Menuju konten utama
Dadang Rukmana:

Penipuan Properti Marak karena Manfaatkan Kelemahan Konsumen

"Pengembang harus dicek sebelum beli. Survei lokasinya, cek izin lokasi, IMB, kepemilikan tanah, jajaran direksi, baru bertransaksi."

Penipuan Properti Marak karena Manfaatkan Kelemahan Konsumen
Dadang Rukmana

tirto.id - Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut data backlog perumahan pada 2016 mencapai angka 11,5 juta rumah tangga. Ini ironis lantaran di tengah kelangkaan yang sedemikian besar itu, justru harus tercoreng dengan ulah para pengembang nakal.

Angka pengembang bandel memang "cuma" ratusan pengaduan dari total sekitar 800 ribu penjualan properti setiap tahun. Namun, praktik penipuan pengembang properti merupakan fenomena gunung es karena ada pembeli yang memang enggan melapor, salah satunya harus rela menjalani mekanisme berlarut-larut demi mendapatkan haknya kembali.

Seperti apa sebenarnya pengawasan terhadap para pengembang di level pusat sehingga keberadaan pengembang nakal terus berkembang liar di lapangan? Berikut wawancara Restu Diantina Putri dan Reja Hidayat dari Tirto dengan Dadang Rukmana, Direktur Rumah Umum dan Komersial dari Direktorat Penyediaan Perumahan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Data dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia menyebut ada sekitar 160 pengaduan terkait penipuan properti baik pada rumah tapak dan rumah susun pada 2015. Bagaimana pengawasan dari Kementerian PUPR terkait hal ini?

Pengawasan yang kami lakukan lebih pada perizinan. Pemerintah itu luas. Kalau dari Direktorat Penyediaan Perumahan lebih ke aspek teknis bahwa rumah itu sesuai kriteria-kriteria teknis. Maka, keluarlah Izin Mendirikan Bangunan (IMB), keluarlah yang namanya Sertifikat Laik Fungsi.

Kami yang di pusat menyediakan standar dan pedomannya, daerah yang melaksanakan. Karena tidak mungkin pemerintah pusat mengerjakan itu semua.

Ada 517 kabupaten/kota di Indonesia. Kami pakai prinsip desentralisasi daerah. Jadi yang langsung berhadapan dengan pengembang di lapangan adalah pemda dan kami memberikan kriteria dan aturannya kepada pemda. Mereka yang jalankan.

Terkait pengembang nakal, mungkin bisa jadi bukan developer. Belum tentu ia punya izin sebagai developer. Nah, kalau disebut pengembang itu penipu, mereka sudah punya izin sebagai pengembang, mereka sudah punya izin usaha, pura-pura jual rumah padahal tidak ada tanahnya, itu baru pengembang melakukan penipuan.

Kalau izinnya tidak ada, jangan sebut pengembang dulu. Jangan-jangan memang ada masyarakat yang berniat jahat. Maka, terkait hal ini, masyarakat harus hati-hati.

Saya selalu sarankan bagi masyarakat: pengembang harus dicek sebelum beli. Survei lokasinya, cek izin lokasi, IMB, kepemilikan tanah, jajaran direksi, baru bertransaksi.

Intinya, kami melakukan pengawasan dari sisi pusat itu lebih kepada penyediaan pedoman regulasinya. Pelaksana langsung adalah dinas-dinas perizinan yang ada di daerah. Maka, ke depan, kami harus memberikan pembinaan kepada pemda agar pengawasan itu bisa dilakukan efektif. Dan sekarang, saya tengah berkomunikasi dengan Direktorat Jenderal untuk beberapa hal terkait pengawasan-pengawasan itu.

Seperti apa pengawasannya?

Sekarang sudah punya sistem informasi. Kita sedang bangun itu.

Artinya dulu memang belum efektif?

Dari dulu ada pembinaan di daerah. Ada pembinaan pedoman IMB. Pedoman macam-macam, kan, dari kami.

Pengawasan dari pusat ke daerah bagaimana?

Itu saya tidak tahu karena saya baru di sini. Tapi saya yakin ada mekanismenya. Paling tidak kami sudah ada pertemuan rutin dengan daerah. Itu kami lakukan baik sebelum dan sesudah ada kasus. Sekarang ke depan kita sedang membangun sistem itu, apalagi dengan terbentuknya dinas-dinas, lalu di provinsi sudah ada Pokja perumahan dan kawasan permukiman.

Seperti apa sistem pengawasan yang akan dibuat?

Kami sedang menyusun draf Perpres tentang monitoring dan evaluasi penyelenggaraan perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah yang diamanatkan dalam PP No. 64 Tahun 2016. Ini mekanismenya harus dibangun. Dan yang penting bagi saya, ada database pengembang nakal, nanti kami beri penalti. Dan kalau dia memang bandit, ya laporkan saja ke polisi.

Penaltinya berupa apa?

Pencabutan izin usaha.

Bisakah dilakukan oleh Kementerian?

Nah, izin usahanya itu memang bukan dari kementerian PUPR, izin usaha itu dari daerah. Tapi yang mencabut bukan kami. Kami hanya sediakan kriterianya. Kami sedang mengupayakan mekanisme itu. Karena sepengetahuan saya, memang perumahan itu tersebar di 517 kabupaten/kota, dan di satu kabupaten/kota itu bisa terdapat puluhan, ratusan, proyek. Memang dari dulu perizinan pembangunan rumah itu sudah terdesentralisasi. Fungsi pusat adalah regulasi dan pembinaan.

Apa yang jadi celah sehingga para pengembang masih saja nakal?

Kalau menurut saya, masyarakatnya sendiri belum sepenuhnya memahami bagaimana proses menyediakan rumah. Jadi, si pengembang memanfaatkan kelemahan informasi yang minim di masyarakat. Kelemahan mungkin juga di tingkat pendidikan dan pemahaman.

Saya menyarankan, pada pameran-pameran properti, sebaiknya menyediakan stand khusus untuk YLKI, misalnya. Jadi celahnya di situ.

Kadangkala masyarakat mengerti tetapi tidak mau capek. Selain teredukasi, cek fisik juga harus dilakukan. Hati-hati pula memilih pengembang, harus yang kredibel. Banyak juga pengembang baru yang berniat baik, harus dipilah juga. Intinya, hati-hati sebelum membeli. Penipuan tumbuh subur karena mereka memanfaatkan kelemahan konsumen.

Baca juga: Seribu Akal Pengembang Nakal

Soal regulasi, kan, ada celah sangat besar terutama bagi konsumen. Contoh, misalnya, konsumen sudah bayar uang muka tapi tidak ada batas waktu bagi pengembang untuk menyelesaikan pembangunan?

Ada aturannya. Cuma tidak dipakai saja. Nah di sini pengawasan menjadi signifikan. Siapa yang melakukan pengawasan? Yang berhadapan langsung, yang memberi izin. Itu juga harus dipahami. Saya menilai personel di daerah juga tidak banyak. Tidak sebanding rasio petugas dengan beban tugas. Tapi itu tidak bisa dijadikan dispensasi.

Intinya, sekarang sudah ada sistem informasi, bagaimana kita memanfaatkan itu. Aturannya ada. Bisa dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB), bisa dalam Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Kan, tiap-tiap daerah tidak sama.

Misalkan, sudah ada IMB, lalu tidak dibangun-bangun juga, kemudian sudah menjual, nah harusnya yang memberikan IMB mengecek. Cek di lapangan. Kalau belum ada pembangunan, segera cabut karena merugikan masyarakat.

Jadi, yang harus kuat adalah jajaran pemerintah di level kabupaten/kota. Karena mereka yang tahu persoalan, status tanah, hingga kondisi riil di lapangan seperti apa.

Apa ini juga menjadi celah karena perizinan tidak satu pintu?

Kita sudah satu pintu sejak PP Nomor 64 tahun 2016 dan ditekankan Permendagri Nomor 5 tahun 2017.

Tapi itu untuk perizinan pendirian bangunan, kalau izin usaha harus ke Kemenkumham.

Ya itu karena kewenangan sektoral. Karena membeli rumah tidak seperti kacang goreng. Rumah itu, kan, ada aspek tanah, lalu aspek konstruksi.

Satu pintunya jadi dari mana?

Dibangun Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di daerah masing-masing. Artinya, mereka kumpul di satu wilayah yang sama sehingga memudahkan proses perizinan. Tapi bukan berarti dengan begitu prosedur dilewati seperti misalkan uji struktur. Semua daerah punya.

Bagaimana dari pembiayaan, dari bank misalnya. Terkadang ada celah masalah. Pengembang belum disetujui bank, tetapi sudah berani memasarkan.

Makanya prinsipnya hati-hati sebelum membeli. Sebelum memberikan DP, dicek dulu apakah lahan memang ada? Izinnya ada tidak? Benarkah itu pengusaha yang sudah mendapat izin untuk membangun rumah? Jangan-jangan perusahaannya punya izin di bidang lain. Di situlah kewajiban mengecek. Di situlah, saat tidak terpenuhi segala perizinan, kita harus curiga. Tahan dulu. Laporkan. Tanyakan ke dinas terkait.

Betul tidak DP harus diserahkan langsung ke bank bukan pengembang?

Sekarang itu DP ada yang masih menggunakan istilah tanda jadi (booking fee). Nah, tanda jadi masih mengambang di lapangan. Artinya, harus ada transparansi yang jelas baik setoran maupun tanda buktinya. Kalau yang terjadi saat ini, kan, itu akal-akalan marketing. Tidak masuk dalam biaya pembelian. Nah, itu yang merugikan.

Sekarang ini peraturannya mau dipertegas. Intinya, apa pun biaya yang dikeluarkan konsumen, harus diakumulasikan dengan biaya pembelian.

Selama ini semua begitu?

Ada yang begitu. Dan itulah yang nakal. Sekarang kita mau pertegas tanda jadi maupun uang muka harus menjadi bagian biaya pembelian. Jadi DP itu harus diberikan kepada yang punya rumah, dalam hal ini pengembang. Bank itu hanya intermediet. Jual beli itu bukan antara konsumen dan bank, tapi antara produsen dalam hal ini pengembang.

Hanya saja sebelum transaksi, harus jelas. Dan untuk jelas itu memang harus ada edukasi dan advokasi. Harusnya di daerah itu, sebelum beli rumah, ada pusat informasi perumahan. Itu yang saya mau bikin.

Mungkin karena masyarakat khawatir harga naik?

Nah itu juga yang harus diwaspadai. Itu akal-akalan marketing. Kadangkala yang keliru itu bukan pengembang, tapi pihak marketing juga. Kan mereka punya target. Memang harus ada lembaga pengawas. Di situlah tugas YLKI, Ombudsman, dan Pemda.

Soal pembentukan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun, antara pengembang dan konsumen ini ada banyak perbedaan tafsir. Misal, dari sisi pengembang, kalau tower belum selesai dibangun semua, belum boleh dihuni, sementara konsumen menilai sudah punya hak mengelola. Bagaimana?

Bisa seperti itu. Tapi, saya pikir, justru itu akan merugikan konsumen. Fasilitas yang harusnya dimiliki bersama nantinya hanya akan dibebankan ke konsumen tersebut. Misal listrik untuk jalan besar yang diperuntukkan untuk 10 tower, tapi yang rampung baru dua tower. Berarti listrik untuk 10 tower itu yang bayar nantinya hanya konsumen di dua tower itu saja. Kan kasihan.

Maka saya punya gagasan, jadi Perhimpunan nanti bertanggung jawab untuk unit terkait saja. Dilihat juga dari sisi perencanaan dan dilihat dari sisi izinnya. Maka, pengeluaran izin oleh pemda harus hati-hati. Yang saya lihat sekarang saling menyalahkan.

Saya bilang, kalau saya ketemu kedua pihak, jangan cari siapa yang salah. Tidak akan menyelesaikan masalah. Harusnya kita fokus mencari solusi. Penyebabnya ini karena tidak transparan dari awal. Untuk itu, saat ini, kami sedang menyusun kembali Perhimpunan agar lebih jelas.

Soal kasus apartemen LA City, pembangunan sudah telat, perizinan juga harusnya hanya 17 lantai tapi yang dipasarkan sampai 24 lantai. Alasannya mereka tidak ada uang lagi. Bahkan ada pula konsumen diberikan refund tapi berupa giro kosong. Tanggapan Kementerian?

Laporkan saja. Kan, ada mekanismenya. Dua puluh empat lantai, cek mana izinnya? Kan, semua itu ada izinnya. Ada izin lokasi, ada persetujuan side plan, ada IMB. Kalau kita mau membeli rumah, belum ada IMB-nya, terus mau dibangun—itu, kan, ilegal. Tahan saja, jangan punya rumah dulu.

Hanya saja, konsekuensinya bagi konsumen, harga akan naik kalau bangunan sudah jadi. Jadi ia terdorong untuk membeli lebih cepat. Itu yang harus hati-hati. Maka, yang benar itu bangunan sudah jadi kita beli. Ada barang ada uang. Memang di peraturan tidak dilarang, tapi di situ ada risiko. Berapa persen keterbangunannya dilihat dulu.

Baca juga: Celah Pengusaha Bisnis Properti Menipu Konsumen

Kementerian tidak membuat peraturan seperti itu saja? Baru boleh bertransaksi kalau sudah ada bangunan?

Kalau dibuat seperti itu, tidak banyak orang mau bangun rumah. Ini dilemanya. Karena backlog 2015 saja mencapai angka 11 juta. Maka dimungkinkan bertransaksi walau belum ada bangunan. Karena yang sukses juga banyak, kok.

Sebenarnya ada peraturan tidak, uang yang boleh dipakai pengembang untuk produksi berapa persen?

Sebenarnya normalnya itu harus murni modal pengembang. Karena kalau mau buka usaha, seharusnya punya modal. Namun masalahnya backlog kita terlalu besar. Jadi pengembang baru mau bangun kalau mereka bisa dapat uang di awal.

Sekarang yang harus diwaspadai kalau ada tawaran rumah atau apartemen murah. Kenapa murah? Karena harga tanahnya murah. Kenapa murah? Karena peruntukkan biasanya bukan untuk perumahan, tapi untuk tanah resapan, misalnya.

Tapi terkadang juga pengembang sudah membangun tapi izin masih dalam proses.

Itu salah. Maka lihat izin IMB. Dan izin-izin lainnya.

Artinya, masyarakat dituntut mandiri karena sampai sekarang belum ada pengawasan yang mumpuni?

Bukan. Sebenarnya pengawasan itu harus dilaksanakan oleh semua pihak termasuk oleh masyarakat sendiri. Masyarakat hati-hati saja, sebagai bagian dari pengawasan. Masyarakat bisa lapor kalau ada kecurigaan terkait izin, dan lain lain. Karena rumah ini kebutuhan primer.

Terkait backlog yang mencapai 11, 5 juta rumah tangga pada 2016, apa langkah dari pemerintah untuk menekan angka itu?

Ya itu dengan Program Sejuta Rumah yang kini sudah tercapai sampai 623 ribu unit.

Asosiasi pengembang mendorong agar pemerintah membuat land banking. Ada tanggapan?

Land banking itu sedang disusun lewat Peraturan Pemerintah di Badan Pertanahan Nasional. Land banking itu salah satu upaya untuk menyediakan tanah murah untuk rumah. Itu yang susah. Land banking adalah satu lembaga publik yang tugasnya membeli tanah untuk perumahan dan di mana saja.

Tapi, sejauh ini, pemerintah belum lakukan. Selama ini yang melakukan itu pihak swasta. Yang salah siapa? Kita semua. Mengapa dibiarkan? Tapi apakah pengembang harus dilarang? Kalau dilarang apa solusinya?

Baca juga: Mayoritas Warga Kota Tak Bisa Beli Rumah dari Pasar Properti

Jadi bagaimana? Pemerintah sudah mulaikah?

Sekarang sudah ada PP yang mengatur tentang bank lahan. Silakan tanya ke BPN sudah sejauh mana. Saya kira seharusnya sudah dari dulu.

Kami di sini juga membuat semacam shadow land banking. Ini semacam tanah milik negara, tanah-tanah yang dulunya hasil pembebasan lahan kita identifikasi mana cocok untuk dibangun lahan perumahan. Lembaga land banking di Indonesia tidak pernah ada. Dan sekarang baru mau disusun peraturannya. Tanpa land banking ya harus pengadaan lahan. Dan itu berdarah-darah prosesnya.

Baca juga artikel terkait PENGEMBANG PROPERTI atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri

tirto.id - Indepth
Reporter: Restu Diantina Putri & Reja Hidayat
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam