. Segera kemudian CIA mencari jalan untuk memberi bantuan pesawat dan bom bagi unit tempur udara Permesta.

Indonesia menjelang akhir 1950-an adalah Indonesia yang penuh gejolak dan goncangan. Rakyat di daerah termasuk di Sulawesi merasa bahwa pemerintah pusat di Jakarta, sesudah Republik Indonesia Serikat dibubarkan oleh Sukarno pada 1950, tidak bekerja dengan efektif. Pembangunan stagnan. Uang lebih banyak beredar di Jawa. Persaingan di tubuh perwira dan pemimpin politik makin meruncing. Kesadaran kedaerahan dan etnis menguat dan mendorong pemberontakan di Sumatera dan Sulawesi.

Richard Zacharias Leiriza dalam PRRI-Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis (1996), mengisahkan bagaimana Herman Nicolas "Ventje" Sumual, Soemitro Djojohadikusumo, dan Ahmad Husein didatangi oleh agen-agen CIA.

Sumual adalah salah seorang pencetus Permesta pada 2 Maret 1957. Bersama para pemimpin dari Minahasa, Bugis, Makassar, dan Ambon, ia mendeklarasikan ide Permesta di kediaman Andi Pangerang Petta Rani, seorang aristokrat Bugis dan gubernur Sulawesi. Soemitro adalah mantan menteri keuangan tahun 50-an yang kabur ke Padang demi menghindari penangkapan di Jakarta. Ia adalah bapak dari Prabowo Subianto dan Hashim Djojohadikusumo, kakak-adik pendiri Partai Gerindra. Adapun Ahmad Husein adalah komandan militer Sumatera Barat yang mengatur pertemuan di Sungai Dareh, sebuah kota kecil di sebelah timur Padang, untuk membentuk Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 15 Februari 1958. Hashim termasuk salah satu yang terlibat dalam PRRI.

“Ketika kami sedang makan di sebuah restoran di Singapura," cerita Sumual dalam PRRI-Permesta, "beberapa orang-orang barat berpakaian santai mendatangi kami. Mereka mengetahui kami sedang memerangi Sukarno, sebab itu mereka bersedia memberi bantuan senjata. Ketika itu kami memang sedang berusaha membeli senjata.”

Menurut Barbara Harvey dalam Permesta: Pemberontakan Setengah Hati (1984), PRRI/Permesta dibentuk demi membendung komunisme di Indonesia. Para pemimpin Permesta dari Minahasa, yang menyebut gerakan mereka sebagai program pembangunan untuk Indonesia timur, menjual kopra secara ilegal dengan Singapura. Orang Minahasa kecewa terhadap Jakarta karena langkah pemerintah pusat memonopoli perdagangan kopra dengan menutup Pelabuhan Bitung di Sulawesi Utara. Mereka memisahkan diri dari provinsi utama Sulawesi di Makassar, dengan membentuk provinsi Sulawesi Utara pada September 1957. Dengan menentang pemerintah pusat, para pemimpin Minahasa membangun jalan, sekolah, jembatan, gereja, dan bahkan universitas lewat uang penjualan kopra.

Harvey menulis, perasaan kecewa orang Minahasa yang semula didorong faktor ekonomi dan kemudian berbuntut gerakan bersenjata, dengan cepat menjadi salah satu gejolak paling hebat yang pernah terjadi di Sulawesi.

Bantuan CIA

Di Singapura, Sumual, Soemitro, dan Husein bertemu dengan Foster Collins, kepala kantor CIA Singapura. Collins berjanji membantu persenjataan untuk Permesta. Dari sana, Sumual meneruskan perjalanan ke Manila, tempat ia memperoleh simpati Angkatan Bersenjata Filipina. Di Filipina terdapat Pangkalan Militer Clark milik Amerika.

Menurut Kolonel Fletcher Prouty, mantan perwira Angkatan Udara Amerika dalam The Secret Team (1973), “timbunan senjata dan perlengkapan militer terkumpul di Okinawa dan Filipina. Orang-orang Indonesia, Filipina, China (Taiwan), Amerika dan para serdadu sewaan dan negara-negara lain juga telah siap di Okinawa dan Filipina untuk membantu pemberontakan.”

Persenjataan modern dari Amerika antara lain senapan ringan kaliber 12,7mm, RPG atau bazoka, granat semiotomatis, senapan serbu infanteri, dan senjata‐senjata penangkis serangan udara. Menurut pengakuan Abdul Haris Nasution, Kepala Staf Angkatan Darat saat terjadi pemberontakan akhir tahun 50-an, dalam film dokumenter ABC: Riding the Tiger, senjata-senjata itu dijatuhkan dari pesawat Amerika.

Dukungan diam-diam Amerika tak sekadar senjata. “Pihak Angkatan Darat Amerika memberikan pelatihan kemiliteran, Angkatan Laut membantu kapal selam, Angkatan Udara menyediakan dukungan pesawat pengangkut serta mempersiapkan modifikasi bagi Pesawat B-26,” tulis Prouty.

Menurut Yoseph Tugio Taher dalam Mengorek Abu Sejarah Hitam Indonesia (2010), para pelatih militer Amerika datang ke Sumatera, tempat pemberontakan PRRI, dengan berkedok sebagai pegawai perusahaan minyak Caltex (merek minyak bumi Korporasi Chevron). Sementara di Sulawesi Utara, tempat pemberontakan Permesta, para serdadu Amerika bisa lebih mudah karena lokasinya dekat dengan Filipina.

Infografik HL Permesta

Gerak Cepat Nasution

Terbukanya lautan di utara Sulawesi tentu jadi keuntungan tersendiri bagi para pemberontak Permesta. Pada awal tahun 1950-an, seperti ditulis Ken Conboy dalam Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia (2007), pernah ada orang-orang Indonesia dari Jawa yang dikirim ke pangkalan Amerika di sekitar Saipan, pulau terbesar di Kepulauan Mariana Utara di samudera Pasifik Barat. Mereka dijemput dari perairan utara Sulawesi.

Mengenai bantuan diam-diam dari negara-negara yang sepaham dengan Amerika, dalam buku Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan (1993) yang ditulis Julius Pour, perwira militer Daan E Mogot mengaku, "... kami tidak pernah kekurangan senjata. Dari Italia, kami malahan mendapatkan tawaran kapal perang, tetapi tidak pernah bisa diambil karena alasan teknis. Demikian juga bantuan dana dan perbekalan dengan mudah bisa kami dapatkan dari Taiwan, Jepang, Korea Selatan, dan Filipina."

Di Filipina, Kapten Lendy Tumbelaka, salah satu perwira yang ikut Permesta, sudah berada di Pangkalan Militer Clark. Tugasnya mengurus pengiriman pesawat dan perlengkapan lain dari Filipina. "Di Pangkalan Udara Clark telah berjejer sejumlah pesawat pembom yang dicat hitam yang hendak dikirim kepada Permesta,” ujar Tumbelaka dalam buku PRRI-Permesta. Sayangnya tak semua pesawat itu sampai kepada pemberontak.

Meski belum punya armada laut yang baik, setidaknya pasukan Permesta punya pesawat pembom berkat bantuan dari Amerika. Mereka punya armada udara yang cukup mengganggu di sekitar Indonesia timur bernama Angkatan Udara Revolusioner (AUREV) yang dipimpin Petit Muharto, tentara asal Jawa. Begitupun seorang pilot AUREV Permesta bernama Hadi Supandi. Pilot terkenal yang bergabung di AUREV adalah pilot CIA Allen Lawrence Pope, veteran Perang Korea yang menerbangkan pesawat pembom.

Menurut Julius Pour, AUREV punya pesawat angkut DC-3 Dakota, pesawat pemburu Mustang P-51, pesawat amfibi Catalina, dan pesawat pembom Invader B-26. Untuk mendukung operasional armada udara, Permesta punya 40 awak. Semua di bawah komando Petit Muharto, komandan pangkalan AURI di Sulawesi Utara, yang terjebak dalam konflik Permesta. Aksi AUREV Permesta tak main-main: menenggelamkan beberapa kapal asing San Slaviance dan Armenia dan KRI Hang Tuah, kapal perang milik Angkatan Laut Republik Indonesia.

Namun, nahas menimpa pesawat pembom yang dikendarai Allen Pope dan operator radio Jan Harry Rantung. Pada 18 Mei 1958, saat mereka menerbangkan pesawat B-26 di atas Pulau Ambon, mereka ditembak dalam pertempuran sengit oleh Kapten Ignatius Dewanto yang menerbangkan pesawat Mustang. Kedua awak pesawat itu pun ditawan di Pulau Hatala, dekat Ambon.

Kejadian itu bikin malu Amerika Serikat. Pope tentu dikait-kaitkan dengan CIA. Menurut Harvey, pemerintah Amerika segera menghentikan keterlibatannya dalam pemberontakan PRRI/Permesta. Setelahnya, Amerika pun mengubah strateginya. Segala bantuan untuk pemberontak ditarik ke Markas Clark di Filipina. Terpaksalah Sumual dan pasukan Permesta mati-matian bergerilya melawan pemerintah pusat di hutan-hutan Sulawesi Utara.

AH Nasution, kepala staf AD, memahami bahwa gerak cepat adalah kunci keberhasilan mengatasi pemberontakan di Sumatera dan Sulawesi. Ia mulai menyisir lewat pasukan penerjun payung di Pekanbaru dan mendaratkan armada laut di Padang pada 1958. Gerak cepat ini berhasil menyudutkan pasukan PRRI ke hutan.

Di Sulawesi, usai pesawat B-26 tertembak jatuh dan CIA menarik dukungan, konflik internal pecah di tubuh angkatan gerilya Permesta. Pasukan Nasution berhasil menduduki kota-kota penting di utara Sulawesi. Jakarta menawarkan amnesti bagi pasukan pemberontak yang menyerahkan diri.

Ahmad Husein di Padang segera menyerahkan diri. Adapun Ventje Sumual menyerah pada Oktober 1961. Perang bersenjata ini, yang terjadi pada 1958-1961, menewaskan sekira 20.000 hingga 30.000 jiwa. Sebagian besar adalah rakyat sipil Minahasa.

Sumual langsung dibebaskan sesudah Soeharto mendepak Sukarno yang diawali dengan pembunuhan massal para simpatisan komunis pada 1965-1966. CIA dan Amerika Serikat memenangkan strategi mencegah pengaruh komunisme di kawasan Asia Tenggara via Indonesia-nya Orde Baru. Sumual sendiri kelak menjadi seorang pengusaha.

Meski buku pelajaran sejarah menyebut Ventje Sumual sebagai pemberontak, tetapi mayoritas orang Minahasa menyebutnya seorang pahlawan.

Baca juga artikel terkait PERMESTA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri Salam