Menuju konten utama

Perampasan Lahan dan Kriminalisasi Warga Adat di Kinipan Kalteng

Perampasan lahan adat terjadi lagi. Kini di Kinipan Kalimantan. Para pemprotes dikriminalisasi.

Perampasan Lahan dan Kriminalisasi Warga Adat di Kinipan Kalteng
ilustrasi konflik agraria. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Lima warga Desa Kinipan, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah ditangkap polisi. Empat di antaranya, Riswan, Teki, Semar, dan Embang, adalah anggota komunitas adat; satunya lagi, Effendi Buhing, berstatus ketua.

Effendi ditangkap di rumahnya pada Rabu (26/8/2020). Video penangkapan Effendi tersebar di media sosial dan grup komunikasi. Dalam video tersebut segerombolan polisi menangkap Effendi dengan cara paksa. Bahkan ada polisi bersenjata lengkap. Seorang perempuan berteriak-teriak menghalaunya.

Mereka ditangkap atas laporan PT Sawit Mandiri Lestari (SML) karena diduga melakukan pencurian dengan kekerasan kepada dua karyawan perusahaan, Asmani dan Herman. “Riswan dan kawannya diduga melakukan pencurian dengan kekerasan satu unit gergaji mesin, dengan alasan Asmani dan Herman bekerja di wilayah Desa Kinipan,” ucap Kabid Humas Polda Kalimantan Tengah Kombes Pol Hendra Rochmawan, Kamis (27/8/2020).

Polisi menyebut dalam penyidikan didapatkan keterangan bahwa orang yang menyuruh melakukan perampasan gergaji mesin adalah Effendi. "Saat ini pemeriksaan awal masih dilakukan kepada Effendi Buhing," kata Hendra.

Terkait penangkapan yang direkam dalam video, polisi berdalih tindakan itu dilakukan karena Effendi tidak kooperatif.

Beberapa di antara mereka juga telah dijadikan tersangka dalam kasus pengancaman dan kepemilikan senjata tajam.

Kriminalisasi & Perampasan Hutan Adat

Meski secara formal alasan penangkapan adalah pencurian dengan kekerasan, sebagian pihak menilai ini adalah kriminalisasi sebab faktanya Komunitas Adat Laman Kinipan telah lama melakukan protes terhadap PT SML yang hendak mengonversi hutan adat warga menjadi perkebunan sawit.

Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi mengatakan tuduhan pencurian tidak tepat karena Effendi, Riswan, dan yang lain sebenarnya berupaya menghentikan penebangan hutan oleh PT SML. Salah satu upayanya adalah menahan alat gergaji.

“Mereka mau menghentikan penebangan hutan. Benar mesin gergaji mereka tahan tapi tidak benar bahwa itu dirampas dan dicuri,” kata Rukka dalam jumpa pers secara daring, Kamis (27/8/2020).

Ia juga membantah bahwa Effendi tak kooperatif. Effendi hanya ingin memberikan keterangan pada saat dirinya didampingi oleh pengacara. Saat ini saja menurutnya polisi tidak memberitahu keberadaan Effendi. Akibatnya, pengacara dari AMAN belum dapat mendampingi.

Rukka lantas menerangkan duduk perkara masalah di Kinipan. Ini sudah bermula sejak 2004, ketika masyarakat mendengar adanya perusahaan yang akan menjadikan hutan adat sebagai kebun sawit. “Protes sudah langsung dilakukan pada 2005, tetapi secara fisik perusahaan muncul sekitar 2012, mendapatkan izin bupati dan masyarakat juga menyampaikan penolakan.”

Komunitas adat kemudian aktif bergerak di lapangan ketika keluar perpanjangan izin operasional perusahaan di wilayah mereka pada 2015. Sejumlah upaya yang dimaksud termasuk mendatangi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Komnas HAM, hingga Kantor Staf Kepresidenan (KSP).

“Bahkan KSP sudah ke sana (Kanipan) tapi sampai detik ini tidak ada jalan keluar. Ini yang kemudian [membuat] beberapa bulan terakhir penolakan di masyarakat eskalasinya semakin meningkat,” ujarnya.

Kriminalitas terhadap masyarakat termasuk kepada Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan ini menurutnya merupakan “wajah perampasan wilayah adat dan perusakan lingkungan oleh pihak swasta.”

Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Kasmita Widodo mengatakan dialog dan upaya legal lain telah dilakukan oleh Komunitas Adat Laman Kinipan. Sejak 2017, misalnya, mereka melakukan pendaftaran wilayah ke BRWA.

“BRWA terlibat dalam validasi. Proses ini untuk menjawab tekanan dari PT SML yang telah mengklaim mendapatkan izin di wilayah adat Kinipan. Proses ini telah disampaikan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan hingga Kantor Presiden,” kata Kasmita, Kamis (27/8/2020).

Namun, proses validasi ini diabaikan oleh perusahaan. Upaya diskusi dengan perusahaan juga mentok semuanya. “Proses dialog telah dilakukan namun kriminalisasi tetap terjadi,” katanya.

Seluruh kejadian ini, menurutnya, sama saja seperti pengabaian hak–hak masyarakat adat yang memiliki hubungan kuat dengan ruang hidup.

Kasmita juga menyanggah tuduhan perusahaan yang menyebut masyarakat adat melakukan pemerasan. Pernyataan yang lebih tepat adalah, masyarakat menuntut ganti rugi sejumlah uang kepada perusahaan berdasarkan kalkulasi kerusakan yang telah terjadi di hutan adat. “Ini adalah tuntutan masyarakat adat terhadap pemulihan ruang hidupnya.”

Atas dasar itu semua BRWA dan AMAN mendesak Menteri KLHK mencabut izin pelepasan kawasan dan Menteri Agraria dan Tata Ruang mencabut izin usaha PT SML. Mereka juga meminta lima orang yang dikriminalisasi dibebaskan.

Profil Perusahaan

Environmental Investigation Agency (EIA), sebuah badan investigasi lingkungan yang berbasis di Inggris, dalam laporan pada 2015 lalu menyebut PT SML merupakan anak perusahaan PT Sawit Sumber Sarana (SSS). Pendirinya adalah Abdul Rasyid yang memiliki rekam jejak pembalakan liar.

PT SSS dan PT SML diadukan kepada Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) lantaran dinilai telah mengajukan pembukaan kawasan hutan secara ilegal dan mengancam habitat orangutan.

EIA menyebut konsultasi dengan masyarakat yang terkena dampak tidak dilakukan. Analisis dampak sosial dan lingkungan juga dinilai cacat. Mereka juga disebut telah melanggar aturan dan hak masyarakat adat.

Otoritas setempat memiliki relasi darah dengan pemilik perusahaan ini. Bupati Kabupaten Lamandau Hendra Lesmana tidak lain merupakan keponakan dari Abdul Rasyid. Saat mencalonkan diri sebagai bupati pada 2018 lalu, Hendra terang-terangan mendapatkan dukungan dari sang paman.

"Saya sudah pertimbangkan dengan niat tulus serta telah mendapat restu dari paman Abdul Rasyid AS, memutuskan maju sebagai bakal calon Bupati Lamandau," kata Hendra pada 23 Agustus 2017, dilansir dari Antara.

Abdul Rasyid juga telah 'berhasil' menjadikan keponakannya Sugianto Sabran sebagai Gubernur Kalteng periode 2016-2021 dan kakak iparnya sebagai Bupati Kotawaringin Barat periode 2017-2022.

Meski masih keluarga dan punya peran signifikan, Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi mendesak bupati melindungi rakyat. “Bupati agar dapat bersikap bijak pelindung rakyatnya,” kata dia.

Hendra memberikan keterangan pers resmi melalui video pada Kamis (27/8/2020). Selain sebagai bupati, Hendra juga memberikan keterangan resmi dalam kapasitasnya sebagai Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Lamandau.

Ia menyatakan prihatin atas kejadian ini, namun tetap meminta semua diselesaikan secara hukum. “Berkaitan dengan permasalahan hukum saudara EB dan kawan-kawan, DAD Kabupaten Lamandau mempercayakan sepenuhnya kepada proses hukum positif yang berlaku,” ujarnya.

Respons PT SML

Kepala Humas PT SML Wendy Soewarno menyebut masyarakat telah melakukan klaim sepihak atas hutan adat, wilayah yang versi perusahaan sebut sebagai wilayah konsesi yang sah. “Bahwa dalam perizinan PT SML tidak terdapat hutan adat seperti yang diklaim oleh Effendi Buhing,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima reporter Tirto, Kamis (27/8/2020).

Perwakilan masyarakat adat yang diwakili Effendi Buhing meminta Rp5 miliar kepada perusahaan. Setelah itu sejumlah peristiwa yang merugikan perusahaan terjadi, katanya. Effendi bersama masyarakat adat misalnya dituding melakukan perampasan kendaraan dan alat kerja karyawan pada Desember 2019. Setelah itu ada sembilan kejadian lain yang dilakukan oleh Effendi, mulai dari pembakaran pos, pemortalan, intimidasi, pengadangan, hingga pemerasan.

Hal itu yang kemudian mendasari PT SML melapor ke polisi pada 9 Agustus 2020. Laporan itu tercatat sebagai LP/L/173/VIII/RES.1.8/2020/SPKT di Polda Kalteng.

“Saya menyerahkan sepenuhnya proses kepada Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah,” kata Wendy.

Baca juga artikel terkait KONFLIK AGRARIA atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino