Menuju konten utama

Penyakit Lepra dan Para Penderita yang Diasingkan di Molokai

Stigma terhadap penderita lepra atau kusta berlangsung lama. Ilmu pengetahuan medis mencoba meluruskannya.

Penyakit Lepra dan Para Penderita yang Diasingkan di Molokai
Header Mozaik Lepra. tirto/id/Ecun

tirto.id - Dalam kitab suci agama-agama Abrahamik, penyakit lepra atau kusta beberapa kali disinggung, salah satunya dalam Alkitab. Para penderita lepra kerap digambarkan sebagai gelandangan, miskin, dikucilkan, dan sangat menderita.

Mereka dianggap sebagai golongan sosial paling rendah. Berbagai penolakan membuat mereka banyak yang hidup menggelandang di jalan atau justru hidup bersembunyi. Karena dianggap najis, para Rabbi Yahudi dilarang menyentuh penderita lepra.

Penyakit kusta sempat diangkat dalam beberapa film. Salah satu dalam film yang berkisah tentang kehidupan Judah Ben-Hur, orang Yahudi kaya raya yang hidup semasa dengan Yesus. Ben-Hur ditindas oleh Kekaisaran Romawi hingga terpaksa menjalani bertahun-tahun kehidupannya sebagai budak kapal laut.

Ibu dan adik perempuan Ben-Hur menderita lepra di dalam kurungan penjara bawah tanah Kerajaan Romawi. Karena ngeri melihat kondisi mereka dan khawatir penyakitnya menular ke semua penghuni penjara, para sipir memutuskan untuk melepaskan mereka agar bisa tinggal di sebuah lembah khusus.

Terbatasnya ilmu pengetahuan di bidang medis menjadi salah satu alasan kenapa lepra digambarkan sebagai penyakit yang haram di masa itu. Mereka yang menderita kusta dianggap menyebarkan kutukan iblis, atau justru menjadi jelmaan iblis untuk membawa malapetaka di dunia.

Tradisi mengucilkan penderita kusta telah berlangsung lama. Penyakit ini pertama kali muncul pada 600 SM. Kata "kusta" berasal dari istilah Sansekerta "kushta" yang berarti menggerogoti. Beberapa sumber dari negara lain bahkan menyebut penyakit lepra sudah muncul sejak 2000 tahun SM.

Penyakit Kusta

Penyakit Kulit Kusta. FOTO/Istockphoto

Seiring waktu, pengetahuan masyarakat terhadap penyakit lepara terus mengalami perubahan. Pada abad ke-19, orang-orang Inggris di koloni India, misalnya, mulai memiliki pemahaman yang koheren. Mereka mulai mengerti bahwa lepra bukan hanya menyerang orang-orang miskin dan gelandangan yang hidup di lingkungan tak higienis, tapi juga kelas sosial lainnya.

Lepra atau kusta kemudian menjadi istilah umum dalam dunia medis Eropa untuk penyebutan penyakit apapun yang membuat permukaan kulit berubah bentuk atau warna. Selain itu, jika kulit penderita sulit merespons berbagai jenis pengobatan, maka istilah lepra langsung disematkan.

Pada tahun 1811 identifikasi saintifik mengenai ciri khas lepra sebenarnya sudah dilakukan di Madras. James Dalton, ahli bedah di Madras Leprosy Asylum, berhasil mendeskripsikan kusta dalam istilah yang lebih sempit daripada definisi asli penyakit ini.

Deskripsi Dalton sesuai dengan pemahaman orang-orang Inggris tentang ciri khas kusta yang berkembang pada pertengahan abad ke-19.

"Kriteria kusta adalah kulit kasar bersisik, mati rasa pada tangan dan kaki, tenggorokan sering serak, bau nafas sangat menyengat, pipi dan wajah diselimuti benjolan besar pucat, dan sering berakhir pada jemari borok,” kata Dalton seperti dikutip Jane Buckingham dalam bukunya Leprosy in Colonial South India: Medicine and Confinement (2002:8).

Salah satu keunikan bakteri lepra (Mycobacterium leprae atau Basillus Hansen) yang membedakannya dengan bakteri lain adalah kemampuannya berkembang pada organisme yang masih hidup. Ketika menyerang sistem saraf, gejala timbul dalam durasi yang berbeda-beda.

Ada kasus lepra yang berkembang cukup cepat dalam satu tahun, namun tak jarang perkembangannya memakan durasi hingga 20 tahun. Langkah pencegahannya juga tidak mudah. Hingga kini, belum jelas bagaimana bakteri ini masuk ke dalam tubuh manusia dan bergerak menuju sel saraf.

Stigma dan Pengasingan Penderita Lepra di Molokai

Meski lepra bisa berkembang pada perubahan fisik penderita yang signifikan, penularannya justru terbilang sulit. Cressida Madigan, asisten peneliti biologi molekuler di UC San Diego menyebutkan bahwa untuk tertular lepra, seseorang harus tinggal bersama dengan penderita lepra selama bertahun-tahun.

Stigma lain yang sering terdengar adalah bahwa tingkat kematian karena lepra sangat tinggi. Faktanya, justru 95 persen tubuh manusia modern imun terhadap bakteri lepra. Tempo perkembangan yang sangat lambat juga membuat bakteri lepra tidak akan menyebabkan kematian mendadak.

Ketika imperialisme Barat mencapai era keemasan, komunikasi dan teknologi armada laut telah memungkinkan rencana perjalanan ke bagian-bagian dunia yang sebelumnya sulit dijangkau. Kapal-kapal dari Eropa, juga kapal laut Amerika Serikat berlomba mendatangi dunia Timur yang memerlukan rute yang berbeda.

Infografik Mozaik Lepra

Infografik Mozaik Lepra. tirtoid/Ecun

Dalam perjalanan itu banyak kapal laut AS singgah di Kepulauan Hawaii. Pada pertengahan 1860-an, wilayah Kalaupapa di Kepulauan Hawaii menjadi koloni khusus untuk para penderita Lepra. Raja Kamehameha V yang berkuasa di wilayah itu mengeluarkan keputusan mengisolasi wilayah Kalaupapa untuk mencegah penularan lepra.

Di masa itu, banyak penulis dari negara-negara Barat ikut dalam berbagai pelayaran ke dunia Timur yang asing, di antaranya Jack London dan Robert Louis Stevenson. Lepra tak luput dari pengamatan mereka.

“Tulisan Jack London tentang lepra cenderung lebih ekstrem daripada Stevenson. Ada karya The Cruise of the Snark yang terbit pada 1911 dan The Sheriff of Kona yang menampilkan ‘Koolau the Leper’ yang menceritakan kengerian masyarakat terhadap lepra,” tulis Rod Edmond dalam buku Leprosy and Empire: A Medical and Cultural History (2006:224).

Jozef de Veuster, Pastor Katolik asal Belgia yang dikenal dengan panggilan Pastor Damien, pernah menjadi misionaris di wilayah ini. Dalam 11 tahun, ia membangun sekolah, klinik, dan memenuhi berbagai macam kebutuhan pada penderita lepra.

Di pengujung hidupnya, Pastor Damien akhirnya tertular lepra. Pada 11 Oktober 2009, ia dikanonisasi sebagai Santo Damien dari Molokai oleh Paus Benedict XVI atas jasanya melayani kebutuhan spiritual, medis, dan emosional.

Koloni Kalaupapa sempat mencapai puncaknya dengan populasi 1.500 penderita lepra. Sebelum berakhirnya isolasi wajib pada 1969, badan legislatif negara bagian di Hawaii mempertimbangkan untuk menutup fasilitas itu secara permanen.

Banyak penderita lepra justru memilih untuk tetap tinggal di sana. Hingga kini, jumlah penderita lepra yang pernah atau masih tinggal di sana mencapai 8.500 jiwa.

Baca juga artikel terkait LEPRA atau tulisan lainnya dari Tyson Tirta

tirto.id - Kesehatan
Kontributor: Tyson Tirta
Penulis: Tyson Tirta
Editor: Irfan Teguh Pribadi