Menuju konten utama

Penumpang KRL Marah Disebut "Nenek", Kok Warganet Ketawa?

Kata sapa tak lepas dari identitas gender dan struktur sosial.

Penumpang KRL Marah Disebut
Ilustrasi pola asuh kakek nenek. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Beberapa waktu lalu, terdapat sebuah video viral di Instagram. Di situ terlihat seorang penumpang marah kepada penumpang lain karena dipanggil dengan sapaan “nenek”. Penumpang tersebut protes dan mengatakan bahwa penumpang di sebelahnya memanggil dengan bahasa yang tak sopan. Akhirnya, pertengkaran antara dua orang tersebut berakhir setelah petugas kereta melerai.

Di dunia maya, banyak warganet yang mentertawakan penumpang yang marah itu. Mereka menganggap penumpang tersebut “tak sadar umur”.

Namun salahkah sikap penumpang tersebut?

Dosen Filsafat Universitas Indonesia, Saras Dewi membedah kata sapa yang tak lepas dari identitas gender dan struktur sosial. Menurut dia, kedua hal itu adalah cerminan dari pandangan dominan dalam masyarakat.

"Kita bisa memiliki dua sudut pandang bahwa pada satu sisi, masyarakat kita sangat bersandar pada struktur yang bertumpu pada pola relasi yang ajek mengidentifikasi, antara mana yang lebih muda dengan yang tua," jelas Saras kepada reporter Tirto pada Selasa (10/9/2019).

Dalam masalah ini, keteraturan itu ditafsirkan sebagai cara untuk melanggengkan jarak agar rasa hormat dan formalitas pada yang lebih tua tetap ada. Di sisi lain, Saras menjelaskan panggilan tersebut adalah bentuk upaya seseorang untuk melekatkan sebuah relasi dengan manusia lainnya.

“Mas, mbak, bapak, dan ibu, berarti seseorang selalu menempati posisi-posisi sosial tertentu. Ia tidak pernah berdiri sendiri,” tutur Saras.

“Panggilan-panggilan ini dapat dimengerti bahwa skema sosial di Indonesia memang menekankan pada hubungan sosial, dibandingkan seseorang yang mandiri sebagai individu,” kata Saras menambahkan.

Selaras dengan Saras, Dosen Antropologi Universitas Padjajaran, Erna Herawati menuturkan bahwa panggilan “nenek” yang digunakan oleh penumpang tersebut mencerminkan budaya masyarakat yang terikat dengan bentuk hierarki.

“Pak, bu, adalah kata sapaan yang digunakan masyarakat untuk menyebut seseorang yang dianggap oleh si penyapa, berusia lebih tua, sepantar orang tua, atau orang yang dihormati, atau kelas sosial lebih tingi, seperti bos atau atasan,” kata Erna kepada reporter Tirto, Selasa (10/9/2019).

Sapaan lain yang lazim dipakai oleh masyarakat kita, kata Erna, adalah “mas” dan “mbak” untuk memanggil orang yang usianya lebih tua atau orang yang baru dikenal.

Sapaan dan Konstruksi Gender

Selain menunjukkan pola hubungan hierarkis, sejumlah sapaan yang dipakai oleh masyarakat saat ini tak lepas dari konstruksi sosial dan gender. Hanya saja, masih banyak orang yang menganut heteronormatif, artinya mereka hanya membatasi gender dalam dua jenis, yakni laki-laki dan perempuan.

Riska Carolina (29) mengisahkan dirinya yang mengidentifikasi gender pribadi di luar dari dua identitas yang umum.

“Setahuku gender always constructed between men and women, dan aku pada dasarnya tidak mengidentifikasi diri keduanya. Jika menjadi laki-laki dan perempuan itu berkisar pada fungsi sosialnya,” tutur Riska kepada reporter Tirto, Rabu (11/9/2019).

Secara ekspresi, Riska menuturkan bahwa ia lebih suka menjadi tomboy. Meski begitu, ia tak masalah jika memanjangkan rambut, atau berpakaian feminin. “Well, asalkan enggak sering-sering [jadi feminin],” ungkapnya.

Kepada reporter Tirto, Riska pun mengakui bahwa ia sempat merasa risih atas bentuk kata sapa yang terbatas pada dua gender, laki-laki dan perempuan. Namun kini Riska lebih santai, sebab menurutnya tak semua orang mengenal dia.

“Kalau risih, iya pernah risih. Kesel dan marah tiap dipanggil mas, atau di jalan dipanggil mas bro, atau mbak bro. Cuma kalau sekarang, aku enggak masalah, mau dipanggil mas, bang, mbak, kak, dek, enggak apa-apa, asalkan intensinya enggak negatif,” tuturnya.

Selain Riska, ada pula Rami (bukan nama sebenarnya) yang kerap merasa risih dengan panggilan yang membatasi identitas gender: laki-laki dan perempuan. Sebab ia tak merasa ada di keduanya.

“Secara personal dan mental, kepada diri sendiri sih sudah tidak membatasi diri untuk masuk di sebuah kotak [identitas gender] tertentu,” tutur Rami saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (11/9/2019).

Menurut Saras Dewi, pelekatan gender dalam kata sapa itu adalah cerminan masyarakat Indonesia yang lazimnya baru menerima dua kelompok identitas gender: laki-laki dan perempuan.

“Nah, maka itu bahasa sebagai penanda dari pola pikir masyarakat masih sangat dualistis. Itu pun masih dominan budaya yang patriarkis,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait KRL atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Widia Primastika