Menuju konten utama

Pentingnya Diversifikasi Pangan untuk Cegah Ketergantungan Beras

Program diversifikasi pangan yang dicanangkan pemerintah diharapkan tak hanya jadi jargon saja, agar tidak ketergantungan pada beras semata.

Pentingnya Diversifikasi Pangan untuk Cegah Ketergantungan Beras
Pekerja memindahkan beras medium untuk kebutuhan operasi pasar awal tahun 2019 di gudang Perum Bulog Divre Aceh, Desa Siron, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Kamis (3/1/2019). ANTARA FOTO/Ampelsa.

tirto.id - Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Bambang Brodjonegoro membenarkan bila pemenuhan pangan Indonesia masih bertumpu pada beras. Akibatnya, upaya kebutuhan memenuhi pangan dan menekan angka kekurangan gizi atau stunting menjadi persoalan tersendiri.

Pada 2018, misalnya, riset Kementerian Kesehatan menunjukkan angka stunting Indonesia masih mencapai 30 persen dari bayi berumur 5 tahun. Sementara WHO mengharuskan agar paling tidak angka itu berada di bawah 20 persen. Penyebabnya tidak jauh dari kebutuhan gizi yang belum tercukupi.

“Ya kami dulu menekankan pada swasembada pangan kayak beras. Ya kayak kebablasan semua kebutuhan pangan dikonversi jadi beras,” kata Bambang kepada wartawan usai memberi sambutan di Workshop Nasional Fortifikasi Pangan, di Hotel Ayana Midplaza, Selasa, 19 Februari 2019.

Bambang mengatakan untuk menekan angka itu serendah-rendahnya, maka pemerintah akan menggenjot diversifikasi pangan. Sehingga ketergantungan masyarakat pada beras dapat dikurangi karbohidrat lain.

Ia memastikan hal itu akan dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku konsumsi masyarakat setempat. “Jadi kami akan melihat bagaimana perilaku dan kebiasaan makan masyarakat yang sesuai dengan daerahnya,” kata Bambang.

Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Khudori pun membenarkan bahwa konsumsi beras Indonesia tergolong tinggi, bahkan partisipasinya hampir 100 persen dari kebutuhan pangan.

Akibatnya, kata dia, tidak heran bila kasus-kasus gizi buruk terus berulang setiap tahunnya, terutama di daerah Indonesia Timur.

Khudori mencontohkan kasus gizi buruk di Asmat, Papua yang sempat ramai beberapa waktu lalu. Menurut dia, kasus gizi buruk yang sampai menimbulkan korban jiwa itu disebabkan karena warga tak lagi menanam umbi-umbian yang menjadi basis pangan mereka sejak dulu.

Sebaliknya, kata Khudori, warga malah menunggu penyaluran beras yang distribusinya tidak mudah dilakukan.

“Ini konsekuensi ketika partisipasi konsumsi beras tinggi. Warga tidak lagi menanam pangan lokalnya, tapi malah menunggu distribusi beras. Ini terjadi juga di mana-mana dan pasti berulang,” kata Khudori ketika dihubungi reporter Tirto, Rabu (20/2/2019).

Khudori mengatakan beras memang tak dapat selalu diandalkan dalam memenuhi kebutuhan pangan. Sebab, provinsi yang menjadi produsen beras hanya belasan dan tidak semua produksinya selalu surplus.

Menurut Khudori, dengan kondisi geografis Indonesia yang cukup luas, bisa dipastikan distribusi beras mengalami kesulitan. Belum lagi, kata dia, bila daerah penghasil beras mengalami gagal panen.

“Saya bilang ada ‘kesalahan’ pemerintah yang [terus] menjadikan beras sebagai pangan pokok. Kalau masing-masing daerah yang bukan prodsen beras, bisa produksi pangan lokal sendiri, 1/3-nya saja. Tekanan kebutuhan beras pasti berkurang,” kata Khudori.

Sementara peneliti cum dosen Insitut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santoso menilai persoalan konsumsi yang bergantung pada satu jenis pangan sebenarnya telah berubah dalam 15 tahu terakhir ini.

Saat ini, kata Dwi, sekitar 25 persen dari konsumsi beras Indonesia mulai tergantikan oleh gandum. Bahkan pertumbuhan konsumsinya mencapai 5-6 persen dalam 20 tahun terakhir melampaui pertumbuhan penduduk yang hanya sektar 1,4 persen per tahunnya.

Padahal, kata Dwi, kebutuhan 100 persen gandum Indonesia bergantung pada impor. Hal ini, kata dia, membuat pemenuhan kebutuhan pangan nasional mudah bergejolak saat harga internasional sedang tinggi.

“Amat disayangkan penurunan konsumsi beras ini malah ke gandum. 25 persen sudah kritis, kalau 50 persen bencana kita,” kata Dwi saat dihubungi reporter Tirto.

Persoalan lain yang tak kalah pelik, kata Dwi, saat APBN 2019 tidak menganggarkan dana untuk program diversifikasi pangan, terlepas dari janji pemerintah seperti yang diungkapkan Kepala Bapennas, Bambang Brodjonegoro.

Sebab, kata Dwi, di saat yang sama pemerintah juga tidak bisa berbuat banyak untuk memengaruhi konsumsi masyarakat yang semakin ditentukan oleh pasar. Sehingga angan-angan untuk kembali kepada jagung, sagu, hingga sorgum semakin sulit dicapai.

“Diversifikasi pangan itu hanya sebatas jargon. Selain pemerintah enggak serius, konsumsi masyarakat ditentukan oleh pasar. Gandum sekarang lebih murah dari beras,” kata Dwi.

Ketua Institut Hijau Indonesia, Chalid Muhammad pun mendesak pemerintah untuk melakukan diversifikasi pangan.

Menurut dia, jika tidak dilakukan segera, maka akan membuat pemerintah terus bergantung pada impor. Sebab, proses diversifikasi sendiri membutuhkan waktu yang tidak sedikit lantaran beras tidak dapat tiba-tiba ditarik dari masyarakat.

Chalid mengatakan, kalau pun pemerintah masih akan mencetak sawah untuk menambah produksi, ia menilai hal itu tidak sepatutnya mengganggu wilayah yang konsumsi pangannya non-beras.

Selain itu, kata Chalid, pelaksanaan program cetak sawah tidak sepatutnya mengorbankan lingkungan seperti lahan gambut.

“Proses revitalisasi konsumsi pangan non-beras perlu dilakukan walau secara perlahan. Ketergantungan beras sangat tinggi. Kalau diubah secara fundamental jadi masalah sosial,” kata Chalid.

Baca juga artikel terkait PASOKAN PANGAN atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz