Menuju konten utama

Penggeledahan Paksa LBH Apik, Lemahnya Perlindungan Pembela HAM

LBH Apik Jakarta mendapatkan intimidasi oleh sekelompok orang dan penegak hukum pada 3 Februari 2020.

Penggeledahan Paksa LBH Apik, Lemahnya Perlindungan Pembela HAM
Ilustrasi stop kekerasan. FOTO/iStockphoto

tirto.id -

LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jakarta mendapatkan intimidasi oleh sekelompok orang dan penegak hukum sebagai respons kasus yang sedang mereka tangani. Kejadian itu terjadi pada 3 Februari 2020.

Ketua Tim Hukum LBH Apik Jakarta RR. Sri Agustini menceritakan bahwa hal ini bermula dari upaya konsultasi DW yang menjadi korban kekerasan orangtuanya ke LBH Apik Jakarta. DW mendapat kekerasan dari orangtuanya berkat menjalani hubungan dengan BD.

"Pada Sabtu [1/2/2020], DW menghubungi LBH Apik Jakarta dengan menceritakan bahwa orangtua BD yang tinggal di Matraman, didatangi anggota Polsek Matraman berinisial TR yang mencari DW. TR tidak bertemu DW Pada hari itu. DW dan BD berada di Cikarang," ujarnya saat konferensi pers di LBH Jakarta, Jakarta Pusat, Rabu (19/2/2020).

Lalu TR menelpon DW dan mengajaknya bertemu. DW mengiyakan dengan syarat pertemuan itu hanya dihadiri TR dan berlangsung di kantor LBH Apik Jakarta.

Pertemuan itu direncanakan pada 3 Februari 2020. Menurut Sri, DW datang pukul 12.00 sementara TR sejam kemudian. LBH Apik Jakarta memfasilitasi pertemuan antar keduanya di ruang konsultasi.

Pada kesempatan tersebut DW menuliskan alasan dirinya minggat dari rumah kepada TR. DW juga menuliskannya dalam sepucuk surat yang kemudian dititipkan ke TR untuk orangtuanya.

"Dia [DW] meninggalkan rumah dan tidak ingin bertemu orangtuanya karena sering mendapatkan kekerasan dari orangtuanya. Kekerasan semakin meningkat ketika DW berelasi dengan BD," ujarnya.

DW meninggalkan kantor LBH Apik Jakarta pada pukul 13.30 wib. Begitu juga dengan TR. Namun TR kembali lagi ke LBH Apik Jakarta setengah jam berikutnya bersama rekannya PR. Mereka berdalih surat DW tertinggal dan kemudian diserahkanlah surat tersebut kepadanya. Namun TR malah menolak surat itu.

"PR dan TR langsung meminta menggeledah kantor LBH APIK Jakarta dengan tuduhan menyembunyikan DW. LBH APIK menolak karena PR dan TR tidak menunjukkan surat tugas penggeledahan sebagaimana Pasal 33 KUHAP," ujarnya.

Setelah dijelaskan oleh staf LBH APIK Jakarta bahwa DW sudah tidak lagi berada di dalam kantor. TR dan PR meninggalkan kantor pembela HAM perempuan tersebut.

Namun tak selang berapa lama, seseorang yang mendaku sebagai orangtua DW gantian mendatangi kantor LBH Apik Jakarta. Ia membawa gerombolan orang yang mengatasnamakan Kelompok Islam Maluku.

Ayah DW berkeyakinan anaknya masih berada di dalam kantor LBH Apik Jakarta. Gerombolan yang dibawa Ayah DW, menurut Sri, turut mengintimidasi karyawan Apik dengan kata-kata kasar.

"Karena terus memaksa, LBH Apik Jakarta mengizinkan dengan ditemani staf LBH Apik Jakarta dan seorang anggota Polsek Kramat Jati," ujarnya.

Mendapati DW memang tak berada di dalam kantor, Ayah DW bersama gerombolannya meninggalkan lokasi pukul 16.00 wib. Kemudian, atas dasar keamanan para staf Apik diminta pulang dan aktivitas kantor diberhentikan sementara oleh anggota kepolisian dari Polsek Kramat Jati.

Kejadian penggeledahan paksa yang dilakukan oknum penegak hukum dan organisasi massa membuat operasional Apik menjadi terganggu. Oleh sebab itu Apik melaporkan kejadian tersebut ke Polres Jakarta Timur pada 7 Februari 2020.

"Kami juga mendatangi Divisi Propam Polri untuk melaporkan 4 anggota kepolisian Polsek Matraman dengan kasus mal administratif dan pembiaran terhadap tindakan penggrebekan, intimidasi, dan penggeledahan paksa," ujarnya.

Perihal kelakuan tak menyenangkan anggota kepolisian dari Polsek Matraman. Sri mendaku pihak Polsek Matraman sudah mendatangi Apik untuk meminta maaf. Pihak Apik pun menerima permintaan maaf tersebut.

"Namun proses hukum masih tetap kami lanjutkan. Karena ini urusannya antar instansi," tandasnya.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai kejadian yang menimpa Apik merupakan bukti bahwa negara tak mampu menjamin rasa aman terhadap aktivitas pembela HAM termasuk yang dilakoni perempuan.

Semestinya, menurut Usman, polisi sebagai representasi negara tidak membiarkan adanya perilaku penggeledahan tersebut.

"Polisi wajib memfasilitasi kerja-kerja pembela ham, dalam hal ini harusnya mendiskusikan kasus kekerasan orangtua pada anak. Dalam kasus ini mereka gagal. Lalu dalam mengambil peran intervensi harusnya lebih bersifat positif. Tidak membiarkan penggerebekan," ujarnya pada kesempatan yang sama.

Baca juga artikel terkait AKTIVIS HAM atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Restu Diantina Putri