Menuju konten utama

Pengertian Teori Konflik Klasik dan Modern Menurut Ahli Sosiologi

Dalam perubahan sosial, konflik adalah hal yang tidak terhindarkan dalam kehidupan masyarakat dan bernegara.

Pengertian Teori Konflik Klasik dan Modern Menurut Ahli Sosiologi
Ilustrasi Sosiologi. foto/IStockphoto

tirto.id - Dalam ilmu sosiologi, salah satu teori yang sering dikaji adalah teori konflik. Secara sederhana, teori konflik didefinisikan sebagai sekumpulan teori yang menjelaskan peranan konflik, terutama di antara kelompok-kelompok dan kelas-kelas pada kehidupan sosial masyarakat.

Sementara itu, dalam buku Sosiologi Konflik dan Rekonsiliasi (Unimal Press, 2015) menyebutkan, konflik bisa dimaknai sebagai masalah sosial yang muncul akibat perbedaan pandangan dalam masyarakat atau pun negara. Sifat konflik merupakan aspek instrinsik dan tidak dapat dihindari dalam perubahan sosial.

Saat ini berkembang teori konflik klasik dan teori konflik modern. Antara keduanya, memiliki pandangan yang berbeda dalam mendasari penyebab utama dari konflik. Di samping itu, teori konflik pun cukup banyak definisinya sehingga memerlukan pemetaan dalam mempermudah memahaminya.

Teori konflik klasik dikemukakan oleh sejumlah tokoh seperti Polybus, Ibnu Khaldun, Nicolo Machiavelli, Jean Bodin, Thomas Hobbes. Secara umum, teori konflik klasik menganggap bahwa konflik terjadi akibat adanya sisi alami manusia. Manusia dianggap sebagai sosok yang memiliki kecenderungan saling memusuhi dan mengusai untuk urusan kekuasaan.

Sebaliknya, dalam teori konflik modern, penyebab konflik tidak tunggal dari sisi manusianya. Teori yang didukung dia antaranya oleh Karl Marx, Lewis A. Coser, dan Ralf Dahrendorf ini menilai, konlik muncul dengan sifat yang lebih kompleks.

M. Wahid Nur Tualeka dalam makalah Teori Konflik Sosiologi Klasik dan Modern (Jurnal Al Hikmah Volume 3, No. 1, Januari 2017) mengatakan, teori konflik muncul sebagai kritik atas hadirnya teori struktural fungsional. Teori konflik menilai perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaan nilai-nilai yang membawa perubahan. Akan tetapi, perubahan sosial sebenarnya terjadi karena adanya konflik yang membawa berbagai kompromi berbeda dari kondisi awal.

Teori konflik klasik

1. Polybus

Menurut Polybus yang lahir tahun 167 SM, konflik dapat terjadi dari keinginan manusia untuk membentuk suatu komunitas. Dari situ, Polybus menarik formulasi teori konfliknya dengan menyatakan bahwa monarki atau sistem pemerintahan dengan penguasa tunggal merupakan kekuasaan kuat sebagai bentuk pertama komunitas manusia.

2. Nicolo Machiavelli

Sosiolog dari Italia (1469-1527) ini menganggap jika manusia memiliki kehidupan liar seperti binatang buas. Saat jumlah manusia meningkat maka mereka merasakan adanya hubungan dan kebutuhan tentang pertahanan. Mereka menentang satu dengan lainnya, lalu memilih satu orang kuat dan berani sebagai pemimpin yang wajib dipatuhi.

Dari konflik inilah nantinya manusia akan mengenal tentang baik dan buruk. Mereka juga bisa membedakan mana yang baik dan jahat.

3. Thomas Hobes

Thomas Hobes mengemukakan teori konflik adalah dorongan utama tindakan manusia didasari dari keinginannya yang muncul terus-menerus dan kegelisahan terhadap kekuasaan saat mereka berkuasa. Manusia selalu punya keinginan berkuasa dan berhenti sewaktu dirinya mendapatkan kematian. Lalu, muncul konflik dari sebab kekuasaan itu karena manusia tidak pernah mengalami kepuasan.

Teori konflik modern

1. Karl Marx

Menurut Karl Marx, teori konflik adalah bentuk pertentangan dari perbedaan kelas. Masyarakat adalah tempat terjadinya ketimpangan yang kemudian memicu konflik dan perubahan sosial. Konflik tersebut berkaitan kepentingan ekonomi dari kelas kelompok berkuasa dengan yang dikuasai.

Pertentangan kelas disebabkan perbedaan akses pada sumber kekuasaan, yaitu modal. Munculnya kaum borjuis dan proletariat pada masyarakat kapitalis, akan memicu konflik yang tajam.

2. Lewis A. Coser

Menurut Lewis A. Coser, konflik tidak harus bersifat negatif karena sistem sosial lebih bersifat fungsional. Konflik dapat pula mempererat hubungan antara individu dalam sebuah kelompok.

Di samping itu, Coser meyakini adanya konflik pun tidak mesti bersifat disfungsional. Sebab, konflik bisa memunculkan interaksi dan memicu konsekuensi positif. Dan, konflik bisa menggerakkan anggota kelompok yang selama ini terisolasi menjadi aktif dalam kegiatan kelompoknya.

3. Ralf Dahredorf

Menurut Ralf Dahrendorf, konflik muncul hanya lewat relasi-relasi sosial pada sebuah sistem. Dengan demikian, konflik tidak mungkin melibatkan individu atau kelompok yang tidak memiliki hubungan dalam sistem.

Relasi-relasi tersebut erat kaitannya dengan kekuasaan. Dengan kekuasaan tersebut, sebagian pihak memiliki kontrol dan sanksi yang memungkinkan pemilik kekuasaan bisa memerintah dan mendapatkan keuntungan dari mereka yang tidak punya kekuasaan.

Baca juga artikel terkait TEORI KONFLIK atau tulisan lainnya dari Ilham Choirul Anwar

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Ilham Choirul Anwar
Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Alexander Haryanto