Menuju konten utama

Penyebab dan Akibat Kebakaran Hutan di Kalimantan Hingga Sumatera

Kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera meluas. Akibatnya, bencana asap pun melanda kota-kota di Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan lainnya.

Penyebab dan Akibat Kebakaran Hutan di Kalimantan Hingga Sumatera
Sejumlah pengendara melintasi jalan yang diselimuti kabut asap di Pontianak, Kalimantan Barat, Senin (16/9/2019). ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang/pras.

tirto.id - Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) meluas di Kalimantan dan Sumatera. Kejadian saat musim kemarau 2019 tersebut kembali memicu bencana asap di banyak daerah. Laporan bencana asap pun bermunculan dari Riau, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat pada bulan ini.

Berdasar data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sampai Senin, 16 September 2019, pukul 16.00 WIB, titik panas ditemukan di Riau sebanyak 58, Jambi (62), Sumatera Selatan (115), Kalimantan Barat (384), Kalimantan Tengah (513) dan Kalimantan Selatan (178).

Jumlah titik panas atau hotspot itu menurun dibandingkan data BNPB per 15 September 2019, pukul 16.00 WIB. Pada Minggu kemarin, jumlah titik panas di Riau ada 59, Jambi (222), Sumatera Selatan (366), Kalimantan Barat (527), Kalimantan Tengah (954) dan Kalimantan Selatan (119).

Sementara luas karhutla di Indonesia selama 2019, sesuai data KLHK, sudah mencapai 328.722 hektare. Dari data itu, kebakaran di Kalimantan Tengah tercatat seluas 44.769 hektare, Kalbar (25.900 ha), Kalsel (19.490 ha), Sumsel (11.826 ha), Jambi (11.022 ha) dan Riau (49.266 ha).

Sedangkan, menurut data yang dilansir situs iku.menlhk.go.id secara harian, pada 16 September 2019 per pukul 15.00 WIB, Indeks Standar Pencemar Pencemar Udara (ISPU) di Palangkaraya (Kalimantan Tengah), mencapai angka 500. Artinya, kualitas udara di Palangkaraya ada pada level Berbahaya bagi semua populasi yang terpapar pada waktu tersebut.

Data yang sama menunjukkan hingga Senin pukul 15.00 WIB, kualitas udara di Pekanbaru (Riau) dan Pontianak (Kalbar) masuk dalam kategori Tidak Sehat, dengan angka ISPU masing-masing 192 dan 160. Dampak kondisi di level ini umumnya penurunan jarak pandang dan penyebaran luas debu. ISPU pada kategori Tidak Sehat juga terjadi di Kota Jambi, yakni mencapai angka 129.

Angka ISPU itu berdasar parameter konsentrasi partikulat PM 10 atau partikel di udara berukuran lebih kecil dari 10 mikron. PM10 adalah partikel debu dan salah satu polutan yang membahayakan sistem pernapasan jika terhisap langsung ke paru-paru serta mengendap di alveoli.

Data BMKG yang dilansir harian berdasar parameter konsentrasi PM10, juga menunjukkan kualitas udara di Pekanbaru (Riau) pada 16 September 2019, pukul 18.00 WIB, mencapai level Berbahaya atau angka 327 µgram/m3. Tingkat konsentrasi PM10 makin parah pada pukul 21.00 WIB.

Di Pontianak, konsentrasi PM10 sempat menyentuh level Berbahaya pada Senin, pukul 16.00 WIB, yakni 383,81 µgram/m3. Angka itu menurun ke level Sangat Tidak Sehat atau 293,73 µgram/m3 pada pukul 18.00 WIB. Kualitas udara di Sampit (Kalbar), yang Berbahaya pada Senin pagi, turun ke level Sangat Tidak Sehat dengan konsentrasi PM10 226,6 µgram/m3, saat pukul 18.00 WIB.

Akibat Bencana Asap Bagi Warga

Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Made Ali mengilustrasikan bencana asap membuat warga di daerahnya selama ini seperti dikurung dalam ruangan tertutup bersama tungku kayu bakar yang menyala. "Bagaimana rasanya? Hidung tersumbat, pusing, mata perih, kan? Nah itu lah yang kami alami setiap hari," kata Made pada Minggu (15/9/2019).

Sementara Fitri Yannedi (40) mengaku sudah dua minggu "tersandera" di rumahnya, daerah Pekanbaru. Makanan sehari-harinya tak jauh-jauh dari mie instan karena mayoritas pasar dan rumah makan tutup saat pemiliknya mengungsi. Anak dan istrinya pun mengungsi ke Sorkam, Sumut. Menurut dia, asap sudah mulai muncul di sekitar permukimannya pada akhir Mei lalu.

Dia pun bersama sesama alumni Universitas Riau, serta 40 pengacara, kini menyiapkan gugatan class action, melawan wali kota, gubernur dan presiden. "Riau ini bukan terbakar tapi dibakar. Sudah jadi rahasia umum, perusahaan-perusahaan biadab itu kerjanya bakar hutan," ujar Yannedi.

Adapun Winda (34), mengaku setiap hari terpapar asap dan melihat api dari hutan di depan rumahnya, di Palangkaraya, Kalteng. Kata dia, rumahnya diselimuti asap sejak Juni 2019. Bahkan, pada pekan kemarin, jarak pandang di permukiman Winda sempat hanya sekitar 1 meter.

Winda khawatir karena kondisi ini menghambat aktivitas dan mengganggu kesehatan anaknya. Anak Winda yang masih 2 tahun kini menderita ISPA (infeksi saluran pernapasan atas). "Kalau yang besar itu kan SMP, batuk-batuk juga [...]," ujar Winda, Jumat (13/9/2019) lalu.

Asap juga membuat penerbangan di Bandara Pangsuma di Putussibau, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, dibatalkan pada 15 September 2019. "Penerbangan dibatalkan karena jarak pandang terbatas di Pontianak dan Putussibau," kata Kepala Bandara Pangsuma, Hery Azari Batubara.

Garuda Indonesia bahkan mengumumkan pembatalan jadwal 15 penerbangan pada 16, 17, 18 dan 19 September 2019 karena dampak kabut asap di Kalimantan.

Penyebab Karhutla di Kalimantan dan Sumatera

Setelah meninjau kebakaran hutan dan lahan di Riau dengan menaiki helikopter bersama Kepala BNPB dan Panglima TNI, pada Minggu (15/9/2019), Kapolri Jenderal Tito Karnavian heran karena ia tidak melihat lahan sawit dan tanaman industri ikut terbakar. Kalaupun ada, hanya di pinggir.

"Ini menunjukkan adanya praktik 'land clearing' dengan [cara] mudah dan murah memanfaatkan musim kemarau," ujar Tito terkait dugaan kuat kebakaran akibat ulah manusia dalam siaran pers BNPB.

Hingga 16 September 2019, polisi memang sudah menetapkan 185 tersangka perseorangan dalam kasus karhutla. Namun, baru 4 korporasi menjadi tersangka terkait kasus karhutla di Riau, Kalbar dan Kalteng.

Sedangkan KLHK mengklaim sampai akhir pekan lalu sudah menyegel 42 perusahaan yang diduga menjadi otak di balik pembakaran hutan dan lahan. Penyegelan itu dalam rangka proses hukum.

Lahan perusahaan-perusahaan itu berlokasi di Jambi, Riau, Sumsel, Kalbar dan Kalteng. Di antara 42 perusahaan itu ada yang dimiliki pemodal asal Singapura dan Malaysia.

Dirjen Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho Sani menyatakan akan mendorong pengenaan pasal berlapis ke pelaku pembakaran hutan, terutama dari korporasi. Pasal-pasal itu tidak hanya terkait UU Lingkungan, tetapi juga UU Kehutanan dan Perkebunan.

Menurut Ridho, empat perusahaan yang kini sudah menjadi tersangka kasus karhutla adalah PT ABP, PT AEL, PT SKN dan PT KS. Tiga perusahaan pertama berlokasi di Kalbar. Sedangkan yang terakhir beroperasi di Kalimantan Tengah.

Adapun menurut Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim, KLHK, Ruandha Agung Sugardiman, selain El Nino yang membuat curah hujan minim, insiden kebakaran di Australia diduga turut membuat potensi karhutla di Indonesia membesar.

"Memang kondisinya saat ini El Nino normal, tapi ini diperparah dengan adanya kebakaran di Australia yang arah anginnya sekarang dari tenggara menuju ke barat laut. Sehingga udara kering dari Malaysia menambah potensi terjadinya kebakaran ini," kata dia seperti dilansir Antara.

Baca juga artikel terkait KARHUTLA atau tulisan lainnya dari Addi M Idhom

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Agung DH