Menuju konten utama

Penyintas Long COVID Berjuang Sendiri dan Menghadapi Stigma Sosial

Pemerintah Indonesia belum memberi perhatian, termasuk mekanisme pembiayaan, terhadap para pasien Long COVID.

Penyintas Long COVID Berjuang Sendiri dan Menghadapi Stigma Sosial
Ilustrasi Penyitas Long Covid-19. tirto.id/Lugas

tirto.id - Presiden Joko Widodo menjadikan angka kesembuhan pasien COVID-19 sebagai narasi keberhasilan menangani pandemi, tetapi para penyintas bergulat sendirian menghadapi apa yang disebut Long COVID. Para penyintas ini mengalami gejala tertentu meski sudah dinyatakan negatif.

Hal itu dialami Juno Simorangkir, yang mengalami bermacam keluhan seperti kuku bergelombang, sesak napas, kebingungan, gangguan konsentrasi, lelah kronis, perut kembung, telinga berdenging, dan pembesaran kelenjar getah bening di bawah rahang.

"Total ada 40 keluhan yang saya derita," ungkapnya, yang mencatat keluhan-keluhan itu dalam buku hariannya.

Juno dinyatakan positif COVID-19 pada Maret tahun lalu, termasuk ‘angkatan pertama’ penduduk Indonesia yang terinfeksi virus ini, lalu dinyatakan sembuh pada bulan berikutnya. Tapi, ia tak sepenuhnya pulih.

Kondisi itu mengharuskannya ke dokter spesialis berulang kali dengan keluhan berbeda-beda. Ia kecewa tak pernah mendapatkan jawaban memuaskan setiap melakukan konsultasi medis. Pulang dari rawat jalan, katanya, dokter tak pernah memberi diagnosis dan obat.

“Saat bertemu dokter menyampaikan keluhan perut seperti ditusuk-tusuk jarum,” cerita Juno kepada saya, “dokter hanya menepuk-nepuk pundak, ‘Enggak ada apa-apa, normal, kok.’ Dokter cuma kasih wejangan saja.”

Juno berkata biaya penanganan Long COVID dia sekitar Rp10 juta. “Untungnya pakai asuransi kantor," katanya.

Penyintas lain yang mengalami Long COVID dan mau berbagi cerita kepada saya adalah Wulandari dari Pekanbaru. Sudah tujuh bulan indra penciuman dan perasanya belum pulih sejak dinyatakan sembuh.

"Saya sudah prokes, enggak pernah jalan-jalan tapi tetap saja kena. Ini yang buat saya sedih banget. Andaikan kemarin itu tidak seperti ini…” kata dia.

Semula, ia mengira keluhan-keluhannya hanya gejala psikologis biasa saja sesudah sakit; mungkin karena banyak pikiran, kurang liburan atau kurang berkumpul dengan keluarga selama pandemi. Tapi, gejala-gejala itu belum hilang meski dia sudah meluangkan waktu untuk liburan dan berkumpul bersama keluarga.

Ia gampang lelah. Ia telah memeriksa kondisi kesehatannya ke tiga rumah sakit berbeda, sampai menguras uang Rp20 juta, tapi kondisi tubuhnya belum pulih juga. Berbagai alternatif minuman dan obat tradisional sudah dicobanya, tapi tetap gagal juga.

Ia mengisahkan pengalamannya saat memeriksa gejala Long COVID ke salah satu dokter, “Saat menyampaikan keluhan indra penciuman dan perasa yang belum kembali, dokter dengan mudah bilang "Kalau sudah empat bulan, itu permanen.’ Gimana enggak syok dengar jawaban itu? Seandainya dokter itu bagus, enggak membuat mental block. Dia bisa bilang, ‘syaraf bisa sembuh tapi bertahap.’ Bukan asal ngomong."

"Pulang dari dokter, saya nangis, terus ngurung diri di kamar. Terus ada pikiran ngambil selendang untuk bunuh diri," ungkap Wulandari dengan suara getir. "Siapa sih yang mau sakit seperti ini?"

Memerlukan Pengakuan, Indonesia Butuh Riset Mendesak soal Long COVID

Setiap penyintas yang mengalami Long COVID menghadapi satu keluhan bahkan lebih. Rentang penyembuhannya pun berbeda-beda, dari dua minggu sampai sembilan bulan. Juno sendiri mulai membaik kesehatannya satu per satu pada bulan keenam dan bisa mengendalikan beragam gejala pada Desember tahun lalu. Meski demikian, tidak sembuh total karena masih merasakan gejala sampai sekarang.

Pengalamannya berjuang sendirian menghadapi Long COVID mendorongnya membuat komunitas swabantu bernama Covid Survivor Indonesia. Tujuannya untuk mendampingi dan melawan stigma terhadap penyintas Long COVID. Ia tak mau pengalamannya dialami orang lain.

"Saya kesakitan, kebingungan, sedih. Itu benar-benar sendirian," kata Juno.

Komunitas ini, yang mewakili Asia Tenggara, terafiliasi dengan kelompok penyintas COVID-19 lain di seluruh dunia, terdaftar dalam Kelompok Kerja Badan Kesehatan Dunia (WHO) dengan agenda pembahasan seputar perkembangan Long COVID. (Di Facebook, grup privat ini menjaring lebih dari 2 ribu anggota, juga membuka saluran komunikasi via Telegram serta sarana berbagi informasi di Instagram dan Twitter.) Selain penyintas, para dokter, epidemiolog dan psikolog turut membantu dan mendukung kegiatan mereka. Komunitas ini sering memposting konten edukasi soal Long COVID dan kampanye melawan stigma di akun-akun media sosial tersebut.

Pada 21 Agustus 2020, Juno berkesempatan bertemu secara virtual dengan perwakilan penyitas COVID seluruh dunia dan Dirjen WHO, dr. Tedros Adhanom, untuk menyampaikan fenomena Long COVID. Di Indonesia, diskusi Long COVID pertama kali digelar pada Desember 2020 oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana, yang ditunjuk Presiden Jokowi sebagai Satgas penanganan COVID-19.

Di Indonesia, sekalipun oleh Kementerian Kesehatan, sejauh ini belum melakukan riset tentang Long COVID, yang dalam dunia medis disebut Post-Acute Sequelae of SARS-CoV-2 infection (PASC).

Riset awal dan pertama kali di sini baru dilakukan oleh Agus Dwi Susanto, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, terhadap 463 responden selama Desember 2020 - Januari 2021. Hasil penelitiannya dipresentasikan dalam Pertemuan Ilmiah Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – RSUP Persahabatan, pada 11 Februari 2021.

"Secara garis besar, kami menemukan 63,5 persen pasien yang sudah sembuh mengalami gejala yang menetap selama lebih dari dua minggu hingga enam bulan.” kata Susanto. “Jadi itu yang kami sebut Long COVID.”

Persentase ini menggambarkan 294 responden mengalami Long COVID, atau 6 dari 10 orang. “Yang paling banyak mengalami fatigue atau kelelahan," kata Susanto. Keluhan lain adalah batuk, nyeri otot, sakit kepala, gangguan tidur, dan sebagainya.

Juno berkata pernah melakukan survei skala komunitas penyintas COVID-19 dengan sampel 177 orang. Hasilnya, 80,2 persen atau 142 orang menjawab mengalami Long COVID, tapi hanya sekitar 49 orang yang melanjutkan pemeriksaan ke dokter.

WHO melaporkan, dalam riset terhadap 3.762 responden dari 56 negara, penyintas Long COVID bisa mengalami mencakup 205 gejala dari 10 sistem organnya, dengan 66 keluhan selama tujuh bulan. Keluhan yang banyak dilaporkan pada bulan keenam adalah kelelahan, menurut riset itu.

Kasus penyintas yang mengalami Long COVID memang harus lebih banyak diteliti, karena ada banyak kasus unik. Salah satunya dialami Sita Tyasutami, pasien kasus perdana COVID-19 di Indonesia. Berbeda dari kebanyakan kasus, Sita baru mengalami gejala Long COVID pada bulan kesepuluh setelah dinyatakan negatif. Dia mengalami gampang lelah, sesak napas, rambut rontok, dan penggumpalan darah.

"Saya sudah lima minggu ini sakit," katanya dalam diskusi virtual di akun YouTube Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional pada 2 Maret lalu.

Agus Dwi Susanto berkata jika pemerintah Indonesia belum meneliti kasus-kasus Long COVID, “kita tak bisa melihat masalah kesehatan pasca-COVID dan tidak bisa membuat strategi dalam penanganannya.”

Menurutnya, masalah Long COVID “belum menjadi diskusi intens di kalangan Kementerian Kesehatan, tapi ke depan saya rasa akan mengarah ke sana,” tambahnya.

Siti Nadia Tarmizi, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung dari Kementerian Kesehatan, berkata Kementerian belum punya kebijakan mengenai pasien Long COVID, khususnya upaya untuk mengkover biaya rawat jalan.

Selama ini pemerintah hanya menanggung biaya perawatan pasien COVID, tapi belum ada mekanisme pembiayaan untuk rehabilitasi penyintas Long COVID.

Para penyintas seperti Juno maupun Wulandari berharap pemerintah melakukan edukasi dan kampanye mengenai Long COVID kepada masyarakat, perusahaan, dan tenaga kesehatan. Logikanya, jika pemerintah berfokus pada upaya pencegahan, kampanye Long COVID bisa dijadikan salah satu materi edukasi. Informasi yang lengkap mengenai Long COVID bisa membuat orang lebih sadar dan lebih berhati-hati dengan COVID-19.

“Kalau penelitian dan rehabilitasi tidak bisa dilakukan,” kata Juno, “tolong, edukasi dibenerin. Supaya penyintas seperti kami mudah mendapatkan pengakuan dan penerimaan.”

Infografik HL Indepth Penyitas Long Covid

Infografik HL Indepth Penyitas Long Covid Melawan Stigma & Diskriminasi. tirto.id/Lugas

Stigma Sosial, Dampak Ekonomi

Sementara dari segi riset belum ada upaya serius mendalami Long COVID, di kehidupan sehari-hari, para penyintas bergulat dengan stigma sosial termasuk dari lingkungan keluarga sendiri, salah satunya karena minim kampanye edukasi mengenai masalah ini.

Seringkali penyintas Long COVID menghadapi pertanyaan: "Kalau bergejala, masih bisa menularkan ke orang enggak?" Penyintas merasa dijauhi dari lingkungan sosial.

Padahal, sembuh dari COVID-19 setidaknya mencakup tiga aspek. Penyintas Long COVID tidak menularkan virus; ia sudah sembuh secara epidemiologis. Namun, belum secara klinis; ia harus bergulat dengan banyak keluhan dan gejala sakit. Selanjutnya, beragam keluhan sakit ini memengaruhi kehidupan sosialnya. Dalam beberapa kasus bahkan kehilangan pekerjaan.

Komunitas swabantu Covid Survivor Indonesia menerima sedikitnya 20 pengaduan yang mengisahkan dampak sosial dan ekonomi tersebut.

"Upah mereka dipotong, bahkan tidak diupah sama sekali. Yang paling berat dipecat karena dianggap tidak produktif oleh perusahaan," kata Juno kepada saya.

Juno berkata banyak orang menganggap seseorang yang sembuh COVID-19 sama dengan negatif tes polymerase chain reaction (PCR). Anggapan ini dipakai juga dalam kebijakan perusahan, dan tak jarang beban biaya tes tersebut ditanggung sendiri oleh karyawan.

Wulandari bercerita ia kembali bekerja pada November tahun lalu, dalam kondisi tubuh yang gampang capek, kehilangan penciuman dan perasa. Ia sulit fokus, dan kerap telat masuk kantor pada sebulan pertama.

"Leher saya kaku. Badan masih lemas. Saya ingin kerjakan sesuatu tapi badan enggak menerima," katanya.

Atasan menegurnya karena ia dianggap kurang produktif. Ia diminta istirahat selama sebulan, lalu bisa masuk kembali pada bulan berikutnya. Tapi, bila kondisinya masih sama, demikian perusahaannya memutuskan, ia diancam di-PHK.

Wulan mengingat kejadian itu. Pemecatannya disampaikan via telepon: “Mbak Wulan, saya lihat enggak ada progres perubahan dari Anda, mohon maaf. Saya sebenarnya sedih karena Mbak sudah bekerja selama 15 tahun dan pengin ngasih kesempatan lagi, tapi rekan-rekan lain bilang Anda enggak fokus bekerja. Kita sampai di sini saja ya kontraknya."

Mendengar itu, Wulan menangis. "Padahal saya ada rencana tahun 2021 mau bangun rumah. Akhirnya rencana itu gagal. Kok cobaan saya berat amat," katanya.

Sekarang, kegiatan Wulandari selama menganggur adalah membersihkan rumah, duduk di teras sambil berharap ada obat untuk kesembuhan Long COVID dia. "Kalau di antara indra penciuman dan perasa enggak bisa kembali normal, salah satunya juga boleh," harapnya.

Baca juga artikel terkait LONG COVID-19 atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam