Menuju konten utama

Penggugat Ajukan Banding Kasus Larangan Tionghoa Punya Tanah di DIY

Handoko mengajukan banding atas putusan hakim menolak gugatan terhadap Instruksi Wagub DIY tahun 1975.

Penggugat Ajukan Banding Kasus Larangan Tionghoa Punya Tanah di DIY
Keraton Yogyakarta. tirto.id/Riva

tirto.id - Pengadilan Negeri Yogyakarta menolak gugatan terhadap Instruksi Wakil Kepala Daerah DIY No. K.898/I/A/1975 tanggal 5 Maret 1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak Atas Tanah kepada Seorang WNI Non Pribumi.

Instruksi tersebut melarang warga nonpribumi memiliki hak milik atas tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan kerap berlaku ke warga keturunan Tionghoa.

Terkait putusan ini, Handoko, advokat sekaligus penggugat mengajukan banding pada Rabu (28/2/2018) ke Pengadilan Tinggi Yogyakarta. "Sudah [mengajukan banding]," kata Handoko singkat kepada Tirto, Rabu (28/2/2018).

Akta Permohonan Banding tersebut sudah teregistrasi di Pengadilan Tinggi Yogyakarta dengan nomor 132/Pdt. G/2017/PN.Yyk.

Handoko menggugat Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwana X dan Kepala Kanwil BPN DIY karena dianggap melanggar Inpres Nomor 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi, Pasal 28 I [2] UUD 1945 Amandemen Keempat, dan Pasal 21 ayat 1 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Adapun pertimbangan majelis hakim menolak gugatan itu adalah karena menganggap Instruksi Wagub DIY Tahun 1975 tersebut bukan merupakan peraturan perundang-undangan, namun sebuah kebijakan.

Putusan majelis hakim beralasan, sebelum berlakunya UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, instruksi tersebut merupakan perundang-undangan. Namun, setelah UU tersebut berlaku, maka instruksi bukan lagi sebuah aturan perundang-undangan.

Oleh karena ketentuan itu bukan merupakan peraturan perundang-undangan, maka tidak dapat dilakukan pembatasan dan pengujian dengan menggunakan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Putusan itu menyatakan tidak ada peraturan yang dipakai sebagai dasar pembuatan kebijakan.

"Tetapi pengujian terhadap peraturan kebijakan adalah dengan menggunakan asas-asas pemerintahan yang baik (AAUPB) karena dari segi pembentukannya, peraturan kebijakan bersumber dari fungsi eksekutif," kata Hakim Sri Harsiwi.

Oleh karena itu, menurut Majelis Hakim, untuk mengetahui perbuatan tergugat yang memberlakukan instruksi tersebut melawan hukum atau bukan, maka tidak dapat diuji dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sebagaimana yang dipaparkan Handoko dalam gugatannya.

Putusan hakim juga mempertimbangkan dalil Sultan, yang diwakili oleh Pemda DIY, bahwa penerbitan dan pemberlakuan instruksi tersebut dengan alasan untuk melindungi warga masyarakat yang ekonominya relatif lemah dan tujuan pengembangan pembangunan DIY di masa yang akan datang.

Pertimbangan hakim lainnya yang membuat gugatan tersebut ditolak adalah UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. UU tersebut memberikan hak keistimewaan bagi DIY dalam tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur; kelembagaan Pemerintah Daerah DIY; kebudayaan, pertanahan dan tata ruang.

"Mengadili, dalam eksepsi menolak eksepsi tergugat 1 dan tergugat 2. Dalam pokok perkara menolak gugatan penggugat, menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara yang sampai saat ini ditaksir sebesar Rp407 ribu," kata Hakim Ketua Condro Hendromukti di PN Yogyakarta, Selasa (20/2/2018).

Baca juga artikel terkait KASUS TANAH atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Hukum
Reporter: Dipna Videlia Putsanra
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Dipna Videlia Putsanra