Menuju konten utama

Pengusaha Sawit: Hampir 100% Devisa Ekspor Sudah Dikonversi

Togar meyakini devisa dari sektor industri kelapa sawit yang masih tertahan dipergunakan untuk membayar utang dalam bentuk dolar AS.

Pengusaha Sawit: Hampir 100% Devisa Ekspor Sudah Dikonversi
Ilustrasi. Seorang pekerja merontokkan buah kelapa sawit dari tandannya di Desa Sido Mulyo, Aceh Utara. ANTARA/Rahmad.

tirto.id - Pengusaha kelapa sawit mengklaim telah mengonversi hampir 100 persen devisa hasil ekspor yang diperoleh ke dalam bentuk mata uang rupiah. Selain karena adanya regulasi terkait dari Bank Indonesia (BI), konversi tersebut dilakukan karena para pengusaha kelapa sawit relatif membutuhkan rupiah untuk kegiatan operasionalnya.

Adapun kegiatan operasional yang dimaksud itu meliputi pembelian raw material, seperti minyak sawit dan Tandan Buah Segar (TBS), serta membayar upah petani sawitnya.

“Devisa hasil ekspor dari sawit itu hampir 100 persen pulang dan dikonversi. Untuk ekspor sawit sendiri, 75 persennya berbentuk produk, sementara 25 persennya lagi dalam bentuk CPO (Crude Palm Oil),” kata Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Togar Sitanggang di Jakarta pada Rabu (8/8/2018).

Lebih lanjut, Togar meyakini devisa dari sektor industri kelapa sawit yang masih tertahan dipergunakan untuk membayar utang dalam bentuk dolar AS. Terkait hal itu, Togar menyebutkan bahwa setiap perusahaan memiliki perencanaan dan batas akhir pembayaran utangnya masing-masing.

Togar pun tak menampik apabila industri kelapa sawit menjadi yang paling pertama disorot saat pembicaraan tentang defisit transaksi berjalan mencuat. Hal itu tak lepas dari kenyataan industri sawit di Indonesia masih menjadi penyumbang devisa terbesar.

“Kami yang pertama dipanggil, karena posisi kami sebagai penyumbang devisa terbesar. Ini bisa diasosiasikan bahwa teman-teman di [industri] sawit menyimpan [dolar AS]. Tapi kenyataannya tidak,” ucap Togar.

Gapki sendiri melihat tren penurunan ekspor CPO dan turunannya masih akan terus berlanjut. Salah satu faktor yang memengaruhi ialah terkait pemberlakuan pajak ekspor di beberapa kawasan, seperti Uni Eropa dan India. Adapun Togar mengatakan bahwa ekspor pada Januari-Juli 2018 tidak sebesar tahun lalu, dan kondisi penurunan itu pun masih akan berlanjut di kisaran 5 persen.

“Ini lari dari perkiraan di awal tahun. Untuk itu, kami berharap ada insentif lain yang lebih cepat dengan rate yang lebih bagus, sehingga semakin mempermudah untuk menjalankan bisnis,” ungkap Togar.

Baca juga artikel terkait KELAPA SAWIT atau tulisan lainnya dari Maya Saputri

tirto.id - Bisnis
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri