Menuju konten utama

Penjualan SUV Terus Meningkat, Kabar Buruk untuk Lingkungan?

Segmen SUV memang terus mengalami pertumbuhan hampir di setiap pasar di dunia.

Penjualan SUV Terus Meningkat, Kabar Buruk untuk Lingkungan?
Mobil SUV Premium Lexus LX570. FOTO/Motogalerry

tirto.id - Ketika dunia mengalami penurunan ekonomi, disusul perlambatan pertumbuhan Cina, industri mobil mencari cara baru untuk memperluas bisnisnya. Salah satu yang dibidik adalah segmen SUV. Pergeseran ke segmen SUV mulai terasa sejak beberapa tahun yang lalu.

Konsumen di beberapa negara dunia mulai menukar sedan kecil mereka dengan mobil yang lebih besar. Bahkan untuk pertama kalinya, SUV dan juga saudara mereka yang lebih kompak yaitu crossover telah terjual hampir tiga kali lipat dibanding satu dekade lalu.

Hingga kini tren SUV masih kuat. Seluruh pabrikan berlomba mengeluarkan model baru, serta menyegarkan tipe yang sudah ada sebelumnya. Konsumen di seluruh dunia seperti mengirim pesan bahwa SUV adalah mobil yang ingin mereka kendarai.

Produsen mobil pun merespons dengan membawa beragam model SUV dan crossover ke pasar. Mereka ingin memanfaatkan meningkatnya permintaan, dengan kendaraan yang saat ini paling menguntungkan untuk dijual.

Data yang dikeluarkan Jato Dynamics, analis tren pasar otomotif terkemuka asal Inggris, menunjukkan sebanyak 29,77 juta unit SUV terjual di seluruh dunia pada tahun 2018. Angka ini bahkan tumbuh 6,8 persen atau hampir 1,9 juta unit dari tahun sebelumnya.

Pangsa pasar terutama tumbuh pesat di tiga pasar kendaraan terbesar, Cina, Amerika Serikat, serta Eropa. Segmen SUV turut mencatat pangsa pasar tertinggi sepanjang masa dengan 36,4 persen, naik 2,5 persen dibanding tahun 2017. Dan SUV kompak terus menjadi yang paling populer, dengan porsi 41 persen dari total penjualan SUV.

Di Indonesia sendiri, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mengumumkan penjualan mobil mencapai angka 1.151.291 unit pada 2018. Mayoritas dari seluruh penjualan masih didominasi segmen Low Multi Purpose Vehicle (LMPV).

Walau begitu segmen SUV diprediksi bakal terus mengalami peningkatan, tahun lalu saja penjualannya di semua lini mencapai 196.455 unit atau sekitar 17 persen dari seluruh penjualan. Menurut Senior Vice President of Mobility Frost & Sullivan, Viviek Vaidya, penjualan mobil nasional pada 2019 akan meningkat hingga 1.192.700 unit atau tumbuh 4,2 persen.

Ia mengatakan, angka itu bisa dicapai karena segmen SUV terus berkembang pada 2019 dengan permintaan yang meningkat 18,9 persen. “Segmen SUV akan menjadi perhatian positif pada 2019,” ungkapnya kepada CNN Indonesia.

Upaya Hadapi Tren Ramah Lingkungan

Di sisi lain, meningkatnya penjualan SUV di pasar global memunculkan kekhawatiran soal meningkatnya sumbangan pada emisi gas rumah kaca. Melansir dari New York Times, transportasi disebut menyumbang sekitar 14 persen dari emisi gas rumah kaca di seluruh dunia. Mobil dan truk merupakan penyumbang terbesar dari angka tersebut.

Peter Mock, Managing Director of The International Council on Clean Transportation Europe, mengatakan bahwa tren meningkatnya penjualan SUV bukan berita baik bagi lingkungan. “SUV memiliki aerodinamika yang lebih buruk dari model lainnya, karena mereka memiliki bentuk yang lebih besar, secara logis Anda harus menggunakan lebih banyak energi untuk menggerakkan kendaraan pada jarak yang sama,” ujarnya kepada Quartz.

Walau demikian, Mock mengatakan jika SUV masih dapat bertoleransi dengan lingkungan. Selama ia punya teknologi untuk memenuhi target CO2 yang dipatok regulasi. Artinya produsen harus membayar kompensasi dengan menjual SUV sedikit lebih mahal. “Tentu pabrikan mendapat untung besar dari SUV, dan itulah sebabnya mereka ingin menjualnya,” imbuhnya.

Salah satu cara yang dipilih produsen dalam memberikan efisiensi yang lebih baik pada produk SUV-nya adalah dengan memberikan mesin berkapasitas lebih kecil. Misalnya Honda, yang sejak 2017 lalu menawarkan CR-V bermesin kecil dengan varian turbo.

Model ini menggunakan mesin 1.500 cc turbo bertenaga 190 dk dan torsi 248 Nm. Figur tenaganya jelas lebih besar daripada varian mesin 2.000 cc naturally aspirated yang menghasilkan tenaga 154 dk dan torsi 194 Nm yang juga dijual bersamaan.

Jadi dengan kapasitas mesin lebih kecil, SUV turbo ini menawarkan performa yang jauh lebih bertenaga dan konsumsi bahan bakar yang relatif lebih efisien. Terlebih model ini telah memenuhi standar emisi EURO 4. Tak heran makin banyak konsumen yang mulai tertarik menggunakan SUV modern seperti ini.

Langkah Honda yang menciptakan mesin kecil dengan turbo belakangan juga ditiru oleh pabrikan asal Cina, seperti DFSK Glory 580 dan Wuling Almaz. Malah kedua pabrikan ini menawarkan model dengan banderol di bawah harga pasaran, yang turut meningkatkan permintaannya.

Sementara Toyota belum mau ikut-ikutan terjun ke pasar SUV turbo. Pabrikan berlogo T ini malah terlihat makin serius bermain di kendaraan hibrida, dengan meluncurkan SUV baru Toyota C-HR Hybrid beberapa waktu lalu. Untuk diketahui, sebelumnya Toyota sudah punya beberapa model hibrida. Mulai dari Prius, Camry, Alphard, dan terakhir C-HR.

Dengan model hibrida yang sudah mengarah pada kendaraan elektrifikasi, SUV Toyota ini semakin baik lagi dalam hal efisiensi. C-HR Hybrid diklaim lebih hemat BBM hingga 62 persen, serta memiliki emisi CO2 lebih rendah 60 persen dibanding model bermesin konvensional.

Toyota sendiri yakin jika pilihannya menghadirkan SUV bermesin hibrida bakal diterima pasar. Fransiscus Soerjopranoto, Executive General Manager PT Toyota Astra Motor, mengatakan bahwa dalam menjual produk, pihaknya harus menentukan model yang sesuai dengan pilihan konsumen atau sesuai dengan government regulation.

“Kami jual hybrid, selesai masalah. Enggak ada charging station, orang bisa pakai bensin. Ada charging station, orang tinggal ngecas. Jadi hybrid sebenarnya adalah jawaban atas kondisi yang terjadi di Indonesia sekarang. Kecuali kondisinya benar-benar mature, sudah tersedia infrastruktur, bisa langsung listrik,” terangnya saat ditemui Tirto.

Infografik Penjualan SUV di Indonesia

Infografik Penjualan SUV di Indonesia. tirto.id/Fuad

Sejak kapan SUV populer?

Meningkatnya penjualan SUV dalam beberapa tahun terakhir bisa jadi berakar dari Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Untuk diketahui AS adalah negara yang mempelopori kendaraan tangguh dan bisa digunakan di berbagai medan, seperti halnya mobil-mobil lansiran Jeep, yang lahir saat Perang Dunia Kedua.

SUV, pickup, dan kendaraan off-road lainnya punya sejarah panjang sebagai kendaraan masyarakat di sana. Selama bertahun-tahun, harga bensin yang murah mendukung mobil-mobil dengan bobot berat dan kapasitas mesin besar.

Melihat laporan New York Times, pada periode itu produsen mobil di sana mulai menghadapi aturan keselamatan dan lingkungan yang lebih ketat. Pemerintah Federal lewat Environmental Protection Agency mengharuskan produsen mobil untuk meningkatkan efisiensi bahan bakar hingga dua kali lipat.

Namun kendaraan jenis van, pickup, dan kendaraan off-road lainnya bisa lolos dengan pembatasan lebih sedikit daripada mobil penumpang tradisional seperti sedan atau station wagon. Jeep Cherokee jadi salah satu model yang cukup mendapat perhatian di zamannya.

Dengan mesin bertenaga dan kabin lapang yang serbaguna, SUV ini langsung jadi primadona. Apalagi ia menggunakan komponen warisan Jeep yang terkenal andal dan awet. Cherokee dan beberapa SUV setelahnya mulai mengganti mobil-mobil yang lebih kecil di seluruh Amerika Serikat.

Di Indonesia, SUV begitu terkenal dengan posisi berkendara yang tinggi. Hal ini tentu jadi kelebihan tatkala melewati jalanan rusak di pinggiran kota atau bahkan banjir sekalipun. Jika disuruh memilih antara sedan, city car, dan SUV, untuk dipakai pada kondisi tersebut, SUV otomatis jadi pilihan konsumen.

Sementara untuk mesinnya relatif masih mirip dengan sejumlah kendaraan yang banyak beredar di Indonesia. Artinya kondisi di sini tak seperti Amerika Serikat, di mana SUV berkapasitas mesin besar mendominasi seluruh penjualan.

Data wholesales Gaikindo memperlihatkan SUV dengan kapasitas mesin lebih dari 2.501 cc (diesel) dan 3.001 cc (bensin) mengambil porsi yang sedikit dari seluruh penjualan di segmen ini, hanya sekitar 2.000-an unit setahun. Jauh dari total penjualan semua lini di segmen SUV yang mencapai 196.455 unit.

Sedangkan SUV yang mendominasi penjualan merupakan SUV berkapasitas mesin kurang dari 1.500 cc, yang tentu saja membuat isu bahan bakar boros kurang relevan untuk segmen ini. Singkatnya, SUV dengan segala kelebihannya jadi pilihan masuk akal bagi konsumen lokal maupun mancanegara.

Baca juga artikel terkait PERUBAHAN IKLIM atau tulisan lainnya dari Dio Dananjaya

tirto.id - Otomotif
Penulis: Dio Dananjaya
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti