Menuju konten utama

Penyesatan Anji dan Hadi Pranoto yang Menyusahkan Penanganan Corona

Anji dan Hadi Pranoto menyesatkan publik. Apa yang mereka sampaikan berbahaya terhadap penanganan Corona secara umum.

Wawancara Anji dan Hadi Pranoto. youtube/Anji manji

tirto.id - Video wawancara Erdian Aji Prihartanto alias Anji di Youtube memantik kontroversi. Anji mengundang sosok bernama Hadi Pranoto yang mengklaim telah menemukan “antibodi COVID-19.” Obat ini disebut-sebut mampu “mencegah dan menyembuhkan” Corona hanya dalam hitungan hari. Ia juga berujar obatnya telah digunakan di RS Darurat Wisma Atlet Kemayoran.

Video itu kini telah diturunkan oleh Youtube. Belum jelas apa sebabnya. Namun, klaim-klaim dalam video itu jelas terlalu bombastis.

Anggota Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Supriadi Rustad mengatakan nama 'Hadi Pranoto' tidak terdaftar sebagai profesor dalam pangkalan data Dikti. Selain itu, “dia profesor dari kampus mana, laboratoriumnya di mana, dan tim peneliti obat COVID-19 siapa saja, itu tidak jelas. Jadi klaim gelar profesornya sangat diragukan.”

Merujuk pada Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, profesor adalah jabatan akademik tertinggi pada satuan perguruan tinggi yang sebutan lainnya adalah guru besar. Syarat untuk menduduki jabatan ini ialah memiliki kualifikasi akademik doktor, dan seorang profesor berkewajiban menulis buku dan karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya untuk mencerahkan masyarakat.

Maka dari itu, katanya, “kalau dia profesor, minimal ada penelitiannya dan mudah dicari di sumber terbuka.” Kriteria itu yang tak ada pada diri Hadi Pranoto.

Tirto mencari nama Hadi Pranoto di situs Google Cendekia, tapi yang muncul adalah penelitian tentang motivasi belajar di SMP yang dipubikasikan tahun 2016. Di laman itu tertulis bahwa Hadi Pranoto berasal dari program diploma Manajemen Informasi Universitas Muhammadiyah Metro, Lampung.

Kami kemudian membuka laman Researchgate.net mencari hal sama. Dari sana kami menemukan empat orang bernama Hadi Pranoto, termasuk yang berasal dari Universitas Muhammadiyah Metro Lampung. Namun dari foto profil yang ditampilkan laman tersebut, tak ada yang menyerupai sosok yang diwawancara oleh Anji.

Hal serupa diungkapkan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam. Komentarnya singkat saja: “Dengan tidak jelasnya siapa orang ini, apa yang dibicarakan juga tidak jelas.”

Bahaya

Elina Ciptadi, salah satu pendiri KawalCovid19, yang menyatakan diri sebagai “sumber informasi inisiatif sukarela netizen Indonesia pro-data,” menilai Anji, sebagai orang yang berpengaruh bagi publik, “membuat pekerjaan pemerintah, tenaga kesehatan, media, dan grup-grup akar rumput di masa pandemi jadi jauh lebih sulit” karena menyebarkan informasi menyesatkan.

Kepada reporter Tirto, Senin (8/3/2020), ia mengatakan Anji semestinya bertanggung jawab mengkurasi keakuratan sebuah informasi sebelum menyebarkannya ke masyarakat, termasuk latar belakang calon narasumber, apa penelitiannya, hingga klaim-klaim lain. Hal ini tidak dia dilakukan.

Elina berharap pencetus dan penyebar berita bohong terkait COVID-19 ditindak sesuai aturan hukum yang berlaku.

Di samping penegakan hukum, Elina juga menyoroti penyampaian informasi yang diberikan oleh pemerintah. Menurutnya, di negara lain seperti Singapura, Selandia Baru, dan Australia ada orang-orang semacam Anji atau drumer Superman Is Dead I Gede Ari Astina alias JRX. Namun orang-orang itu tidak didengar lantaran negara hadir memberikan informasi yang lengkap dan akurat.

Sementara di sini, informasi yang diberikan sebatas jumlah kasus dan imbauan semata. Ada celah kosong informasi yang akhirnya diisi oleh pembual.

“Konspirasi dan hoaks sedikit yang percaya dan enggak dapat panggung karena mereka lebih percaya info pemerintah,” tandas Elina.

Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito pun berharap agar tokoh atau orang terkenal selalu berhati-hati terhadap sumber berita. Ia menuntut agar check and recheck selalu dilakukan. “Jangan cepat percaya pada pemberitaan dan jangan cepat membagi berita yang isinya diragukan kebenarannya,” kata Wiku dalam keterangan tertulis.

Pembelaan Hadi

Dalam wawancara yang diunggah dalam video berjudul 'Bisa Kembali Normal? Obat COVID-19 Sudah Ditemukan' itu Hadi disebut sebagai seorang “pakar mikrobiologi.” Sejak awal wawancara Anji selalu menyebut Hadi dengan “profesor” atau “prof”. Beberapa kali pula ia menyapa Hadi dengan sebutan “dokter”.

Kepada reporter Tirto, Senin (8/3/2020), Hadi mengatakan ia sebenarnya tidak pernah mendaku diri sebagai profesor atau dokter, baik kepada Anji secara personal maupun dalam video itu. Ia mengaku hanya orang yang meneliti secara independen di bidang mikrobiologi. Ia juga tidak terikat pada perguruan tinggi, perusahaan, atau lembaga penelitian tertentu. Dia mengaku melakukan penelitian obat ini bersama kawan-kawannya secara mandiri.

Hadi mengakui belum melakukan uji klinis atas obatnya tersebut. Ia khawatir jika dilakukan sendiri, tidak ada orang yang memercayai hasil uji tersebut. Untuk itu ia mengklaim telah meminta bantuan sejumlah lembaga—tidak menyebut lembaga yang dimaksud—tetapi permintannya terbentur birokrasi.

Kendati begitu, Hadi berani menjamin keamanan produknya lantaran sudah mendapat izin edar BPOM dengan nomor TR203636031. Produk didaftarkan oleh PT Saraka Mandiri Semesta yang berlokasi di Kabupaten Bogor dengan merek Bio Nuswa tertanggal 14 Apri 2020.

Hadi mengatakan obatnya itu didaftarkan sebagai “produk herbal.” “BPOM kan sebagai badan pengawasan pangan secara keseluruhan. Kalau ini sudah terdaftar di BPOM, ya sudah bisa dikonsumsi secara massal oleh manusia.”

Ia bilang syuting dilakukan pada Kamis 30 Juli 2020 di Lampung. Ia mengaku tak ada yang keliru dari wawancara tersebut.

“Saya melihat sangat luar biasa apresiasi Anji untuk Covid ini. Kami saling berbagi. Sesuatu yang baik kenapa tidak dilakukan?” katanya.

Baca juga artikel terkait ANJI DAN HADI PRANOTO atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino