Menuju konten utama

Pengebom Cinta, Kekasih Pemberi Puja dan Gula yang Bikin Terlena

Mereka yang sering kali membombardir pasangannya dengan hal yang indah-indah bisa jadi seorang narsisis dan punya niat memanipulasi.

Pengebom Cinta, Kekasih Pemberi Puja dan Gula yang Bikin Terlena
Ilustrasi Pria memberi seikat mawar dan kotak cokelat. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Banyak orang yang mendambakan dicintai sepenuh hati oleh pasangannya dan berharap pengalaman-pengalaman manis tidak berhenti menghampiri. Satu momen indah saja bisa menjadi pemicu candu dalam diri seseorang yang tengah dimabuk cinta. Tak pelak, orang tersebut dapat abai terhadap kerentanan dirinya terhadap serangan-serangan atau peristiwa buruk tidak terduga yang justru timbul berkat pasangannya itu sendiri.

Pada tahun 2000, Tina Swithin pernah memacari seorang laki-laki yang bersikap sangat manis kepadanya sejak awal relasi mereka. Penulis buku Divorcing a Narcicist: Advice from the Battlefield ini bercerita kepada Huffington Post, pada kencan ketiga, mantan pacarnya itu sudah bilang bahwa dirinya adalah orang yang ia nanti-nantikan sejak lama. Setelahnya, Tina dihujani perhatian, hadiah, dan pujian.

Kelekatan mantan pacar terhadap dirinya kian meningkat sehingga tidak butuh waktu lama bagi laki-laki itu untuk mengajak Tina tinggal bersama. Saat Tina hendak bepergian ke luar negeri, mantannya itu serta merta membeli tiket ke tujuan serupa supaya bisa lama-lama bersama Tina. Lambat laun, independensi Tina terkikis, semakin banyak porsi hidupnya yang terokupasi oleh sang pacar.

Sekilas, hal ini terdengar wajar, bahkan menyenangkan bagi sebagian orang. Akan tetapi, adegan ini bisa menjadi permulaan situasi relasi tak sehat yang mungkin saja dialami siapa pun. Tidak semua relasi beracun ditandai dengan terlihatnya kekerasan fisik atau perilaku-perilaku kasar pada awal relasi.

Ada sejumlah kasus di mana seseorang terjebak dalam relasi semacam itu justru karena sejak semula, sang kekasih menunjukkan sikap supermanis dan pemberi, seakan-akan segala yang ia punya dibagikan hanya untuk pasangannya seperti yang dialami Tina.

Semakin lama seseorang menerima perlakuan manis dari pasangannya, semakin besar kepercayaan yang diberikannya kepada si pasangan. Kewaspadaan seseorang bisa menurun seiring dengan hal tersebut hingga akhirnya ia kadung jauh dibawa ke permainan pasangan yang punya agenda-agenda tertentu.

Mengenal sang “Pengebom Cinta”

Situasi yang dialami Tina dikenal dengan love bombing. Ketika hal ini terjadi, pelaku akan berusaha memukau korban (pasangannya) lewat puja-puji dan memperlihatkan ketertarikan yang amat sangat kepadanya untuk memenuhi kepentingan pribadinya. Seperti ditulis Business Insider, pelaku juga mencari cara supaya korban memandang hanya pelakulah yang paling memahami dirinya.

Istilah love bombing, sebagaimana dicatat Psychology Today, awalnya dicetuskan pada dekade 1970-an di AS dalam konteks strategi sekte agama untuk meraup dan memelihara anggota baru, serta mengarahkan tindakan mereka. Tujuan terburuk yang pernah terkait dengan love bombing dalam sekte agama adalah mencuci otak anggotanya untuk melakukan pembunuhan dan bunuh diri. Tujuan love bombing lainnya yang juga jamak ditemukan adalah untuk memompa loyalitas dan kepatuhan anggota sekte.

Ciri lain love bombing ialah begitu cepatnya pelaku mengajak korban ke tahap relasi yang lebih serius, padahal pelaku dan korban belum benar-benar saling kenal. Berikutnya, tindakan-tindakan obsesif mulai muncul dari diri pelaku, baik terlihat secara jelas maupun terselubung. Inti dari love bombing adalah manipulasi secara psikologis untuk memuaskan diri pelaku sendiri.

Dalam situasi love bombing, posisi kedua belah pihak tak pernah benar-benar seimbang. Kebaikan-kebaikan yang ditujukan pelaku kepada korban merupakan senjata baginya untuk kelak bisa mengontrol korbannya itu. Pelaku senantiasa ingin menjadi lebih sosok dominan lewat cara apa pun, termasuk mengelabui pasangan yang sudah sungguh-sungguh percaya dan menyayanginya.

Perhatian yang dicurahkan pelaku kepada korban bisa diperlihatkan baik secara langsung maupun melalui media komunikasi seperti telepon, e-mail, atau media sosial. Dalam riset yang dilakukan Strutzenberg, dkk. pada 2017 (PDF) terhadap 484 responden usia 18-30 di AS, dinyatakan bahwa love bombing berkorelasi positif dengan aktivitas mengirim pesan (texting) yang intens dari pelaku kepada korban.

Korban-korban yang terpuruk setelah ditinggalkan pelaku sering kali tidak bisa membedakan mana relasi yang memang berlandaskan perasaan saling cinta serta ketulusan dan mana yang sifatnya manipulatif. Menurut Suzanne Degges-White dalam Psychology Today, profesor dan kepala departemen Konseling, Pendidikan Dewasa dan Tinggi dari Northern Illinois University, kedua hal ini dapat dibedakan dengan cara melihat apakah pemberian-pemberian pasangan pada awal relasi sudah terasa berlebihan; apakah ia diam-diam mengelabui Anda sampai Anda menyisakan sangat sedikit waktu untuk diri sendiri, teman, dan keluarga. Ia hanya mau Anda menghabiskan waktu berduaan saja secara terus-menerus.

Trik Seorang Narsisis

Ada kepribadian tertentu yang diasosiasikan dengan bombardir cinta: narsisis. Menurut penelitian Struntzenberg et. al., adanya korelasi positif antara kecenderungan narsisis dengan love bombing. Dalam kitab pegangan pakar psikologi, DSM-V, kepribadian narsisis digolongkan sebagai suatu gangguan dan memiliki ciri-ciri antara lain kebutuhan besar akan puji-pujian, merasa diri sangat spesial, kurangnya empati kepada orang lain, memandang kepentingan pribadinya sebagai hal paling utama, punya kecenderungan sikap arogan, serta kerap iri pada orang lain dan berpikir mereka iri pada kehidupannya.

Saat seorang narsisis membombardir pasangannya dengan pujian atau hadiah, hal ini dilakukan supaya ia mendapat hal yang persis dari pasangannya itu. Ia ingin kebaikan yang dilakukannya membuat pasangannya juga berpikir bahwa dirinya adalah pusat dunia, sebagaimana ia memandang diri sendiri. Ketika pasangannya itu tidak melakukan hal yang diharapkannya, seorang narsisis atau pelaku love bombing bisa menjadi marah dan kemudian melakukan hal-hal destruktif bagi pasangannya itu.

Arogansi yang dimiliki seorang narsisis bukan berarti memang dia berkepercayaan diri tinggi. Acap kali, seorang narsisis justru merupakan orang dengan penilaian diri yang rendah, demikian disampaikan pula oleh Strutzenberg et. al. Dengan melakukan love bombing, narsisis berupaya mencari kepastian dalam relasi romantisnya.

Secara bersamaan, hal tersebut mengindikasikan rendahnya kepercayaan narsisis pada pasangannya. Karena itu, tidak heran bila seorang narsisis membanjiri pesan kepada pasangannya dan berharap cepat-cepat dibalas untuk mendapat kepastian bahwa relasi mereka baik-baik saja.

Karena kebutuhan akan puji-pujian begitu tinggi dalam diri seorang narsisis, love bombing yang dilakukannya dapat pula bertujuan untuk mendulang apresiasi atau pengakuan dari orang-orang sekitar. Di media sosial, misalnya, semakin sering ia menunjukkan rasa cintanya kepada korban—dengan segala macam setting, pemberian, ekspresi, dan kata-kata—, semakin mungkin dia berpikir orang lain akan iri kepadanya.

“Apa yang salah denganku?”

Saat hubungan antara pelaku love bombing dan korban tidak lagi berjalan semanis—yang dibayangkan—awalnya, atau ketika hubungan mereka berakhir, korban dapat mengalami masa-masa sulit, bahkan traumatis. Suapan demi suapan sikap manis dari pelaku menyebabkan perubahan kondisi mental si korban yang berhubungan dengan senyawa kimia otak.

Psikiater dari Martha’s Vineyard Hospital and Island Counseling Center, Dr. Charles Silberstein, menjelaskan bahwa emosi yang muncul saat love bombing terjadi memicu keluarnya dopamin atau hormon kesenangan. Dopamin yang keluar secara berlebihan berkaitan dengan kecanduan dalam diri seseorang.

Di samping itu, intimasi dengan pelaku atau seorang narsisis memicu pula keluarnya oksitosin atau hormon cinta yang menciptakan perasaan keterikatan atau koneksi. Begitu si narsisis pergi, yang kemudian muncul dalam diri korban adalah perasaan takut dan stres, serta kecenderungan rasa lapar akan perlakuan manis yang sebelumnya pernah diterima.

Inilah yang menyebabkan korban susah menyudahi atau melupakan relasi dengan pelaku. Sehubungan dengan stres, hormon kortisol akan muncul. Bila ia keluar secara berlebihan dan berkepanjangan, masalah kesehatan fisik dan psikologis seseorang akan menanti di depan.

Infografik Begini Rasanya Bom Cinta

Infografik Begini Rasanya Bom Cinta. tirto.id/Deadnauval

Love bombing menjadi kian efektif ketika korban yang disasar adalah orang yang juga kerap merasa tidak aman (insecure) dengan dirinya sendiri. Orang yang merasa selalu butuh orang lain untuk melengkapi hidupnya adalah sasaran empuk sosok-sosok narsisis pengebom cinta.

Efek berikut yang terjadi akibat love bombing adalah interdependensi. Keberadaan pelaku yang selalu memberi menumbuhkan ketergantungan dalam diri korban, dan sebaliknya, pelaku pun butuh korban untuk memenuhi kebutuhan gangguan narsisisnya. Semakin tinggi tingkat ketergantungan dalam relasi, apalagi saat semakin mengganggu aktivitas dan pikiran seseorang, semakin tidak sehat hubungan yang terjalin.

Sehubungan dengan relasi berikutnya yang akan dijalin korban, akan ada kesulitan lebih yang dihadapi korban berkat relasi lamanya dengan pelaku love bombing. Korban berpotensi mengembangkan masalah kepercayaan pada orang lain, kehilangan rasa aman, atau susah mengidentifikasi perasaan.

Ketika korban belum sadar dirinya terjebak dalam love bombing, ada kecenderungan sikap menyalahkan diri sendiri yang timbul. Korban akan kebingungan dan terus bertanya “apa yang salah dengan diri saya” saat pelaku memperlakukannya dengan buruk di kemudian hari atau bahkan pergi begitu saja. Seiring dengan itu, muncul keraguan terhadap diri sendiri menggantikan rasa percaya diri dalam berelasi, tumbuh rasa malu saat mengingat peristiwa-peristiwa yang melibatkan ia dan pelaku, serta keletihan psikis luar biasa.

Saat sesuatu berjalan sangat manis, bahkan mungkin terlalu indah untuk menjadi nyata, tak ada salahnya untuk bertanya-tanya kenapa atau ada apa, sekalipun seseorang tengah jatuh cinta begitu hebatnya. Persiapan diri untuk menghadapi yang terburuk dan percaya bahwa tidak ada hal yang berlangsung selamanya bisa menjadi perisai dari serangan-serangan pengebom cinta yang tidak pernah bisa kita duga kapan datangnya.

Baca juga artikel terkait HUBUNGAN CINTA atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani