Menuju konten utama

Pentingkah Sertifikat Layak Nikah Bagi Warga DKI Jakarta?

Aturan soal sertifikat layak nikah bagi warga DKI Jakarta dinilai masih memiliki sejumlah kekurangan.

Pentingkah Sertifikat Layak Nikah Bagi Warga DKI Jakarta?
Ilustrasi buku nikah. tirto.id/Hafitz Maulana

tirto.id - Warga DKI Jakarta wajib memiliki sertifikat layak nikah sebagai syarat melangsungkan pernikahan. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Provinsi DKI Jakarta Nomor 185 Tahun 2017 tentang Konseling dan Pemeriksaan Kesehatan Bagi Calon Pengantin.

Wakil Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Khafifah Any menuturkan, kebijakan ini sebagai upaya preventif mencegah masalah kesehatan yang kemungkinan muncul. Aturan yang diteken Anies Baswedan pada 2017 ini, kata Any, akan diuji coba tahun ini.

Namun, kata Any, sertifikat layak nikah ini bukan berarti Pemrov DKI melarang pasangan yang memiliki penyakit tidak boleh melangsungkan pernikahan. Sebab, kata dia, kebijakan itu sifatnya hanya screening dan rekomendasi bila memang ada penyakit-penyakit tertentu, seperti HIV.

Menurut Any, jika ditemukan adanya penyakit, maka pasangan yang mau melangsungkan pernikahan itu disarankan untuk berobat terlebih dahulu.

“Kalau urusan tetap lanjut nikah atau tidak, ya terserah mereka, Itu hak asasi mereka,” kata Any kepada reporter Tirto, Minggu (13/1/2019).

Sementara Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Chandrawati menjelaskan terdapat sejumlah penyakit yang perlu dideteksi untuk mendapatkan sertifikat layak nikah.

Pengambilan tesnya pun, kata Chandrawati, sudah dalam bentuk paket. Beberapa yang diperiksa antara lain adalah diabetes, HIV/AIDS, Tuberkulosis (TB), dan Talasemia.

“Pergub [185/2017] kami tidak bisa melarang pasangan [menikah], jadi kami hanya memberi catatan khusus. Yang diwajibkan itu berobatnya,” kata Chandrawati kepada reporter Tirto.

Terkait ini, Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Pratiwi Febry menyatakan aturan tersebut sebenarnya bertujuan baik. Hanya saja, kata Tiwi, terdapat catatan yang perlu diperhatikan agar pelaksanaannya tidak kontraproduktif.

“Harusnya ini positif, makanya saya mengapresiasi Pergub ini, walaupun ada beberapa latar belakang yang tertera dalam Pergub, tapi tidak terjawab,” kata Tiwi.

Berdasarkan hasil analisanya, Tiwi melihat latar belakang yang dijelaskan dalam Pergub 185/2017 itu adalah permasalahan kesehatan fisik, yang meliputi reproduksi dan kesehatan mental, serta persoalan sosial, seperti kekurangan gizi, atau pernikahan anak.

Namun, kata Tiwi, dalam penuangan teknisnya, justru kebijakan itu cenderung berbicara sebatas persoalan yang berkaitan dengan kesehatan fisik.

Berdasarkan Pergub itu, kata Tiwi, terdapat tiga poin yang akan ditanyakan saat wawancara, antara lain: soal keterangan riwayat penyakit pribadi dan keluarga, proses informed concent, serta deteksi dini kesehatan jiwa.

Menurut Tiwi, deteksi dini kesehatan jiwa memang menjadi satu-kesatuan yang tidak terpisahkan dari pemeriksaan kesehatan fisik. Seharusnya, ketiga hal itu menjadi satu-kesatuan.

Selain itu, Tiwi juga melihat ketidakkonsistenan terkait apakah pemeriksaan ini merupakan hal yang wajib atau tidak. Dalam Pergub tersebut, kata Tiwi, dikatakan bahwa pemeriksaan ini "dapat" atau "bisa" dilakukan, sehingga bukan termasuk hal wajib.

Namun di sisi lain, kata Tiwi, Pergub tersebut juga menyampaikan bahwa hasil pemeriksaan tersebut merupakan syarat administrasi untuk pernikahan.

“Saya khawatir melihat Pergub ini karena untuk dapat daftar administrasi, calon pengantin harus menyerahkan surat kesehatan ini,” kata Tiwi.

Minim Sosialisasi dan Harus Bayar?

Erly, salah seorang calon pengantin mengatakan kurang mendapatkan sosialisasi terkait kebijakan ini. Akibatnya, ia harus membayar sebesar Rp750.000 untuk tes sifilis dan HIV di klinik dekat rumahnya, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Padahal, bila dilakukan di Puskesmas, seharusnya gratis.

Hal itu terjadi, kata Erly, karena saat konsultasi pertama kali di Puskesmas, di Kebon Jeruk, ia tidak mendapatkan sosialisasi terkait pemeriksaan gratis.

Menurut Erly, dirinya baru mendapatkan informasi tersebut pada pertemuan kedua kalinya dengan petugas yang berbeda di Puskesmas itu.

Sementara itu, Ikhwan Hardiman, salah seorang calon pengantin lainnya menyampaikan, kebijakan sertifikat layak nikah ini sebenarnya positif. Namun, ia belum mengetahui lebih jauh terkait biaya dan apa saja tes kesehatannya.

“Selama itu enggak memperberat atau mempersulit calon pengantin, enggak masalah. Cuma saya belum tahu nih tes kesehatannya apa saja,” kata Ikhwan kepada reporter Tirto.

Terkait ini, Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat di Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Chandrawati mengatakan lembaganya sudah melakukan sosialisasi sepanjang tahun 2018. Ia menyatakan, tes kesehatan ini tidak dipungut biaya bila dilakukan di Puskesmas.

“Kalau di Puskesmas gratis, termasuk laboratorium. Tes HIV juga gratis,” kata dia.

Sementara itu, Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia Roy Valiant Salomo mengatakan, Pemprov DKI perlu memastikan bahwa ada alokasi anggaran, agar tidak menambah pengeluaran masyarakat untuk menikah.

“Kalau itu disarankan, harus diberikan biaya, dianggarkan. Jangan dibebankan ke masyarakat, karena saya khawatir, untuk pemeriksaan, kan, tidak murah,” kata Roy.

Baca juga artikel terkait PERNIKAHAN atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Abdul Aziz