Menuju konten utama

Pengecatan Pesawat Kepresidenan: Ironi saat APBN Defisit

Pengecatan pesawat kepresidenan menuai kritik di tengah pandemi COVID-19. Langkah ini dinilai ironi saat APBN defisit dan warga kesusahan.

Pengecatan Pesawat Kepresidenan: Ironi saat APBN Defisit
Pesawat kepresdenan melakukan pendaratan perdana di Bandara Udara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati, Majalengka, Jawa Barat, Kamis (24/5/2018). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Pemerintahan Presiden Joko Widodo kembali disorot di tengah pandemi COVID-19. Kali ini, Istana dikritik karena menganggarkan uang hingga Rp2 miliar untuk pengecatan pesawat kepresidenan saat APBN 2021 defisit tajam.

Kabar tersebut awalnya diungkapkan pengamat penerbangan sekaligus eks komisioner Ombudsman RI Alvin Lie. Ia menyatakan negara berfoya-foya dengan mengecat ulang pesawat kepresidenan. Dalam cuitan tersebut, Alvin menyebut biaya cat mencapai Rp1,4 hingga Rp2,1 miliar atau 100 ribu dolar AS sampai 150 ribu dolar AS.

Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono membenarkan pemerintah mengecat ulang pesawat Kepresidenan Indonesia atau BBJ 2. Hal ini telah direncanakan sejak 2019 terkait HUT ke-75 kemerdekaan RI pada 2020.

"Proses pengecatan sendiri merupakan pekerjaan satu paket dengan Heli Super Puma dan Pesawat RJ," kata Heru dalam keterangan resmi, Selasa (3/8/2021).

Akan tetapi, Heru mengaku pesawat tersebut belum masuk jadwal perawatan rutin pada 2019. Akhirnya, pesawat RJ dan heli Puma yang dicat lebih dulu. Pihak Istana menerangkan perawatan rutin pesawat harus sesuai interval waktu tertentu dan harus dipatuhi sehingga harus dilaksanakan tepat waktu.

"Perawatan rutin Pesawat BBJ 2 jatuh pada 2021 merupakan perawatan Check C sesuai rekomendasi pabrik, maka tahun ini dilaksanakan perawatan sekaligus pengecatan yang bernuansa Merah Putih sebagaimana telah direncanakan sebelumnya. Waktunya pun lebih efisien, karena dilakukan bersamaan dengan proses perawatan," kata Heru.

Heru menegaskan, perawatan sudah direncanakan sejak 2019. Alokasi anggaran pun sudah dimasukkan dalam APBN. Kemensetneg juga sudah melakukan refocusing anggaran pada APBN 2020 dan APBN 2021 sesuai arahan Kementerian Keuangan.

"Dapat pula kami tambahkan bahwa proses perawatan dan pengecatan dilakukan di dalam negeri, sehingga secara tidak langsung, mendukung industri penerbangan dalam negeri, yang terdampak pandemi," kata Heru.

Namun demikian, sejumlah aktivis hingga tokoh politik mengkritik soal pengecatan pesawat kepresidenan tersebut. Salah satu yang mengkritik adalah petinggi DPP Partai Demokrat Andi Arief. Ia menilai ada esensi di balik penetapan warna biru sebagai warna pesawat kepresidenan.

"Sekarang pesawat kepresidenan berwarna merah. Entah maksudnya apa, bisa warna bendera, bisa juga Corona. Dulu biru. Desain dan warna karya seorang mayor desainer di TNI AU. Dominasi biru langit adalah upaya peningkatan keamanan penerbangan, sebagai warna kamuflase saat terbang," kata Andi dalam twitnya.

Ia juga menambahkan,"Keselamatan Presiden jadi pertimbangan utama. Terutama Presiden setelah SBY, karena SBY hanya menggunakannya beberapa bulan saja."

Politikus PKS Mardani Ali Sera juga menyoroti pengecatan warna pesawat. Mardani menilai hal tersebut tidak bijak karena anggaran seharusnya diberikan kepada rakyat daripada untuk mengecat pesawat.

"Mestinya bisa dibilang tunda atau alihkan bagi masyarakat yang lebih perlu. Banyak sekali PHK, banyak sekali masyarakat yang tidak bisa jualan, banyak sekali masyarakat yang tidak bisa bekerja," kata Mardani, Rabu (4/8/2021).

Ia pun meminta agar pemimpin Indonesia mengedepankan rakyat daripada kepentingan tertentu. "Ayo pemimpin contohkan menjadi ayah bagi rakyatnya. Jangan rakyatnya susah pemimpinnya mengecat sesuatu yang tidak urgen dan tidak primary need," kata Mardani.

Ironi saat APBD 2021 Defisit

Peneliti Forum Transparansi untuk Anggaran (Fitra) Gurnadi Ridwan sebut pemerintah seharusnya lebih mengedepankan pengelolaan anggaran dan belanja untuk penanganan pandemi COVID. Apalagi saat APBN mengalami defisit.

Gurnadi mengatakan, pemborosan bisa memicu ketidakpercayaan publik pada program pemerintah dalam penanganan pandemi COVID-19, apalagi pemerintah menggembar-gemborkan penghematan belanja pada 2 tahun terakhir ini.

"Meski faktanya perawatan pesawat itu penting, merealokasikan belanja itu akan lebih bijak dan bisa menjadi contoh bagi pejabat di daerah," kata Gurnadi kepada reporter Tirto, Rabu (4/8/2021).

Hal senada diungkapkan Sekjen FITRA, Misbah Hasan. Ia bilang "Peremajaan cat ulang pesawat kepresidenan tidak sensitif kondisi dan pemborosan. Meskipun dengan alasan menyambut HUT RI, hal tersebut bukanlah hal yang sangat darurat."

FITRA memberikan sejumlah catatan terkait pengecatan pesawat ini. Pertama, pemerintah tidak sensitif terhadap kondisi masyarakat yang masih bergelut dengan pandemi. Apalagi kondisi keuangan negara sedang tidak baik-baik saja.

Menurut Misbah, defisit APBN mencapai Rp971,2 triliun atau 5,5% terhadap PDB. "Ini estimasi APBN 2021, kalau di 2020 defisit APBN kita Rp1.039,2 triliun atau 6,3% terhadap PDB," kata dia.

Kedua, kata dia, jargon penghematan anggaran seakan hanya lips service. Hal ini akan mempengaruhi kredibilitas pemerintah dihadapan pemerintah daerah dan masyarakat yang selalu didorong untuk melakukan penghematan dan refocusing anggaran untuk penanganan COVID.

Ketiga, kata Misbah, anggaran Rp2 miliar yang digunakan untuk pengecatan ulang pesawat sebenarnya bisa dipakai untuk menambah sentra-sentra vaksinasi yang belum merata di seluruh daerah di Indonesia, sehingga antusiasme warga untuk ikut vaksin tidak justru menimbulkan kerumunan seperti yang terjadi di NTT atau Sumut beberapa hari ini.

Sementara itu, Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan tidak ada hal urgen dalam pergantian warna. Ia mengingatkan, warna merah putih sudah disampaikan oleh Kepala Sekretariat Presiden sudah diwakili oleh gambar bendera di ekor pesawat, sesuai ketentuan Pasal 10 ayat (1) dan (3) UU No. 24/2009.

Fahmi mengingatkan, pesawat kepresidenan adalah aset vital karena membawa kepala negara sebagai simbol negara. Oleh karena itu, pesawat tersebut dipercayakan pengelolaannya kepada Skadron Udara 17 TNI AU.

"Nah, dalam hal ini, pilihan warna biru putih yang digunakan sebelumnya merupakan warna yang direkomendasikan sebagai kamuflase atau penyamaran di udara. Pemilihan warna itu lebih menunjukkan perhatian serius pada aspek keamanan," kata Fahmi, Rabu (4/8/2021).

Pendapat Fahmi soal keamanan pesawat lewat warna bukan tanpa alasan. Ia mencontohkan pesawat kepresidenan Amerika Serikat Air Force One Amerika Serikat misalnya berwarna biru putih. Begitu juga Illyushin IL-96-300 milik Rusia dan Boeing 747-400 milik Cina. Bahkan pesawat Perdana Menteri Inggris Boris Johnson malah menggunakan warna abu-abu.

"Sedangkan warna merah atau warna-warna mencolok lainnya, lebih banyak digunakan pada pesawat komersial, atau pesawat-pesawat yang digunakan untuk tujuan demonstratif dan olahraga," kata Fahmi.

Staf Khusus Menteri Sekretariat Negara Bidang Komunikasi dan Media, Faldo Maldini kembali menegaskan pengecatan sudah dimulai sejak 2019 dalam rangka HUT RI ke-75. Namun, pesawat BJJ 2 itu servis sesuai rekomendasi pabrik pada 2021.

"Tadinya, itu satu paket sama beberapa armada lain yang sudah datang waktunya. Sekalian dicat, justru biar lebih efisien," kata Faldo.

Politikus PSI ini mengatakan, anggaran sudah diatur oleh Kementerian Keuangan dan anggaran saat ini sudah diarahkan fokus dalam penanganan pandemi. "Rencana ini tentunya sudah ada juga di dalam APBN, jadi ya harus dilaksanakan," kata Faldo.

Faldo menegaskan, pemerintah mengamanatkan perawatan kepada industri dalam negeri. Ia mengingatkan, belanja pemerintah didorong untuk menghidupkan kembali sektor usaha.

Faldo menambahkan, pemilihan warna bukan hanya warna merah, tetapi warna merah putih. Pemilihan warna dilakukan sebagai upaya penyatuan bangsa.

"Dalam momen ini, kita butuh banyak simbol pemersatu, sebagai penyemangat. Kami harap soal warna ini jangan bawa-bawa politik. Kita ingin melihat warna kebanggaan itu di atas langit dunia. Yang lama memang sudah waktunya untuk diganti. Kami berharap tidak dipolitisir," kata Faldo.

Faldo mengakui bahwa istilah biru kamuflase ada sejak abad ke-4 dalam catatan peperangan dan pengintaian. Hal tersebut diakui berhasil. Banyak pesawat tempur saat ini menggunakan warna bawah terang, sementara warna bawah gelap dalam rangka medan perang. Namun ia berdalih pesawat presiden bukanlah pesawat perang.

"Yang perlu diingat, pesawat kepresidenan bukan pesawat tempur atau pengintai. Yang penting dipastikan, standar keamanan yang tinggi tetap terjaga. Keamanan penumpang menjadi prioritas dengan perangkat teknologi yang terus di-upgrade dan di-service. Jangan sampai telat ganti oli lah. Makanya, pesawatnya masuk bengkel buat memastikan keamanannya itu," kata Faldo.

Baca juga artikel terkait PESAWAT KEPRESIDENAN atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz