Menuju konten utama

Peran Berbagai Pihak Dukung Penghapusan Kekerasan Seksual

Instruksi Jokowi agar RUU TPKS segera disahkan cukup berdampak.

Peran Berbagai Pihak Dukung Penghapusan Kekerasan Seksual
Presiden Joko Widodo saat menyampaikan pernyataan tentang Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), di Jakarta, Selasa (4/1/2022). ANTARA FOTO/HO-Biro Pers Sekretariat Presiden/tom.

tirto.id - Siapa pun yang mengharapkan agar Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) disahkan mesti bersabar lebih lama lantaran DPR urung membawanya ke sidang paripurna pada pertengah Desember lalu.

Ya, setelah Badan Legislasi (Baleg) memutuskan menyetujui RUU TPKS pada 8 Desember 2021, harapan bahwa RUU tersebut akan disahkan sempat terbit dalam diri para pengusung dan pendukung. Tapi, harapan itu hanya sesaat. DPR tak jadi membahas RUU TPKS di sidang paripurna yang berlangsung pada Kamis (16/12/2021) sebab ada beberapa fraksi yang tidak memberi acc. PKS menolak dengan permintaan agar larangan perzinaan dan LGBT turut diatur sedangkan Golkar minta ditangguhkan dengan alasan draftnya mesti dibahas lebih lanjut sehingga di kemudian hari tidak ada celah bagi siapa pun untuk menggugatnya lewat judicial review.

Meski demikian, para pengusung tak boleh sepenuhnya kehilangan harapan. Pada Selasa (4/1), Presiden Joko Widodo menyatakan dukungannya terhadap pengesahan RUU TPKS. “Saya berharap RUU tentang Tidak Pidana Kekerasan Seksual ini dapat segera disahkan,” kata Jokowi.

Jokowi beralasan, perlindungan terhadap korban kekerasan seksual perlu menjadi perhatian bersama dan kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan mendesak untuk segera ditangani.

Akhir tahun lalu, berita mengenai kasus kekerasan seksual susul-menyusul, tanda bahwa negeri ini darurat kekerasan seksual. Belum habis kemarahan publik terhadap Randy Bagus Hari Sasongko, lelaki yang memaksa kekasihnya melakukan aborsi dua kali hingga ia depresi dan akhirnya bunuh diri, amarah publik kembali disulut oleh Herry Wirawan, pengasuh sebuah pondok pesantren di Bandung yang melakukan aksi cabul kepada 21 santriwati. Di persidangan, fakta baru terungkap: 8 orang sudah melahirkan dan 2 korban lainnya tengah mengandung.

Dua kasus di atas hanya contoh kecil dari fenomena gunung es kasus kekerasan seksual di Indonesia. Nyaris saban pekan, berita mengenai kekerasan seksual muncul lagi dan lagi, seolah menjadi lonceng peringatan agar RUU TPKS segera disahkan. Lepas dari progres RUU TPKS di DPR yang cenderung jalan di tempat, sekalipun berita tentang kekerasan seksual kerap viral tapi laporan yang masuk ke Komnas Perempuan tahun lalu justru mengalami penurunan.

Hal itu terungkap dari keterangan Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfa Anshor saat menjadi pembicara dalam Virtual Bootcamp Sesi VI yang terselenggara atas kerja sama Komnas Perempuan, Grab, dan Tirto.id, Kamis (9/12/2021). Maria menegaskan, selama pandemi laporan mengenai kasus kekerasan seksual cenderung menurun, tapi tren tersebut bukanlah cerminan atas fakta sebenarnya.

“Karena situasi pandemi, korban akhirnya tidak berani keluar rumah, tidak berani melapor, tidak berani mencari rumah aman, sehingga tidak bisa jauh dari pelaku,” kata Maria.

Sebagai gambaran, Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan menyatakan 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan berlangsun g sepanjang 2020—turun 31 persen dari jumlah 431.471 kasus pada tahun sebelumnya. Meski begitu, kasus Kekerasan Berbasis Gender Siber (KBGS) mengalami kenaikan hingga 235 persen.

Apa jadinya bangsa Indonesia jika setiap warga dibayang-bayangi ancaman kekerasan seksual? Sejumlah survei membuktikan bahwa orang Indonesia, terutama perempuan, sangat rentan mengalami kekerasan seksual. Sebagai contoh, di lingkungan perguruan tinggi, laporan soal kasus kekerasan seksual amat mengkhawatirkan.

Pada 2019, misalnya, temuan Jaringan Muda Setara di Samarinda menunjukkan 54 dari 70 mahasiswi di kota itu pernah mengalami kekerasan seksual. Sedangkan survei #NamaBaikKampus yang dilakukan Tirto.id, The Jakarta Post, dan Vice Indonesia menyatakan 179 anggota sivitas akademika dari 79 perguruan tinggi di 29 kota di Indonesia pernah mengalami kekerasan seksual. Temuan lainnya, 88 persen penyintas berasal dari Pulau Jawa.

“Itu artinya, kasus kekerasan seksual terjadi hampir menyeluruh di perguruan tinggi di Indonesia,” kata Maria, menyimpulkan.

RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual—sebelumnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual—diajukan ke DPR sejak 2012. Pada 2019, pembahasan RUU itu kerap mentok di tengah jalan.

Terkait itu, Ketua DP Puan Maharani menegaskan dukungannya terhadap RUU TPKS. Bahwa RUU tersebut tak jadi dibawa ke sidang paripurna, Puan menyebut hal demikian hanya soal waktu, bukan mutlak putusan politik.

“Ini soal waktu, timing, pimpinan dan DPR tentu saja mendukung dan segera akan mengesahkan RUU TPKS ini melalui keputusan tingkat dua, yakni melalui paripurna,” kata Puan.

Instruksi Jokowi agar RUU TPKS segera disahkan cukup berdampak. Paling tidak, efeknya tampak pada sikap Golkar yang kini mendukung pengesahan RUU tersebut.

“Kami sangat menyambut baik petunjuk Bapak Presiden agar RUU ini segera disahkan. Kami senapas dengan sikap beliau yang menjawab kegelisahan masyarakat bahwa RUU ini sudah menjadi kebutuhan hukum dan karena itu tak bisa ditunda-tunda lagi,” ungkap Christina Aryan, anggota Panja RUU TPKS dari Golkar.

Kebijakan Progresif Diadopsi Grab

Fakta bahwa RUU TPKS belum disahkan tentu membuat banyak pihak khawatir. Apalagi, sebagaimana tecermin dari kasus-kasus yang mencuat belakangan dampaknya tidak main-main. Meski begitu, Grab, superapps di Asia Tenggara, sudah melakukan langkah progresif dengan mengadopsi poin-poin penting dalam RUU TPKS.

“Kami tidak menunggu RUU TPKS menjadi Undang-Undang atau peraturan. Kami mengadopsinya dalam kebijakan perusahaan, dan itu berlaku bagi para mitra maupun karyawan,” ungkap Tirza Munusamy, Direktur Hubungan Pemerintahan dan Kebijakan Publik Grab Indonesia, Kamis (9/12).

Tirza menambahkan, di Grab tidak ada toleransi sama sekali untuk perilaku kekerasan seksual, dan sanksinya berat: mulai dari penalti atau denda, hingga pemutusan hubungan kemitraan maupun hubungan kerja. Kebijakan perusahaan itu ditopang empat pilar Komitmen Keselamatan Komprehensif, yakni Fitur Teknologi, Seleksi dan Onboarding, Pencegahan, dan Penanganan. Untuk memastikan bahwa di ekosistem Grab tindak kekerasan seksual tidak terjadi, perusahaan bahkan menjalin kemitraan strategis dengan berbagai lembaga yang kredibel.

Incident Response Team (IRT) Grab yang beroperasi 24 jam sehari dalam seminggu mendapatkan pelatihan khusus dari Yayasan Pulih agar punya kemampuan mendengarkan secara empatik, berperspektif korban, HAM, dan gender,” sambung Tirza.

Sedangkan untuk teknologi, Grab, pelopor di bidang teknologi keamanan ride-hailing, punya beragam fitur di aplikasi untuk memastikan pengguna aman dan nyaman. Fitur-fitur itu, antara lain: Safety Center, penyamaran nomor telepon, layanan pengaduan, hingga verifikasi wajah.

Safety Incident Management Framework kami disusun berdasarkan masukan ahli yang direkomendasikan Komnas Perempuan. Isinya melindungi penumpang dan mitra pengemudi hingga 48 jam setelah perjalanan diselesaikan,” sambung Tirza.

Adapun mengenai RUU TPKS, Grab memberikan dukungan riil dengan, salah satunya, menginisiasi Virtual Bootcamp Saatnya Menghapus Kekerasan Seksual bersama Komnas Perempuan sejak Juli hingga Desember 2021.

Perlunya Aturan Komprehensif

Pada Sesi VI, tema yang diusung dalam acara tersebut adalah “Peran Berbagai Pihak Dukung Penghapusan Kekerasan Seksual”. Selain Maria Ulfa Anshor dan Tirza Munusamy, pembicara lain pada webinar tersebut adalah Asisten Deputi Pelayanan Perempuan Korban Kekerasan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Margareth Robin Korwa dan Ketua Umum Pengurus Besar Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Putri (Kopri) Maya Muizatil Lutfillah.

Menurut Ice, sapaan akrab Margareth, RUU TPKS penting disahkan sebab aturan yang ada sekarang, misalnya KUHP, bersifat lex generalis alias tidak spesifik membicarakan kekerasan seksual. “Sebab itulah banyak korban enggan dan sulit melapor sebab kekerasan yang menimpa dirinya tidak terakomodasi dalam aturan yang ada.”

Sedangkan Maya berharap, rangkaian Virtual Bootcamp bisa menjadi sarana yang tepat untuk menyuarakan dukungan terhadap RUU TPKS. “Mudah-mudahan kita konsisten dukung pengesahan RUU TPKS.”

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis