Menuju konten utama

Pengetahuan Seks adalah Tabu: Bikin Malu Sekaligus Penasaran

Sebagian orang menilai internet adalah sarana yang buruk untuk mencari informasi seputar seks, tetapi ada yang menangkap sebaliknya.

Pengetahuan Seks adalah Tabu: Bikin Malu Sekaligus Penasaran
Ilustrasi Pendidikan Sex secara online. tirto.id/Hafitz Maulana

tirto.id - Pekan lalu, saya berburu buku di beberapa toko loak di Semarang, Jawa Tengah. Saat saya membaca-baca sekilas di tempat, sempat orang-orang yang melintas di depan saya memandangi wajah dan kover buku terbitan tahun 50-an dan 80-an yang saya pegang: The Sexual Side of Marriage, Sorga Perkawinan, dan Seksuologi dalam Perkawinan.

Setelah itu, saya pun mengunggah foto-foto buku yang saya dapatkan tersebut ke Instagram dan mengangkat isu pendidikan seks yang terkandung di dalamnya. Di pendidikan menengah, pelajaran soal anatomi manusia memang pernah saya terima pada awal 2000-an, tetapi tidak cukup menjawab banyak pertanyaan lain soal reproduksi karena hanya sekelumit saja yang disampaikan guru dan dalam buku teks sekolah. Bertanya pada Bapak, Ibu, atau Kakak tidak pernah jadi pilihan karena kadung takut dimarahi ketika membahas hal itu. Membicarakannya dengan teman malah bisa jadi menggelikan atau memicu kecanggungan.

Oliv menanggapi unggahan Instagram itu dengan cerita pengalamannya. “Menurut gue, pendidikan seksual memang butuh dikasih secara bertahap, bahkan sejak anak masih balita. Tentunya sesuai porsi. Gue baru sadar betapa buruknya cara orangtua gue membahas soal seks dulu. Misalnya nih, tiap nonton film yang ada adegan ciuman, mata gue ditutup tanpa dikasih penjelasan kenapa gue nggak boleh lihat."

Ia lalu menambahkan ceritanya tentang penemuan majalah porno di rumah. Ibunya malah kelihatan marah, tetapi tak menjelaskan kenapa dia marah. Ibu dari bocah berusia tiga tahun ini juga menambahkan, saat kanak-kanak, ia pernah merasa nyaman bermain dengan kelamin sendiri tanpa tahu sedikit pun soal isu seksualitas. Kembali Oliv diomeli ibunya tanpa diberi tahu apa yang salah dengan tindakannya.

Di lain unggahan yang membahas hal serupa, seorang komentator lain bertanya di mana saya mendapat buku tersebut dan berujar: “Kira-kira kalau perempuan berjilbab beli buku gini bakalan diapain ya, sama penjualnya?”

Alternatif Saat Kebutuhan Pendidikan Seks Tak Tercukupi

Tabu dan perasaan tak nyaman membahas soal seks dengan orang-orang terdekat bukanlah hal yang cuma saya atau Oliv alami. Tak hanya di Indonesia, di negara maju macam Inggris pun pembahasan mengenai kesehatan reproduksi beserta relasi masih dipandang sebelah mata atau bahkan mengundang pendapat kontra.

Tahun 2011, BBC merilis berita berisi hasil survei yang diselenggarakan situs BabyChild terhadap 1.700 orangtua anak usia 5-11. Sebanyak 59 persen dari mereka tak setuju dengan pendidikan seks untuk anak dengan alasan tidak pantas menyampaikannya kepada para buah hati mereka.

Mulai September 2019, sekolah-sekolah di Inggris diminta untuk menyampaikan pendidikan seks dan relasi. Dilansir situs Union News, National Education Union (NEU) membuat survei terhadap 560 pekerja bidang pendidikan mengenai tanggapan dan kesiapan akan penerapan kebijakan ini.

Hasilnya, 96 persen dari mereka menganggap pendidikan seks dan relasi adalah hal yang penting, tetapi hanya 29 persen responden yang mengatakan cukup yakin sekolah tempat mereka bekerja siap membawakan materi ini mulai September 2019. Hampir 70 persen responden mengklaim staf di sekolah tidak mendapatkan pelatihan pendidikan seks dan relasi yang cukup.

Keadaan lingkungan yang tidak cukup mendukung anak untuk mengakses pendidikan seks tak pelak membuat mereka mencari jalan alternatif seperti internet pada masa kini. Sebagian mengakses pornografi untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan seksualitasnya, sebagian lainnya memilih menelusuri Google.

Hasil studi TECHsex Youth Sexuality and Health Online tahun 2017 terhadap 1.500 anak usia 13-24 menyebutkan, 21 persen dari mereka memilih mesin pencari ini sebagai sarana efektif untuk mempelajari seksualitas dan kesehatan reproduksi.

Informasi di internet yang tidak difilter oleh anak lantaran rendahnya tingkat literasi digital bisa berdampak negatif. Alih-alih mendapat informasi yang akurat soal reproduksi dan relasi, anak bisa kian tersesat akibat membaca sumber-sumber sembarang.

Karenanya, sejumlah LSM dan pakar di Inggris mengusulkan kepada pemerintah untuk membuat database nasional terkait situs yang mengangkat isu seks, demikian ditulis dalam The Telegraph. Hal ini dilakukan dengan tujuan menghindarkan anak-anak dari paparan informasi yang tidak aman dan tidak kredibel.

Usulan ini tidak mengisyaratkan paranoid berlebih tentang isu seks di internet. Sebaliknya, para pengusul merekomendasikan dibuatnya pendidikan seks online. Pasalnya, ada anak yang malu membahas atau mengajukan pertanyaan soal seks dan relasi di kelas-kelas.

Di samping itu, pada usia puber, lazimnya anak memiliki tingkat rasa penasaran yang tinggi tentang berbagai hal. Media yang paling dekat dengan merekalah yang akan paling sering dilirik, terlebih bila tidak ada dukungan dampingan orang dewasa yang memang punya pengetahuan mumpuni soal reproduksi.

Dengan adanya pendidikan seks online ini, anak bisa merasa lebih aman dan nyaman membicarakan perkara seksualitasnya secara privat dan mendapat saran dari pakar di situs yang nantinya disortir pemerintah.

infografik Belajar seksualitas di era digital

Lebih dari Pembahasan Organ Seksual

Antipati terhadap pendidikan seks salah satunya didorong anggapan bahwa hal ini hanya akan memperbesar kemungkinan anak melakukan hubungan seks di bawah umur atau di luar ikatan perkawinan. Padahal, lingkup pembahasan pendidikan seks tidak hanya berkisar pada kegiatan bersenggama saja.

Salah satu situs pendidikan seks yang ditujukan untuk remaja, Sexetc.org, tidak hanya menyuguhkan informasi dan membagikan pengalaman orang-orang terkait tubuh seperti KB, penyakit menular seksual dan HIV/AIDS, kehamilan, tetapi juga soal orientasi seksual, kekerasan, hingga soal pacaran.

Pembahasan mengenai kekerasan seksual dan persetujuan adalah satu dari beberapa hal yang membedakan pendidikan seks dari pornografi. Psikoanalis Paul Joannides Psy.D, mengatakan dalam Psychology Today bahwa dalam pornografi, orang hanya mengonsumsi adegan senggama dalam porsi besar dan mengabaikan soal percakapan, persetujuan, kepercayaan, sikap menghormati, dan kepedulian.

Terkait isu kekerasan seksual, kampanye #MeToo yang bergaung keras di dunia digital sejak tahun lalu berdampak pula terhadap kesadaran remaja mengenai pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi di sekolah. Ditulis The Guardian, lewat tagar #MeTooK12, anak dan remaja membagikan pengalaman dilecehkan yang terjadi di sekolah oleh guru, pegawai sekolah, atau teman-temannya sendiri. Bila tidak ada pembahasan mengenai relasi dan persetujuan dalam kontak fisik yang pernah diterima remaja, mustahil kesadaran seperti ini muncul.

Selain membedakan pendidikan seks dari pornografi, Joannides juga mengkritik, pendidikan seks masa kini sepatutnya menggeser distorsi pemahaman tentang seks seperti yang dimuat dalam pornografi. Banyak pendidikan seks yang diterapkan sekarang masih tak diperbarui sejak tiga dekade lalu, dengan penekanan pada pemakaian kondom dan pencegahan penyakit menular seksual.

Di satu sisi, hal terkait dampak buruk perilaku seks tak aman memang penting disampaikan. Namun, di lain sisi, perlu juga memasukkan isu yang lebih jarang dibahas seperti kesenangan dan pentingnya menyampaikan kepada pasangan apa yang disuka dan tidak.

Baca juga artikel terkait PENDIDIKAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani