Menuju konten utama

Penyidik dari Polri Diduga Peras Wali Kota, KPK Keropos dari Dalam

Masalah internal yang terkait erat dengan etik terus saja terjadi di KPK. KPK pun dinilai telah keropos.

Petugas menunjukkan barang bukti pada jumpa pers Operasi Tangkap Tangan (OTT) Gubernur Sulawesi Selatan di gedung KPK, Jakarta, Minggu (28/2/2021) dini hari. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/rwa.

tirto.id - Ketua Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) Tumpak Hatorangan Panggabean menerima laporan pemerasan yang dilakukan oleh seorang penyidik dari unsur kepolisian bernama AKP Stefanus Robin Pattuju. Ia diduga menawarkan jasa untuk menghentikan kasus Wali Kota Tanjungbalai Sumatera Utara M. Syahrial dengan imbalan sebesar Rp1,5 miliar.

Rabu (21/4/2021) lalu KPK mengumumkan sedang menyelidiki dugaan korupsi di Pemerintah Kota Tanjungbalai terkait penerimaan hadiah atau janji lelang jabatan tahun 2019. Satu hari sebelumnya, mereka menggeledah rumah M. Syahrial.

Ketua KPK Firli Bahuri, yang juga berlatar belakang polisi, berjanji akan menyelidiki perkara internal ini. “Hasil penyelidikan akan ditindaklanjuti dengan gelar perkara segera di forum ekspose pimpinan,” ujarnya kepada wartawan, Rabu.

Saat ini Robin sudah ditahan kepolisian. Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Irjen Pol Ferdy Sambo berjanji akan menindak anggota yang melanggar kode etik profesi. “Masalah etik nanti kami akan koordinasi dengan KPK karena yang bersangkutan anggota Polri yang ditugaskan di KPK,” ujar Sambo, Kamis (22/4/2021).

Stefanus Robin Pattuju adalah mantan Kepala Bagian Operasional Kepolisian Resor Halmahera Selatan, Maluku Utara. Pada Agustus 2019, Mabes Polri menugaskannya sebagai penyidik di KPK. Robin merupakan alumnus Akademi Kepolisian 2009.

Sementara terkait kasusnya, katanya, “masih akan diproses pidananya di KPK.”

Kamis kemarin Robin juga menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta. Tim penyelidik KPK berupaya mengumpulkan bukti-bukti dan meminta sejumlah keterangan terkait dugaan pemerasan tersebut.

“Kami memastikan penanganan perkara dugaan penerimaan uang ini akan diusut sendiri oleh KPK secara transparan. Untuk itu, kami persilakan masyarakat untuk mengawal prosesnya,” ujar Plt Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri kepada wartawan, Kamis.

Keropos dari Dalam

Peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum UGM Zaenur Rohman mengatakan kasus terbaru ini membuktikan semakin memudarnya integritas di KPK. “KPK telah keropos internalnya. Tergerus nilai-nilai integritasnya,” ujar Zaenur kepada reporter Tirto, Kamis.

Dalam beberapa waktu terakhir, di KPK memang muncul masalah-masalah terkait itu: dari mulai pencurian barang bukti emas, penggeledahan yang gagal karena terindikasi informasinya bocor, hilangnya nama para politikus yang diduga terlibat dalam korupsi dana bantuan sosial dalam surat dakwaan, dugaan pemerasan terhadap pejabat Cimahi, dan terakhir pemerasan Tanjungbalai.

Menurutnya persoalan-persoalan tersebut muncul karena KPK dipimpin oleh seorang polisi yang juga “seperti membawa gerbong yang didominasi kepolisian,” ujar Zaenur.

Beberapa jabatan di KPK yang diisi unsur kepolisian adalah: Deputi Penindakan Irjen Karyoto, Direktur Penyidikan Brigjen (Pol) Setyo Budiyanto, Direktur Penyelidikan Brigjen (Pol) Endar Priartono, Direktur Monitoring Brigjen (Pol) Agung Yudha Wibowo. Direktur Pembinaan Peran Serta Masyarakat Brigjen (Pol) Kuswidjanto Sudjadi, Direktur Koordinasi Supervisi I KPK Brigjen (Pol) Didik Agung Widjanarko, Direktur Koordinasi Supervisi II KPK Brigjen (Pol) Yudhiawan, dan Direktur Koordinasi Supervisi III KPK Brigjen (Pol) Bahtiar Ujang Purnama.

Ini semua menurutnya berbahaya karena “KPK seharusnya didesain sebagai lembaga yang independen.” Asas egaliter dan kolektif kolegial di KPK terkikis oleh dominasi Firli, katanya.

Firli sendiri sempat diberikan sanksi etik ringan oleh Dewas KPK.

Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana juga menyayangkan kasus ini terjadi di KPK, lembaga “yang seharusnya menjadi contoh dan trigger mechanism bagi penegak hukum lain.”

Apabila Robin terbukti bersalah, ia perlu dijerat dua pasal UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: pasal 12 huruf 3 tentang pemerasan dan pasal 21 terkait menghalangi-halangi proses hukum. “KPK harus memproses hukum penyidik itu serta Polri juga mesti memecat yang bersangkutan,” ujar Kurnia.

ICW berharap dengan kombinasi dua pasal itu Robin dapat dihukum maksimal seumur hidup.

Baca juga artikel terkait PENYIDIK KPK atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi & Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi & Adi Briantika
Penulis: Alfian Putra Abdi & Adi Briantika
Editor: Rio Apinino