Menuju konten utama

Pengusaha Dukung Penguasa: Kisah Riady di AS Hingga Pilpres 2019

Hitung-hitungan bisnis membuat pengusaha mendukung salah satu calon dari pihak yang sedang mengikuti kontestasi politik.

Presiden Jokowi di atas kuda tunggangan didampingi Prabowo Subianto menjawab wartawan, di Padepokan Garuda Yaksa, Desa Bojong Koneng, Hambalang, Bogor, Jawa Barat, Senin (31/10) siang. (Foto: Humas/Rahmat)

tirto.id - Tanggal 3 November 1992 jadi momen terbaik dalam hidup William Jefferson Blythe III atau yang lebih dikenal sebagai Bill Clinton. Ia memenangkan tampuk kepemimpinan tertinggi sebagai Presiden di negeri adidaya Amerika Serikat (AS), setelah sukses menggulingkan lawan politiknya sang petahana, George HW Bush.

Kemenangan Bill Clinton tidak luput dari sumbangan kampanye para pendukungnya, termasuk Lippo Group yang dimiliki taipan Mochtar Riady. Pada laporan Washington Post yang berjudul Lippo's Ties to Power Customary Business in Asia,

donasi kampanye yang digelontorkan oleh keluarga Riady dan eksekutif Lippo lebih dari $270 ribu kepada komite Partai Demokrat sejak Clinton lolos bursa nominasi Presiden AS.

Dukungan ini akhirnya bermasalah karena menurut hukum federal AS, dana asing dinyatakan illegal untuk membiayai kampanye politik di negeri itu.

Dukungan pengusaha kepada penguasa maupun calon penguasa, seperti yang dilakukan keluarga Riady kepada Bill Clinton tak ubahnya dukungan pengusaha kelas kakap saat ini kepada dua kubu pasangan calon (paslon) Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin dan juga Prabowo-Sandiaga Uno.

Di kubu Jokowi tersemat nama beberapa pengusaha kelas kakap seperti Erick Thohir, Hary Tanoesudibjo, Surya Paloh, serta Oesman Sapta Odong dan lainnya. Sementara di kubu Prabowo, ada nama Hashim Djojohadikusumo, Erwin Aksa, dan lainnya. Erwin merupakan Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, dan juga merupakan mantan ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) periode 2008-2011.

Deklarasi pengusaha mendukung calon penguasa tertentu di tingkat regional maupun nasional secara terbuka semakin menguat sejak kontestasi politik liberal diterapkan di Indonesia. Berbagai pemilihan secara langsung yang dilakukan, membuat peran pebisnis di arena politik menjadi lebih terbuka dan ekspresif.

Arena politik saat ini memang sudah mengalami pergeseran, dari politik nilai dan politik pragmatis menjadi politik industrial dan politik pragmatis. Barry Clark dalam buku berjudul Political Economy A Comparative Approach (1994: hal.19) (PDF) menulis adanya hubungan yang cukup dekat antara ekonomi dengan politik. Pergerakan ekonomi seringkali merupakan produk politik dan juga sebaliknya.

“Orang-orang yang berada di arena politik sering kali ditentukan oleh pergerakan ekonomi atau lebih spesifik adalah pengusaha,” kata Ubedilah Badrun, Dosen Analisis Sosial Politik dan Ekonomi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) kepada Tirto.

Pengusaha atau pebisnis dianggap sebagai salah satu variabel penting karena merupakan elite di kalangan masyarakat selain para pemilih dan juga media massa. Dengan begitu, peranannya diperhitungkan dalam setiap kontestasi politik mulai dari Pilkada sampai dengan Pilpres di tingkat nasional.

Lebih lanjut Direktur Pusat Studi Sosial dan Politik (Puspol) Indonesia ini menyatakan, tidak mengherankan banyak pebisnis yang menduduki posisi atau jabatan penting di pemerintahan. Misalnya saja Jusuf Kalla dan Boediono, yang masing-masing memiliki latar belakang sebagai pengusaha maupun ekonom.

Saat ini pun masing-masing paslon Presiden dan Wakil Presiden (Wapres) Pemilu 2019 memiliki latar belakang pengusaha. Joko Widodo (Jokowi) yang adalah pengusaha furnitur asal Solo, serta Sandiaga Uno pengusaha investasi maupun pertambangan.

“Jadi karena politik sudah menjadi industri, maka financial capital (modal financial) menjadi penentu. Sehingga sangat sulit menghindari intervensi bisnis dalam arena politik,” imbuh Ubedilah.

Dukungan yang diberikan pengusaha kepada penguasa merupakan simbiosis mutualisme alias hubungan yang sama-sama menguntungkan bagi kedua belah pihak. Bagi penguasa, dukungan pengusaha tentu dapat mendongkrak pundi-pundi rupiah yang dapat membantu meringankan biaya kampanye yang mahal.

Sedangkan bagi pengusaha, tentu mengharapkan imbal balik apabila calon yang didukung akhirnya menang dan menjadi penguasa. Beberapa keuntungan yang bisa diperoleh antara lain berupa akses terhadap kekuasaan maupun bisnis yang lebih luas nantinya.

Selain itu, terakomodasinya kepentingan bisnis dalam regulasi yang diproduksi di lembaga legislatif. Keuntungan berupa kemudahan akses dan kepastian berusaha juga tak luput dari imbal balik dukungan pengusaha terhadap penguasa.

“Imbal hasil paling penting yang didapat dari dukungan ini sebenarnya adalah informasi mengenai arah kebijakan ekonomi maupun usaha, yang tidak dimiliki oleh orang lain. Ini bisa menjadi jaminan untuk keberlangsungan bisnis pengusaha,” kata Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Noory Okthariza kepada Tirto.

Maraknya deklarasi dukungan yang dilakukan pengusaha terhadap salah satu paslon tertentu, sedikit banyak dipengaruhi oleh berbagai survei elektabilitas yang dilakukan. Hasil survei elektabilitas bisa membuat pengusaha mengarahkan dukungannya ke salah satu pihak paslon, atau bisa jadi berdiri di antara "dua kaki" artinya mendukung keduanya secara langsung maupun tak langsung.

“Banyak pengusaha yang mendekat kepada calon penguasa yang kemungkinan besar akan menang,” imbuh pria yang akrab disapa Oktha ini.

Dalam memetakan para pebisnis dalam pemberian dukungan terhadap paslon, setidaknya terdapat tiga pola. Pertama, adalah pebisnis menjadi donatur satu partai tunggal. Kedua, pengusaha menjadi donatur di beberapa partai sekaligus yang mendukung paslon. Ketiga, pengusaha membentuk partai itu sendiri.

“Mulai terlihatnya kecenderungan elite pengusaha menjadi policy maker atau pembuat kebijakan di partai politik, menunjukkan bahwa politik di Indonesia itu mahal. Hanya orang dengan kemampuan finansial yang mumpuni yang bisa berperan,” jelas Arya Fernandes, Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) kepada Tirto.

Saat pebisnis memasuki arena politik, nalar bisnis yang dimiliki memang tidak bisa hilang. Ada kelebihan tersendiri jika paslon yang didukung oleh pengusaha memiliki latar belakang ekonomi baik sebagai mantan praktisi bisnis ataupun juga ekonom.

Dengan pengetahuan yang dimilikinya itu, harapannya dapat membawa keberlangsungan ekonomi ke arah yang lebih baik lagi. Meski, tak dapat dipungkiri jika penguasa mendatang nantinya cenderung mengutamakan kepentingan para pengusaha, maka Indonesia tentu tidak dapat merasakan pemerataan pembangunan ekonomi.

“Ujian terberat seorang pemimpin negara adalah ketika harus memutuskan apakah kepentingan pengusaha dapat diakomodir, karena kepentingan nasional tetap yang utama,” jelas Ubedilah.

Infografik Pengusaha dukung penguasa

Infografik Pengusaha dukung penguasa. tirto.id/Deadnauval

Oleh karena itu, akan menjadi persoalan apabila pemimpin terlalu mengkalkulasi bisnis dalam kepemimpinannya. Situasi ini, menurut Ubedilah bisa berbahaya ketika pemerintah yang terpilih dan berkuasa tidak mampu mengelola posisi kekuatan politis para pebisnis untuk ditempatkan di tempat yang sesuai.

Menurutnya, jika seorang kepala negara tidak bisa mengelola keterlibatan pebisnis di arena politik, akan menjadikan pemerintahan yang berorientasi pada pebisnis bukan pada banyak orang atau nasional. “Kebijakan lebih didominasi oleh kepentingan bisnis. Ini yang sering kali menjadi problem tarik-menarik kepentingan di kekuasaan ketika pemilu sudah selesai,” sebut Ubedilah.

Dukungan pebisnis terhadap salah satu paslon tertentu merupakan hak politik yang melekat pada setiap individu. Oleh karena itu, sah-sah saja jika para pengusaha menyatakan sikap politiknya tersebut.

Namun, patut digarisbawahi ketika pemberian dukungan itu tidak dijadikan sebagai alat kepentingan pragmatis. Hal ini sering menjadi persoalan dalam setiap episode kekuasaan di Indonesia.

“Jika mengabaikan kepentingan nasional untuk lebih mengutamakan kepentingan golongan ekonomi tertentu, maka ini membenarkan thesis bahwa praktik demokrasi di Indonesia hanya menyuburkan praktik oligarki atau kekuasaan kelompok bisnis yang mengendalikan negara,” ungkap Ubedilah.

Harapannya, tentu saja agar kemudian siapapun pemimpin yang terpilih pada Pemilu 2019 ini, adalah pemimpin yang benar-benar memiliki orientasi mementingkan kepentingan nasional. Sebab, mengelola sebuah negara bagi pemimpin negara tidaklah sama dengan mengelola sebuah perusahaan oleh seorang pengusaha.

Baca juga artikel terkait PENGUSAHA atau tulisan lainnya dari Dea Chadiza Syafina

tirto.id - Ekonomi
Penulis: Dea Chadiza Syafina
Editor: Suhendra