Menuju konten utama

Penjualan BBM Subsidi 2016 Tutupi Kerugian 2015

PT. Pertamina mengungkap penjualan bahan bakar minyak bersubsidi jenis Premium dan Solar sepanjang 2016 ini bisa menutupi kerugian perusahaan dari penjualan BBM jenis yang sama tahun 2015. Selama periode 1 Januari 2015-31 Desember 2015, Pertamina mengalami kerugian sebesar Rp6,3 trilliun dari penjualan Premium.

Penjualan BBM Subsidi 2016 Tutupi Kerugian 2015
Pengendara melakukan pengisian ulang bahan bakar minyak premium di stasiun BBM di Jakarta. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

tirto.id - PT. Pertamina mengungkap penjualan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis Premium dan Solar sepanjang 2016 ini bisa menutupi kerugian perusahaan dari penjualan BBM jenis yang sama tahun 2015. Selama periode 1 Januari 2015-31 Desember 2015, Pertamina mengalami kerugian sebesar Rp6,3 trilliun dari penjualan Premium.

"Penjualan kita pada 2016 ini, dibandingkan dengan 'loss' (kehilangan) tahun lalu sudah bisa tertutup lah," kata Ahmad Bambang, Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina, di Jakarta, Selasa, (29/3/2016)

Bambang mengatakan hasil penjualan yang diperoleh Pertamina telah disampaikan kepada pemerintah melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Migas Kementerian ESDM, dan akan diperiksa secara rinci oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

"Keuntungan tersebut saya sudah sampaikan ke Ditjen Migas, nanti akan diaudit BPK dan akan diumumkan pemerintah," ujar Bambang.

Antara menghimpun data harga BBM yang dijual di SPBU untuk jenis Premium saat ini yaitu Rp7.050 per liter dan Solar seharga Rp5.650 tiap liternya. Harga tersebut diklaim sudah berada di atas harga keekonomian.

Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, harga BBM jenis Premium sudah di bawah Rp5.000 per liter sejak akhir Desember 2015, sedangkan Solar sudah di bawah Rp4.000 tiap liternya. Bambang mengatakan, harga keekonomian BBM jenis Premium mencapai titik terendah pada tanggal 3 Februari 2016, yakni sebesar Rp4.800 per liter. (ANT)

Baca juga artikel terkait BADAN PEMERIKSA KEUANGAN atau tulisan lainnya

Reporter: Mutaya Saroh