Menuju konten utama

Penulis yang Disalami Jokowi Sambil Berjongkok Itu Putu Wijaya

Putu Wijaya mendapat penghargaan atas upayanya menjaga kebudayaan Indonesia.

Penulis yang Disalami Jokowi Sambil Berjongkok Itu Putu Wijaya
Jokowi & Putu Wijaya. FOTO/Feri Latief

tirto.id - Dalam acara seabad Kongres Kebudayaan Nasional yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (9/12/2018), Presiden Jokowi hadir dan memberikan penghargaan kepada empat orang budayawan, yakni I Gusti Putu Ngurah Wijaya atau Putu Wijaya, D. Zawawi Imron, Ismiyono, dan Hubertus Sadirin.

Saat penghargaan diberikan kepada Putu Wijaya, Jokowi berjongkok ketika menyalami sastrawan asal Bali tersebut yang duduk di atas kursi roda pasca-stroke menyerangnya di pengujung 2012.

Foto saat ia bersalaman dengan Putu Wijaya sambil jongkok itu kemudian diunggah di akun Twitter dan Instagram-nya.

“Sejak remaja hingga 74 tahun kini, Putu Wijaya telah menulis 30 novel, 40 naskah drama, 1.000 cerpen, esai, dan lain-lain. Penghargaan Kebudayaan kepada Putu Wijaya dan tiga tokoh lain, atas upaya menjaga kebudayaan Indonesia tetap mengakar dan tumbuh subur mewarnai budaya dunia,” tulis akun Twitter Jokowi.

Seperti biasa, warganet ramai merespons unggahan akun presiden tersebut. Mereka kagum atas sikap Jokowi yang bersedia jongkok, juga mengungkapkan kegembiraan atas perhatian pemerintah kepada budayawan. Karena Jokowi adalah salah satu calon presiden pada Pilres 2019 mendatang, komentar bernada dukungan elektoral pun tak luput dilontarkan.

Pujian yang dituai Jokowi pada jenak itu, tentu melekat dengan Putu Wijaya sebagai penerima penghargaan. Keduanya tak dapat dipisahkan satu sama lain, sebab saat yang dijerat lewat foto dan video itu adalah tentang dua orang yang mesra dalam bahasa tubuh.

Dari Teater ke Teater

Putu Wijaya yang penampilan khasnya selalu memakai pet dilahirkan di Puri Anom, Tabanan, Bali, pada 11 April 1944. Jika menilik usia, barangkali nama Putu Wijaya mulai pudar digerus waktu, atau bahkan bagi generasi paling kiwari namanya samar-samar melintas dalam lereng ingatan.

Putu Wijaya pertama kali mengumumkan tulisannya saat ia masih SMP. Tulisannya yang berupa cerita pendek berjudul Etsa dimuat di harian Suluh Indonesia, Bali. Waktu SMA, ia sempat main drama dengan naskah Badak karangan Anton Chekov yang disutradarai oleh Kirjomulyo.

Setelah menyelesaikan SMA di Singaraja, Putu Wijaya melanjutkan ke Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada. Selain belajar di UGM, ia juga belajar selama tiga tahun di Akademi Seni Drama dan Film, juga satu tahun sempat belajar di Akademi Seni Rupa Indonesia.

Minatnya pada drama terus berlanjut. Saat kuliah di Yogyakarta ia menulis, memainkan, dan menyutradarai drama bersama kelompok yang didirikannya. Selain itu, ia juga bergabung selama dua tahun dengan Bengkel Teater pimpinan Rendra. Setelah pindah ke Jakarta, ia bergabung dengan Teater Kecil yang didirikan oleh Arifin C. Noer, dan sempat sekali pentas bersama Teater Populer yang diampu oleh Teguh Karya. Lalu pada tahun 1971, ia mendirikan Teater Mandiri.

Dalam berkarya, Teater Mandiri terkenal dengan dua acuan atau pijakan, yakni “Bertolak Dari Yang Ada” yang bermakna “tak ada yang dapat menghentikan proses [kreatif], semua kelemahan diberdayakan menjadi kekuatan”, dan “Teror Mental” yang diartikan sebagai “kegoncangan pada jiwa yang membangkitkan seseorang (pemain atau penonton) berpikir kembali sehingga waspada, dan bangkit kesadaran baru”.

Dalam Jalan Pikiran Teater Mandiri: Bertolak Dari Yang Ada, seperti dikutip Jose Rizal Manua, Putu Wijaya menerangkan bahwa banyak orang teater mengeluhkan sarana, kesempatan, serta pelbagai kesulitan lain yang dijumpai ketika hendak menghidupkan teater.

Keluhan-keluhan itu, imbuhnya, disebabkan karena mimpi yang hendak dijelmakan dengan teater sedemikian hebatnya. Atau karena ‘mengeluh’ tiba-tiba menjadi tujuan. Menurutnya, tak sedikit orang yang hanya ingin ‘kelihatan’ berteater, padahal sebenarnya tidak, dan ia menamakan gejala itu sebagai gejala busuk di dalam teater.

Namun, ia menambahkan, kebusukan-kebusukan dalam teater adalah bagian dari kehidupan teater yang sehat. Kehadiran orang-orang yang ia sebut sebagai para pengacau, tukang mimpi, dan para pemalas keadaan yang serba kurang itu diperlukan untuk membedakan dan menampakkan kelompok lain yang benar-benar ingin bekerja meskipun dijerat oleh pelbagai kesulitan.

“Kreativitas adalah sikap jiwa yang tidak dimulai dengan segala tuntutan, tetapi merupakan gabungan dari keterampilan, akal, muslihat, imajinasi, sesuatu usaha yang sedemikian besar tenaganya, yang begitu kaya, sehingga tidak mungkin dibendung oleh apapun, apalagi hanya oleh kekurangan sarana,” tulis Jose Rizal Manua dalam Teater Mandiri Putu Wijaya, Siasat, dan Teror Mental, mengutip perkataan Putu Wijaya.

Menulis Lautan Kekacauan

“Cerita hanya membuat kacau. Sebuah Lautan Cerita adalah sebuah Lautan Kekacauan,” kata Khatam-Sud dalam Haroun and the Sea of Stories karangan Salman Rushdie, seperti dikutip Goenawan Mohamad dalam kumpulan esai bertajuk Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (2005).

Beruntung, imbuh Goenawan Mohamad, Putu Wijaya belum pernah bertemu dengan Khatam-Sud. Dalam tulisan yang sebetulnya sebagai pengantar pada kumpulan cerpen Putu Wijaya berjudul Blok (1994) itu Goenawan Mohamad menyatakan bahwa sastrawan asal Tabanan ini tak henti-henti dan tak putus-putusnya menangguk dongeng dari Lautan Kekacauan.

Menurutnya, cara Putu Wijaya bertutur mengeringkan semua anasir dramatik dalam gerakan verbalnya, juga memakai ritme yang lurus dan jarak antar kalimat yang ringkas.

“Kita pun seakan-akan berhadapan dengan wajah seorang pencerita yang seperti blo’on, tanpa pretensi dan tak bersalah, kita serasa tidak mengalami pertentangan-pertentangan […] Semua itu memang bisa saja dilihat sebagai sebuah kepandaian bercerita, tetapi tidak hanya itu. Putu Wijaya memang bisa memikat kita karena kita terpaksa ingin menguntitnya terus, tak tahu ke mana tiba-tiba ia akan berkelok,” tulisnya.

Infografik I Gusti Ngurah Putu Wijaya

Masih dalam buku yang sama. H.B. Jassin berkomentar bahwa kata-kata Putu Wijaya berhasil meneror pengertian-pengertian yang sudah mapan. Pengertian-pengertian itu, imbuhnya, bukan barang mati dan mempunyai pelbagai pengalaman yang bersifat masa silam, masa kini, dan masa depan.

Jassin mengambil contoh cerpen Babu yang menceritakan para pembantu rumah tangga. Dalam tuturannya pada cerpen ini, tambah Jassin, Putu Wijaya mendesakkan pengertian baru tentang jongos atau babu yang sudah lama hadir dalam keseharian.

“Karjo dan Prisilia sudah bukan pembantu lagi. Zaman pembantu sudah digeser oleh fungsi asisten rumah tangga. Kelak kita tidak memelihara pembantu atau asisten lagi di dalam rumah, tapi seorang karyawan, seorang partner. Bahkan teman hidup. Suami kita atau istri kita,” tulis Putu Wijaya dalam cerpen tersebut.

Putu Wijaya sendiri berpendapat bahwa cerita pendek bukanlah cerita yang dipendekkan. Bukan pula pendek cerita dari sebuah kisah panjang. Menurutnya, cerita pendek adalah jalan tersendiri untuk mendekati sebuah pokok masalah yang tak perlu lebih kecil, lebih sempit, lebih ringkas, atau lebih sederhana dari apa yang hendak dicapai oleh sekumpulan sajak, sebuah novelet atau sebuah roman.

“[Dalam cerita pendek] ada peristiwa, suasana, konflik, masalah, kelompok manusia yang saling berbenturan, maupun manusia sendiri yang memerlukan sebuah lubang bedah tertentu,” imbuhnya.

Berangkat dari sinilah, barangkali, mantan wartawan majalah Ekspres, Tempo, dan Zaman ini terus menerus menulis sejumlah cerita pendek yang baginya adalah ibarat mimpi baik dan buruk, tafsir ramalan, serta teror mental kepada manusia.

Jika Khattam-Sud berkata bahwa cerita adalah Lautan Kekacauan, maka sekali lagi, seperti ditulis Goenawan Mohamad dalam pengantar kumpulan cerpen Blok (1984), “Kita beruntung bahwa Putu Wijaya belum bertemu dengan Khattam-Sud.”

Baca juga artikel terkait TEATER atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Humaniora
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Maulida Sri Handayani