Menuju konten utama

Penyebab Kecelakaan Proyek DDT di Jatinegara Belum Terungkap

Empat pekerja tewas akibat kecelakaan proyek Double-Double Track (DDT) rel kereta api Manggarai-Jatinegara, Minggu (4/2) Pagi. 

Penyebab Kecelakaan Proyek DDT di Jatinegara Belum Terungkap
Kondisi konstruksi kecelakaan di Jatinegara, Jakarta, Minggu (4/2/2018). tirto.id/ Andrian Pratama Taher

tirto.id - Saat Minggu (4/2) pagi, ketika sebagian orang sedang tidur lelap di akhir pekan, para pekerja proyek Double-Double Track (DDT) rel kereta Manggarai-Jatinegara harus tetap bekerja demi merampungkan target. Proyek pengembangan stasiun ini diproyeksikan selesai tahun depan, dan diharapkan bisa mengurai masalah yang selama ini kerap terjadi di jalur KRL Jabodetabek.

Namun, pengorbanan para pekerja ini harus berakhir nahas. Lima orang yang ketika itu tengah menaikkan bantalan rel dengan menggunakan alat berat mengalami kecelakaan, empat orang di antaranya tewas.

Direktur Keselamatan Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Edi Nursalam mengatakan sejauh ini kecelakaan diduga terjadi akibat dudukan launcher long cross beam (alat pengangkut beton) tidak kuat menahan beban ketika mengangkat dudukan rel. Launcher yang mengangkat material dari bawah, akhirnya menjadi tidak seimbang. Bantalan rel kemudian jatuh menimpa korban.

"Yang tergelincir adalah launcher girder dalam rangka mengangkat dudukannya ini," kata Edi.

Namun, kesimpulan awal ini harus diinvestigasi lebih dalam. Edi mengatakan pihaknya perlu waktu agar jawaban final dari kecelakaan ini.

Sementara itu, Dinas Ketenagakerjaan DKI, yang langsung melakukan pemantauan di tempat kejadian perkara, mengatakan dari pemeriksaan awal ada temuan yang mengarah pada kesalahan prosedur.

"Namanya kecelakaan kerja pasti ada yang dilanggar persyaratan-persyaratannya," kata Kasubdit Penyidikan Tindak Pidana Ketenagakerjaan Agus Subekti di lokasi kejadian. Agus mengatakan saat ini pihak Disnaker DKI Jakarta akan memanggil para kontraktor untuk mendalami dugaan ini.

Proyek DDT KA Manggarai-Jatinegara ini dikerjakan konsorsium PT Hutama Karya-Modern-Mitra. Saat dikonfirmasi siapa yang harus bertanggung jawab, Agus belum mau bicara banyak. Ia beralasan, mereka harus menunggu hasil pemeriksaan terlebih dulu.

"Saya tidak bisa menjawab. Besok saja nunggu hasil," kata Agus.

Pernyataan Agus disanggah Iwan Zarkasih, Ketua Komisi Keselamatan Konstruksi sekaligus Kepala Direktorat Jenderal Bina Marga Direktur Jembatan Kementerian PUPR. Dari pantauan awal, ia menyimpulkan bahwa launcher bekerja dengan baik, meski hal ini pun harus diteliti lebih lanjut.

Faktor Pekerja?

Dugaan kemudian mengarah pada faktor manusia. Fakta bahwa kejadian terjadi pada pagi buta menimbulkan asumsi bahwa para pekerja kelelahan atau mengantuk. Usaha untuk mencari tahu bagaimana kondisi kerja para pekerja proyek DDT dilakukan dengan mendatangi lokasi.

Sayang ketika reporter Tirto sampai ke tempat kejadian, tidak ada satu pun pekerja yang ada di sana. Kemungkinan besar sengaja dievakuasi. Pekerja bidang keamanan, malah menjauh dan tidak mau bicara soal kondisi kerja para buruh bangunan.

Keterangan diperoleh dari salah seorang warga yang bekerja sebagai juru parkir di dekat lokasi kejadian. Anto, 35 tahun, mengaku baru mengetahui kecelakaan di televisi. Namun ia bersaksi bahwa para pekerja, yang menurut versinya mencapai 50 orang, memang sering bekerja hingga larut.

"Kadang-kadang sampai lembur. Sampai jam 3 (dini hari) masih kerja," kata Anto kepada Tirto.

Yang Anto tahu, para pekerja ini dibayar harian, Rp200 ribu. Anto bahkan sempat diajak turut serta. Namun kondisi fisik yang mesti harus prima tidak bisa dipenuhinya.

"Ikut dulu. Diajarin. Tapi tidak kuat tenaganya. Mendingan [jadi juru] parkir saja," kata Anto, yang mengaku sering nongkrong dengan para pekerja ketika mereka istirahat.

Hal serupa dikatakan oleh Ketua Umum Asosiasi Ahli K3 Konstruksi Lazuardi Nurdin, yang juga memantau langsung ke lapangan. Menurutnya memang ada dugaan jam kerja para buruh ini melebihi batas, lebih dari 8 jam per hari. Namun semuanya tetap harus menunggu penjelasan polisi. Selain itu, menurutnya pekerjaan yang dikerjakan pada malam hari juga meningkatkan risiko kecelakaan kerja.

Dalam Pasal 77 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, disebutkan bahwa waktu kerja maksimal yang ditetapkan adalah 40 jam dalam seminggu. Jika pun ada lembur, maka harus memenuhi syarat berupa: 1. persetujuan dari para pekerja; 2. waktu lembur paling banyak 3 jam dalam satu hari.

"Nanti kalau melebihi persyaratan berdasarkan Undang-undang Ketenagakerjaan bisa kita katakan ada pelanggaran jam kerja," tutur Lazuardi.

Pihak Kepolisian juga belum bisa menyimpulkan penyebab kecelakaan yang menewaskan 4 orang pekerja dalam proyek double-double track (DDT) kereta api dengan jatuhnya launcher girder crane di Jatinegara, Jakarta, Minggu (4/2/2018). Tim Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Mabes Polri baru akan melanjutkan olah tempat kejadian perkara (TKP) pada Senin (5/2/2018) besok.

"Belum bisa menyimpulkan itu apa penyebabnya. Besok dilanjutkan lagi," jelas Kabid Balistik Metalurgi Forensik Mabes Polri, Kombes Pol Ulung Kanjaya di lokasi.

Bukan Kali Pertama

Insiden sejenis sudah terjadi beberapa kali. Dengan demikian kasus terbaru ini harusnya jadi pelajaran bagi otoritas terkait untuk mengevaluasi proyek infrastruktur secara menyeluruh. Jangan sampai kejadian serupa terulang dengan memperhatikan betul seluruh aspek terkait.

Pada 22 Januari lalu, konstruksi bangunan Light Rapid Transit (LRT) yang menghubungkan Kelapa Gading-Velodrome di Kayu Putih, Jakarta Timur juga roboh. Lima orang terluka tertimpa reruntuhan. Pada 20 hari sebelumnya, atau pada 2 Januari 2018, girder atau balok beton di jalan tol Antasari-Depok juga mengalami kejadian serupa, untungnya tak ada korban.

Ini belum termasuk kejadian-kejadian di luar Jakarta, seperti kasus robohnya beton ketika sedang dipasang di proyek Tol Pemalang-Batang, Desember tahun lalu.

Infografik Insiden Kecelakaan Konstruksi

Baca juga artikel terkait KECELAKAAN KERJA atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Rio Apinino