Menuju konten utama

Penjelasan Psikologis di Balik Terdakwa Mendadak Berpakaian Agamis

Secara psikologis, pakaian punya “kekuatan” untuk memengaruhi persepsi orang yang memandangnya.

Penjelasan Psikologis di Balik Terdakwa Mendadak Berpakaian Agamis
Ilustrasi Tahanan. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Pernahkah Anda merasa deg-degan ketika melihat orang berseragam polisi? Atau memandang kesal dan jijik pada mereka yang memakai seragam oranye bertuliskan “Tahanan KPK”. Begitulah cara pakaian bekerja dalam mempengaruhi persepsi orang yang melihatnya.

Pakaian memang memiliki “kekuatan” untuk memengaruhi persepsi orang yang memandangnya. Istilah “jangan menilai buku dari sampulnya” tak berlaku untuk psikologi pakaian. Sebab, bagaimana bisa kita tidak menilai orang dari bajunya, bahkan profesi atau jabatan tertentu sengaja menyematkan pakaian khusus sebagai identitasnya.

Sebagai contoh sederhana, tengoklah aparat penegak hukum yang cenderung melabeli diri mereka dengan seragam bernuansa gelap: cokelat, hijau, atau hitam. Bukan tanpa maksud, warna-warna tersebut dipilih karena punya karakteristik kuat.

Kekuatan dahsyat seragam yang memengaruhi psikologis pernah juga membikin Leonard Bickman, seorang peneliti asal Amerika, penasaran. Bickman kemudian menguji asumsi-asumsi soal kepatuhan dan rasa hormat kepada petugas berseragam yang berkembang di masyarakat.

“Secara psikologis, seragam memang memengaruhi persepsi orang. Masyarakat memandang ‘orang berseragam’ sangat berbeda,” tulis Bickman dalam laporan ilmiah “The Social Power of a Uniform” yang dimuat Journal of Applied Social Psychology (1974).

Dalam risetnya, Bickman membuat tiga permodelan busana untuk diamati, yaitu busana kasual sebagai representasi warga sipil, busana yang biasa dipakai pekerja seperti tukang susu, dan baju seragam abu-abu seperti polisi. Ketiga model lalu diminta memberi perintah kepada sampel acak untuk memungut kertas, berderma kepada orang tak dikenal, dan menjauh dari halte.

Hasilnya, orang-orang yang jadi sampel lebih patuh pada perintah dari model yang berseragam mirip polisi ketimbang warga sipil atau tukang susu. Studi tersebut menguatkan asumsi bahwa pakaian memiliki dampak kuat pada persepsi orang.

Pakaian turut melambangkan otoritas. Orang-orang dengan seragam aparat, para dokter dengan jas putih, atau pra hakim dengan jubah hitamnya dipandang berperilaku dengan cara tertentu dan diasumsikan memiliki status pendidikan, ekonomi, serta status sosial berbeda. Begitu juga dengan pakaian seksi atau tertutup.

Perempuan dengan pakaian seksi memiliki stigma lebih ‘nakal’ dibanding mereka yang berpakaian konservatif (tertutup),” tulis Kim Johnson dkk. dalam studi bertajuk “Dress, body and self: research in the social psychology of dress” (2014, PDF).

Tapi bagaimana jika kekuatan psikologi pakaian ini dibenturkan pada kondisi yang kontradiktif? Misalnya, fenomena terdakwa kejahatan yang mendadak “tobat” dengan menggunakan atribut agama saat proses persidangan. Padahal sebelumnya, mereka tak pernah menggunakan atribut-atribut demikian.

Sebut saja beberapa nama seperti Pinangki, Melinda Dee, Neneng Sriwahyuni, atau Ridho Roma. Mereka tiba-tiba saja menjadi “alim” dengan mengenakan atribut seperti jilbab, cadar, atau peci. Saking seringnya para terdakwa menggunakan atribut keagamaan, kita sampai “maklum” terhadap tren ganjil ini—meski tak juga mengeliminasi rasa kesal terhadap para terdakwa ini.

Namun, bukan cuma masyarakat yang merasa jengkel. Jaksa Agung S.T. Burhanuddin juga ikut gerah dengan fenomena tersebut. Dia sampai berencana menerbitkan larangan mengenakan atribut atau simbol agama di persidangan bagi para terdakwa yang sebelum berperkara memang diketahui tidak biasa mengenakan atribut tersebut.

Burhanuddin khawatir masyarakat mengaitkan simbol keagamaan tertentu sebagai pelaku kejahatan. Apalagi, praktik bersalin busana ini ternyata malah difasilitasi para jaksa. Jadi, lanjut Burhanuddin, seringkali jaksa memberi baju koko atau peci kepada terdakwa sebelum sidang.

Membangun Citra Baru

Dengan bersalin busana saat persidangan, para terdakwa ini mungkin berpikir bisa mengelabui publik atas kejahatan yang mereka buat. Atau setidaknya, menghadirkan citra baru seorang manusia yang berbenah diri setelah mendapat “cobaan” dari Tuhan.

Dengan menggunakan pakaian agamis—biasanya berwarna putih atau cenderung terang, mereka secara tidak langsung hendakmenyampaikan perubahan sikap menjadi lebih baik. Sebab, hampir di semua kebudayaan, warna terang konsisten menggambarkan kebaikan dan kelemahan.

Pada berbagai tes, warna yang lebih terang dianggap memberi kesan lebih positif, menyenangkan, dan kurang dominan. Dalam studi bertajuk “The Effects of Color on the Moods of College Students” (2014, PDF), misalnya, para penelitinya berkesimpulan bahwa warna dapat merepresentasikan suasana hati.

Infografik Pakaian Keagamaan

Infografik Pakaian Keagamaan. tirto.id/Fuad

Sampel penelitian ini adalah para mahasiswa di suatu kampus. Mereka diberikan set pertanyaan tertentu tentang persepsinya terhadap warna-warna latar dari suatu gedung atau ruang tertentu yang telah dikunjungi. Hasilnya, warna-warna terang mendapat persepsi lebih positif dibanding warna gelap.

“Warna yang banyak mendapat persepsi negatif adalah coklat (26 persen), oranye (21 persen), dan abu-abu (13 persen). Sementara itu, tanggapan positif didapat warna biru muda (28 persen), hijau (19 persen), dan kuning (17 persen),” demikian ringkasan kesimpulan studi tersebut.

Lain itu, pakaian tertutup layaknya jilbab atau cadar merepresentasikan persepsi sebagai seseorang yang harus dibebaskan dari “penindasan”. Setidaknya begitulah hasil kesimpulan dari studi Homa Hoodfar (2001). Sampel penelitiannya memandang perempuan dengan pakaian keagamaan itu sebagai sosok tertindas, berpendidikan rendah, dan kurang pintar.

Kemudian, penelitian Courtney Swank (2018, PDF) juga mengatakan bahwa perempuan berjilbab kurang memiliki daya tarik. Terakhir, sebuah studi oleh Jordan W. Moon dkk. yang terbit di jurnal Psychological Science baru-baru ini (2018) menyimpulkan gambaran terhadap orang-orang “religius” yang dianggap lebih dapat dipercaya.

“Perbedaan mereka mengisyaratkan kepercayaan, tidak impulsif, tidak agresif, punya batasan seksual, kooperatif, prososial, dan cinta keluarga,” tulis Moon dkk.

Jika menilik studi-studi tersebut, kegeraman Jaksa Agung Burhanudin nisbi bisa dipahami. Membatasi cara berpakaian seseorang seperti rencana Burhanuddin memang terlihat melanggar privasi. Namun, para terdakwa itu seharusnya juga “tahu diri” untuk tidak berpenampilan “alim” hanya untuk mengubur citra lama sebagai orang yang berperkara.

Baca juga artikel terkait WARNA atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fadrik Aziz Firdausi