Menuju konten utama

Penjelasan Guru Besar UGM Soal Arti Efikasi Vaksin Sinovac 65,3 %

Guru Besar Fakultas Farmasi UGM, Prof DR Zullies Ikawati, Apt menjelaskan soal arti efikasi vaksin Sinovac 65,3 persen.

Penjelasan Guru Besar UGM Soal Arti Efikasi Vaksin Sinovac 65,3 %
Petugas Bio Farma melakukan bongkar muat vaksin COVID-19 Sinovac setibanya di Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Kamis (7/1/2021). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Guru Besar Fakultas Farmasi UGM, Prof DR Zullies Ikawati, Apt mengatakan, vaksin Sinovac dinyatakan memiliki efikasi 65,3 persen, dan dinyatakan aman dari segi keamanan. Meskipun dilaporkan memiliki efek samping, tetapi ringan dan bersifat reversible.

"Kekhawatiran tentang kejadian antibody-dependent enhancement (ADE) seperti yang banyak disebut di beberapa media sosial dan menjadi ketakutan banyak orang tidak terjadi pada uji klinik Sinovac di Indonesia, maupun di Turki dan Brazil," kata Zullies melalui keterangan tertulis yang diterima Tirto, Selasa (12/1/2021).

Tapi, kata Zullies, kemudian banyak orang bertanya, "kok efikasinya lebih rendah daripada yang di Turki atau Brazil ya? Kok lebih rendah dari vaksin Pfizer dan Moderna yang katanya bisa mencapai 90 persen?"

Lantas, bagaimana cara menghitungnya?

Menurut Zullies, vaksin dengan efikasi atau kemanjuran 65,3 persen dalam uji klinik berarti terjadi penurunan 65,3 persen kasus penyakit pada kelompok yang divaksinasi dibandingkan dengan kelompok yang tidak divaksinasi (atau plasebo). Dan itu didapatkan dalam suatu uji klinik yang kondisinya terkontrol.

"Jadi misalnya pada uji klinik Sinovac di Bandung yang melibatkan 1600 orang, terdapat 800 subyek yang menerima vaksin, dan 800 subyek yang mendapatkan placebo (vaksin kosong)," ungkap dia.

Ia menjelaskan, jika dari kelompok yang divaksin ada 26 yang terinfeksi (3.25 persen), sedangkan dari kelompok placebo ada 75 orang yang kena Covid (9.4 persen), maka efikasi dari vaksin adalah = (0.094 – 0.0325)/0.094 x 100% = 65.3 persen. Jadi, menurut dia. yang menentukan adalah perbandingan antara kelompok yang divaksin dengan kelompok yang tidak.

Ia mengatakan, efikasi ini akan dipengaruhi dari karakteristik subyek ujinya. Jika subyek ujinya adalah kelompok risiko tinggi, maka kemungkinan kelompok placebo akan lebih banyak yang terpapar, sehingga perhitungan efikasinya menjadi meningkat.

"Jadi misalnya pada kelompok vaksin ada 26 yang terinfeksi, sedangkan kelompok placebo bertambah menjadi 120 yang terinfeksi, maka efikasinya meningkat menjadi 78.3 persen. Uji klinik di Brazil menggunakan kelompok berisiko tinggi yaitu tenaga Kesehatan, sehingga efikasinya diperoleh lebih tinggi," lanjut dia.

Sedangkan di Indonesia, kata dia, menggunakan populasi masyarakat umum yang risikonya lebih kecil. Jika subyek ujinya berisiko rendah, apalagi taat dengan prokes, tidak pernah keluar rumah sehingga tidak banyak yg terinfeksi, maka perbandingan kejadian infeksi antara kelompok placebo dengan kelompok vaksin menjadi lebih rendah, dan menghasilkan angka yang lebih rendah.

"Katakanlah misal pada kelompok vaksin ada 26 yg terinfeksi COVID (3,25 persen) sedangkan di kelompok placebo cuma 40 orang (5 persen) karena menjaga prokes dengan ketat, maka efikasi vaksin bisa turun menjadi hanya 35 persen, yaitu dari hitungan (5 - 3,25)/5 x 100% = 35 persen," kata dia.

"Jadi angka efikasi ini bukan harga mati, dan dapat dipengaruhi oleh banyak faktor ketika uji klinik dilakukan. Selain itu, jumlah subyek uji dan lama pengamatan juga dapat memperngaruhi hasil. Jika pengamatan diperpanjang menjadi 1 tahun, sangat mungkin menghasilkan angka efikasi vaksin yang berbeda," pungkasnya.

Ia mengatakan, penurunan kejadian infeksi sebesar 65 persen secara populasi tentu akan sangat bermakna dan memiliki dampak ikutan yang panjang. "Katakanlah dari 100 juta penduduk Indonesia, jika tanpa vaksinasi ada 8,6 juta yang bisa terinfeksi, jika turun 65 persen dengan vaksinasi, maka hanya 3 juta penduduk yang terinfeksi, selisih 5,6 juta."

Dapat dihitung (0.086 – 0.03)/0.086 x 100% = 65 persen. Jadi ada 5,6 juta kejadian infeksi yang dapat dicegah. Mencegah 5 jutaan kejadian infeksi tentu sudah sangat bermakna dalam penyediaan fasilitas perawatan kesehatan. Belum lagi secara tidak langsung bisa mencegah penularan lebih jauh bagi orang-orang yang tidak mendapatkan vaksin, yaitu jika dapat mencapai kekebalan komunal atau herd immunity, kata dia.

"Jadi, saya pribadi masih menaruh harapan kepada vaksinasi, semoga bisa mengurangi angka kejadian infeksi COVID di negara kita. Apalagi jika didukung dengan pemenuhan protokol kesehatan yang baik, semoga dapat menuju pada pengakhiran pandemi COVID di Indonesia," ungkapnya.

Baca juga artikel terkait VAKSIN COVID-19 atau tulisan lainnya dari Alexander Haryanto

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Agung DH