Menuju konten utama
Pelanggaran HAM Berat

Penyidikan Kasus Paniai dan Bayang-Bayang HAM Berat yang Tak Jelas

Peneliti ELSAM minta kejaksaan untuk serius dan memeriksa semua bukti terkait kasus HAM Paniai, termasuk memastikan aktor utama perkara itu.

Penyidikan Kasus Paniai dan Bayang-Bayang HAM Berat yang Tak Jelas
Menko Polhukam Mahfud MD (tengah) didampingi Jaksa Agung ST Burhanuddin (kiri) memberikan keterangan pers seusai melakukan pertemuan di Kemenko Polhukam, Jakarta, Rabu (22/1/2020). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc.

tirto.id - Pemerintah mulai menyentuh kembali kasus pelanggaran HAM berat. Kali ini, Jaksa Agung ST Burhanuddin resmi membentuk Tim Penyidik Dugaan Pelanggaran HAM Berat pada insiden Paniai. Hal itu diketahui setelah Burhanuddin menandatangani Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor 267 tahun 2021 tanggal 3 Desember 2021 tentang pembentukan tim tersebut.

“Jaksa Agung Burhanuddin selaku penyidik pelanggaran HAM berat telah menandatangani surat keputusan pembentuk tim tersebut,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak di Jakarta sebagaimana dikutip dari Antara, Jumat (3/12/2021).

Sebagai catatan, kasus dugaan pelanggaran HAM Paniai terjadi pada Desember 2014. Sekitar 4 anak meninggal dunia dan 11 orang mengalami luka tembak hingga luka benda tumpul akibat tindak represif aparat.

Insiden berawal ketika orang tidak dikenal melakukan kekerasan kepada beberapa anak di KM 4 Jalan Poros Madi-Enarotali, Distrik Paniai Timur, Paniai pukul 20.00 WIT. Salah satu korban adalah Yulianus Yeimo.

Kemudian, pada 8 Desember 2014 terjadi aksi pemalangan dengan menuntut pelaku penyerangan anak ditangkap. Acara dilanjutkan dengan melakukan Waita (tarian adat) disertai pelemparan batu ke arah kantor Koramil Paniai Timur di Lapangan Karel Gobay. Aksi warga membuat aparat bertindak secara represif.

Leonard menjelaskan, surat keputusan tersebut dikeluarkan sebagai tindak lanjut dari surat Ketua Komnas HAM Nomor 153/PM.03/0.1.0/IX/2021 tanggal 27 September 2021 tentang tanggapan atas pengembalian berkas perkara terhadap hasil penyelidikan pelanggaran HAM Berat Peristiwa Paniai tahun 2014 di Papua untuk dilengkapi.

“Ternyata belum terpenuhi adanya alat bukti yang cukup, oleh karena itu perlu dilakukan penyidikan (umum) dalam rangka mencari dan mengumpulkan alat bukti," kata Leonard.

Tim tersebut dibentuk untuk mencari dan mengumpulkan bukti dalam konsep penyidikan umum dan mencari pelaku pelanggaran HAM berat. Sekitar 22 jaksa senior akan turun untuk membuat terang perkara dan dipimpin langsung oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus sekaligus mantan koordinator jaksa perkara dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, Ali Mukartono.

Langkah penyelesaian HAM berat, terutama HAM berat masa lalu memang sempat menjadi concern Jokowi. Ia pun sempat menjanjikan kepada publik untuk menyelesaikan konflik pelanggaran HAM berat, terutama HAM berat masa lalu.

Teranyar, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengakui ada pembicaraan antara dirinya dengan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa soal penyelesaian HAM berat. Mahfud mengaku ada 13 kasus HAM berat yang masih menjadi tunggakan.

Mahfud menjelaskan, sekitar 9 dari 13 kasus baru bisa selesai setelah presiden berkomunikasi dengan DPR karena kasus HAM berat masa lalu itu terjadi sebelum UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

“Adapun yang 4, itu sedang kami olah. Yang 4 itu terjadi setelah tahun 2000. Yang terjadi pada zaman Pak Jokowi itu ada 1 yaitu peristiwa Paniai, yang baru diumumkan bulan Juni yang lalu. Itu ada yang melibatkan TNI, melibatkan apa? Nanti yang menyangkut TNI ini Bapak Panglima akan berkoordinasi dengan kami," kata Mahfud pada 25 November 2021.

Pada 4 Desember 2021, Mahfud memastikan bahwa kasus Paniai akan ditindaklanjuti sesuai proses hukum yang berlaku. “Ini nanti akan diproses sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Kasus Paniai ini dalah kasus yang diumumkan baru tahun kemarin oleh Komnas HAM dan kita langsung tindaklanjuti untuk segera dibawa ke pengadilan,” kata Mahfud.

Mahfud kembali menegaskan bahwa penanganan kasus pelanggaran HAM berat berdasarkan penetapan Komnas HAM sebagai satu syarat. Syarat lain adalah perkara pelanggaran HAM berat sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 merupakan wewenang DPR untuk menelaah dan bisa dibawa ke pengadilan.

“Lalu kasus pelanggaran HAM yang terjadi sesudah keluarnya Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 itu ditangani dan dianalisis serta di-follow up oleh Kejaksaan Agung dengan berkoordinasi tentu saja dengan Komnas HAM," tegas Mahfud.

Mahfud juga menegaskan, pemerintah tengah menyiapkan regulasi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang baru. Undang-undang ini direncanakan akan menjadi pengganti UU 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi sebagai upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat.

Respons Soal Kasus Paniai

Wakil Ketua Komnas HAM sekaligus Ketua Tim Tindak Lanjut Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Amiruddin Al Rahab mengapresiasi langkah pemerintah.

“Menghormati dan menyambut baik langkah terobosan yang hendak diambil Jaksa Agung, demi kepastian hukum dan keadilan bagi semua pihak. Terutama kepada korban dan keluarga korban. Mereka sudah terlalu lama menunggu,” kata Amiruddin.

Menurut Amiruddin, langkah terobosan perlu berbentuk langkah hukum dengan penyidikan oleh Jaksa Agung sesuai Pasal 21 dan 22 UU 26 tahun 2000. Komnas HAM menyilakan Kejagung memilih dari 12 peristiwa pelanggaran HAM berat hasil penyelidikan Komnas HAM. Mereka pun berharap tim langsung melakukan penyidikan. Komnas HAM juga meminta pemerintah mengeluarkan kebijakan progresif demi kepentingan korban.

“Demi kepastian hukum dan pemulihan hak-hak korban, pemerintah perlu dan mendesak kiranya untuk mengeluarkan kebijakan baru sebagai dasar hukum untuk pemenuhan hak-hak korban. Jangan hak-hak korban terus diabaikan, akibat proses hukum yang buntu," kata Amiruddin.

Sementara itu, organisasi masyarakat sipil KontraS memberikan catatan kritis dalam penanganan Paniai. Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti mendesak tim bekerja secara profesional, transparan, independen dan mempercepat pemenuhan hak atas kebenaran, keadilan dan pemulihan bagi korban. Mereka pun berharap tim melibatkan masyarakat sipil dalam pengungkapan kasus Paniai.

“Komposisi tim penyidik juga perlu melibatkan unsur masyarakat sipil yang memang telah terbukti bekerja dan memiliki kepedulian HAM agar independensi penyidikan terjaga, sebagaimana Pasal 21 ayat (3) UU Pengadilan HAM. Pasalnya, peristiwa Paniai yang terjadi 7 – 8 Desember 2014 ini banyak melibatkan aparat gabungan TNI/POLRI," kata Fatia dalam keterangan tertulis.

KontraS juga mendesak agar Panglima TNI, Kapolri, serta satuan Polda Papua dan Kodam Cendrawasih ikut diperiksa dalam insiden Paniai. Ia mengingatkan bahwa Pasal 42 UU 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mengatur soal pertanggungjawaban komando. KontraS menyorot kepada Moeldoko, yang kini Kepala Staf Kepresidenan, karena Moeldoko adalah Panglima TNI saat itu.

KontraS juga meminta tim memberikan laporan berkala dalam proses penyidikan agar transparan dan akuntabel. Mereka juga meminta agar korban dilibatkan dalam memastikan pelaksanaan penyidikan transparan, akuntabel dan berkeadilan.

Selain itu, KontraS meminta penyidikan tidak hanya kepada kasus Paniai, tetapi juga Wasior-Wamena dan pelanggaran HAM lain.

“Kejaksaan Agung memiliki kewenangan lebih kuat untuk melengkapi kekurangan hasil berkas laporan penyelidikan Komnas HAM. Tidak ada alasan bagi Kejaksaan Agung untuk terus menerus mengembalikan berkas laporan kepada Komnas HAM,” kata Fatia.

Masih Ada Bayang-Bayang Gelap

Meskipun ada respons positif dari tim dan dorongan agar kasus HAM berat lain segera diselesaikan, tapi kasus Paniai bisa saja tidak berakhir dengan keadilan bagi korban.

Peneliti ELSAM Miftah Fadli meminta Kejaksaan Agung tidak sembarangan dalam penanganan kasus Paniai. Ia tidak ingin kasus dugaan pelanggaran HAM Paniai sama seperti kasus pelanggaran HAM yang sudah sampai ke meja hijau selama ini.

“Kalau dari ELSAM, tuntutan utamanya sebenarnya ketika kasus Paniai ini akan dibawa ke proses peradilan HAM, kejaksaan harus berkaca dari proses peradilan di kasus-kasus terdahulu yang sudah gagal memastikan akuntabilitas hukum dan memenuhi hak atas keadilan korbannya," kata Fadli kepada reporter Tirto, Senin (6/12/2021).

Fadli meminta kejaksaan untuk serius dan memeriksa semua bukti terkait dugaan pelanggaran HAM Paniai, termasuk memastikan aktor utama perkara tersebut. Ia tidak ingin para aktor utama kasus Paniai lepas seperti kasus pelanggaran HAM yang masuk meja hijau.

"Kalau berkaca ke pengadilan HAM berat yang lalu, yang disasar hanya pelaku-pelaku lapangannya, bahkan di seluruh pengadilan HAM berat itu, akhirnya semua pelakunya bebas," kata Fadli.

Dalam catatan Tirto, setidaknya ada 3 kasus pelanggaran HAM berat yang diproses secara pengadilan HAM, yakni kasus pelanggaran HAM Timor Timur (1999), kasus Tanjung Priok (1984) dan kasus Abepura (2000). Hasilnya? Para terdakwa yang harusnya dihukum malah bebas.

Pada kasus Timor Timur, mayoritas pejabat yang diduga terlibat dalam kasus pelanggaran HAM Tim-tim bebas. Sebut saja, mantan Komandan Kodim Dili Letnan Kolonel (Inf.) Endar Priyanto, mantan Komandan Kodim Liquica Letnan Kolonel (Inf.) Asep Kuswani, mantan Kapolres Liquica Letnan Polisi Adios Salova, dan mantan Bupati Liquica Leonito Martins.

Nama salah satu prajurit militer yang disorot adalah Brigjen Tono Suratman (pangkat terakhir Mayjen TNI) yang kala itu Danramil 164 Wira Dharma Dili. Tono yang pernah menjabat sebagai Ketua KONI ini dinyatakan bebas murni karena terbukti tidak terlibat dalam tindak kekerasan berupa penyerangan di rumah Manuel Viegas Carascalao dan komplek Gereja Ave Maria Liquisa seperti didakwakan jaksa penuntut umum (JPU) ad hoc Gabriel Simangunsong.

Pada kasus pelanggar HAM Abepura, majelis hakim memvonis bebas Brigjen Johny Wainal Usman. Majelis menilai Johny tidak terbukti bersalah melakukan pelanggaran HAM berat. Kasus yang berawal dari penangkapan 99 penduduk sipil dan dua orang penduduk mengalami penyiksaan hingga tewas oleh anggota Polres Jayapura itu membuat geram keluarga korban kala itu.

Miftah mengingatkan, tuntutan publik adalah kasus Paniai selesai ke pengadilan serta menyeret pelaku utama. Namun mereka ingin agar proses kasus berjalan dengan baik agar kasus ini tidak mengarah kepada upaya meredam kritisme dan bernasib seperti kasus pelanggaran HAM Timur-Timur, Tanjung Priok maupun Abepura.

“Misalnya, di kasus Tanjung Priok dan Tim-Tim, pelaku utamanya nggak pernah diseret ke pengadilan, korban gak dapat hak pemulihan. Saat kita menuntut ini, pemerintah dengan alasan bahwa pengadilan HAM sudah pernah dilaksanakan justru mendelegitimasi tuntutan korban dan masyarakat," kata Fadli.

Ahli hukum pidana internasional dari Universitas Padjajaran Nella Sumika Putri menilai perkara HAM masa lalu Paniai bisa dijerat. Namun tantangan terbesar dalam kasus Paniai adalah bagaimana membuktikan bahwa kejadian Paniai adalah pelanggaran HAM berat.

“Pertanyaannya adalah ini buktinya sudah memadai untuk di situnya (pelanggaran HAM berat) atau tidak? Kalau ada orang matinya, ada penyiksaan itu sudah terbukti, tapi pada saat kita naikkan levelnya ke kejahatan terhadap kemanusiaan harus lagi ada unsur baru yang harus dipenuhi," kata Sumika kepada reporter Tirto, Senin (6/12/2021).

Ia mengingatkan, kasus pelanggaran HAM berat dalam konsep Indonesia meskipun hampir sama dengan kejahatan internasional yang menjadi kewenangan mahkamah pidana internasional akan tetapi memiliki beberapa perbedaan. Saat ini UU 26/2000 tentang pengadilan HAM baru mengatur dua bentuk tindak pidana yang termasuk ke dalam pelanggaran HAM berat yakni genosida dan kejahatan kemanusiaan.

Kejahatan kemanusiaan sendiri berbeda dengan kejahatan yang diatur KUHPidana. Setidaknya ada dua unsur pembeda utama. Pertama, kejahatan kemanusiaan yang dilakukan adalah serangan dari aparat kepada rakyat.

“Jadi jaksa atau Komnas HAM harus bisa membuktikan unsur yang pertama sebagai bagian dari serangan. Jadi harus ada serangan dari salah satu pihak," kata Sumika.

Dalam poin pertama pun harus membuktikan apakah serangan tersebut atas inisiatif sendiri atau ada kebijakan. Pada poin pertama, jaksa harus membuktikan apakah serangan tersebut atas inisiatif sendiri atau tidak.

“Jadi situasional atau bisa jadi ada perintah. Itu yang harus dibuktikan kita mau narik siapa ke sini yang mau bertanggung jawab," tegas Sumika.

Kedua serangan tersebut harus meluas. Sumika bilang, meluas bisa berarti dilakukan di beberapa daerah atau dilakukan di satu daerah secara terus-menerus. Opsi lain definisi meluas adalah dilakukan dengan pola tertentu sehingga kejadian dilakukan dengan sebuah konsep dan pola.

Dalam pembuktian kasus seperti Paniai, kata dia, kejaksaan tidak boleh bergerak sendiri. Ia menilai hasil penyelidikan Komnas HAM harus dijadikan acuan untuk menjerat para tersangka. Di sisi lain, sistem peradilan harus ikut mendukung agar kasus Paniai tidak seperti kasus pelanggaran HAM lain yang berakhir tidak menjerat pelaku.

Sebagai contoh, pertama adalah Kejagung harus menggandeng hasil penyelidikan Komnas HAM dan mengeksplorasi hasil penyelidikan yang sudah menemukan indikasi pelanggaran HAM berat. Kedua, Kejagung harus mengajak LPSK dalam perlindungan saksi dan korban agar mereka tidak tertekan saat memberikan kesaksian. Selain itu, hakim juga harus mempunyai pandangan HAM agar kasus ini bisa divonis dengan baik.

Baca juga artikel terkait TRAGEDI PANIAI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz