Menuju konten utama

Penjelasan Psikolog Soal Fetish dan Kasus Gilang Bungkus Kain Jarik

Penjelasan psikolog soal fetish dan kasus Gilang Bungkus kain jarik yang viral di Twitter.

Penjelasan Psikolog Soal Fetish dan Kasus Gilang Bungkus Kain Jarik
Ilustrasi Kekerasan Seksual. foto/istockphoto

tirto.id - Psikolog klinis dewasa, Nirmala Ika menyarankan orang-orang tidak memberikan label pada seseorang tanpa adanya pemeriksaan klinis dari pakar yang kompeten. Hal itu ia utarakan berkaitan dengan kasus Gilang Bungkus yang belakangan ini diberi label fetish oleh orang-orang di dunia maya.

"Jangan memberikan pelabelan ketika kita tidak benar-benar memahami apa yang terjadi, perlu pemeriksaan oleh orang-orang yang kompeten dengan persoalan tersebut sehingga dapat diberikan treatment yang tepat untuk orang tersebut," ujar Nirmala, seperti dikutip Antara News, Jumat (31/7/2020).

Menurut dia, memberi label pada seseorang tanpa mengetahui kondisinya sama dengan merundung orang yang bersangkutan. Ini bisa berdampak pada sosok yang diberi label, termasuk membuat dia berperilaku semakin buruk.

"Itu jelas memberikan dampak kepada orang yang bersangkutan dan kadang seringkali malah membuat dia 'makin buruk' karena merasa marah dan tidak dipahami," kata dia.

Dari sudut pandang korban, Nirmala menilai pentingnya para korban mendapatkan penanganan dari orang-orang yang kompeten di bidangnya, karena ini bukan pengalaman yang mudah juga bagi sebagian orang.

"Jangan berikan stigma juga kepada mereka. Karena kita cenderung suka memberikan stigma pada orang lain misalnya pada korban pemerkosaan bahkan yang pada pasien COVID-19, yang kalau dipikir-pikir siapa sih yang mau mengalami itu semua," tutur Nirmala.

Nirmala menekankan, terlepas dari Gilang melakukan fetish atau bukan, seharusnya kasus ini bisa membantu masyarakat melihat kekerasan seksual bentuknya bukan pemerkosaan saja, melainkan ada juga bentuk-bentuk lainnya seperti eksploitasi seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan aborsi, pemaksaan kehamilan dan pemaksaan kontrasepsi.

Hanya saja, menurut dia, jenis kekerasan seksual belum dibahas di undang-undang negara.

"Kekerasan seksual bentuknya bukan pemerkosaan saja, ada bentuk-bentuk lain yang belum dibahas di UU negara kita yang sudah ada, itu sebabnya RUU PKS penting sekali untuk dikaji dan disahkan," demikian kata Nirmala.

Kasus pelecehan seksual ini melibatkan seorang mahasiswa bernama Gilang yang meminta korbannya untuk mengirim foto diri sedang dibungkus kain atau foto-foto bagian tubuh lainnya dengan alasan riset tugas kuliah.

Warganet menyimpulkan, Gilang memiliki fetish terhadap kain jarik, orang yang dibungkus, dan bagian tubuh orang seperti jempol kaki. Orang dengan fetish biasanya memiliki dorongan seksual atau ketertarikan pada bagian-bagian tubuh yang sifatnya non-genital seperti rambut, telapak kaki dan ibu jari kaki atau benda mati.

Fetish Belum Tentu Gangguan Psikologis

Orang dengan fetish bisa saja sudah merealisasikan dorongan pada fantasinya ini, menurut psikolog Inez Kristanti. Lalu, apakah fetish merupakan sebuah gangguan psikologis?

"Belum tentu. Ketika seseorang yang memiliki dorongan seperti ini merealisasikan fetish-nya dengan pasangan yang memberikan persetujuan atau consent (mau sama mau), fetish bisa saja tidak menjadi sebuah masalah," kata dia, seperti dikutip Antara News, Jumat (31/7/2020).

Namun, kondisinya menjadi berbeda jika kecenderungan ini sampai menimbulkan distress yang signifikan bagi orang yang mengalami fetish, merugikan orang lain atau memaksa orang lain melakukan fetish yang sebenarnya tidak diinginkan.

Sebagai contoh, seseorang merealisasikan fetish tanpa persetujuan orang yang bersangkutan untuk melakukan aktivitas seksual atau sampai menjadi pengganti (substitusi) pasangan manusia atau menjadi syarat mutlak untuk melakukan aktivitas seksual (hingga mungkin mengganggu kehidupan seksualnya dengan manusia lain).

Menurut Inez, pada kasus ini seseorang bisa mengkonsultasikan kondisinya kepada pakar kesehatan mental untuk mendapatkan pertolongan yang sesuai.

"Diagnosis fetishistic disorder bisa diberikan oleh mental health professional," ujar dia.

Baca juga artikel terkait FETISH

tirto.id - Kesehatan
Sumber: Antara
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Agung DH