Menuju konten utama

Pengaruh Kuat Wajah, juga Suara, pada Kesan Pertama Seseorang

Dalam sepersekian detik, otak kita membentuk kesan akan seseorang berdasarkan ekspresi wajah dan suaranya.

Pengaruh Kuat Wajah, juga Suara, pada Kesan Pertama Seseorang
Ilustrasi Bentuk Wajah. foto/Istockphoto

tirto.id - Wajah adalah kesan pertama yang kita dapatkan dari orang yang tidak kita kenal. Dalam waktu kurang dari setengah detik, kita memutuskan apakah kita menyukai atau memercayai seseorang, bahkan dapat menilai mereka, seberapa cerdas mereka.

Wajah bahkan dapat memprediksi keputusan hukuman pidana termasuk hukuman mati pada narapidana. Tak hanya itu saja, hanya dengan memperlihatkan wajah kandidat, kita dapat memprediksi siapa yang keluar sebagai pemenang dalam pemilihan senator, anggota dewan bahkan presiden. Itu berkat kekuatan pemrosesan yang menakjubkan dari otak kita.

Profesor Jon Freeman, psikolog dari New York University mengatakan, “Hanya dalam 100 milidetik penampilan wajah, orang sudah dapat mengambil keputusan tentang orang tersebut dapat dipercaya, kompetensi, dan dominasi. Hanya dengan memperlihatkan foto wajah dapat memperlihatkan kecerdasan dan penilaian ini dapat mengarah pada keputusan bias.”

Ia melihat fenomena ini terkait dengan apa yang terjadi di dalam otak. Setelah melihat wajah dengan sekilas, banyak keputusan instan ini didasarkan pada stereotip.

Stereotip menjadi ekspektasi yang berdampak pada prototipe visual dan menciptakan distorsi dalam cara memandang wajah. Penelitiannya menunjukkan isyarat wajah seringkali kompleks dan ambigu.

Banyak persepsi "parsial" awal harus bersaing dalam sepersekian detik. Persaingan dinamis ini dianggap penting bagi kemampuan untuk membentuk penilaian sosial.

Mundur ke belakang, manusia zaman dulu, sebelum mengembangkan bahasa, menggunakan wajah dan suara untuk memutuskan dengan siapa mereka bekerja sama atau menjalin hubungan dekat. Apakah seseorang bisa dianggap musuh atau ancaman atau dapat diterima dalam sebuah kelompok dinilai dari wajah dan suara mereka.

Hingga saat ini, otak masih terhubung dengan cara yang sama. Manusia modern belajar membaca ekspresi wajah saat masih bayi, dan seiring bertambahnya usia, kita terus menafsirkan emosi berdasarkan ekspresi wajah.

Menurut sebuah studi yang dipublikasikan di Journal of Neuroscience, otak secara cepat menentukan seberapa dapat dipercaya seseorang, sebelum merasakan secara menyeluruh. Hal ini mendukung fakta bahwa kita menilai orang dengan sangat cepat.

Para peneliti di Dartmouth College dan New York University menunjukkan kepada sekelompok peserta foto wajah orang yang asli, dan wajah yang dihasilkan oleh komputer untuk melihat wajah mana yang dapat dipercaya atau tidak dapat dipercaya.

Hasilnya, orang umum berpikir bahwa wajah dengan alis bagian dalam yang tinggi dan tulang pipi yang menonjol lebih dapat dipercaya, dan fitur yang berlawanan tidak dapat dipercaya.

Meskipun para peserta tes tidak dapat memproses wajah, otak mereka melakukannya. Para peneliti berfokus pada aktivitas di amigdala, bagian otak yang bertanggung jawab atas perilaku sosial dan emosional. Dan menemukan bahwa area spesifik amigdala diaktifkan berdasarkan penilaian.

Hal ini menurut para peneliti adalah bukti bahwa otak kita menilai orang bahkan sebelum kita memproses siapa mereka atau seperti apa penampilan mereka.

Infografik Wajah dan Suara

Infografik Wajah dan Suara. tirto.id/Fuad

Suara Juga Berperan

Selain wajah, suara juga memainkan peran penting dalam kesan pertama saat bertemu seseorang. Profesor Pascal Belin, ahli saraf (neurologist) dari Aix- Marseille University, menemukan bukti bahwa manusia mengasosiasiasikan emosi dan sifat tertentu dengan bagaimana suara seseorang terdengar.

“Suara adalah wajah bagi pendengaran. Dari suara seseorang bisa dipandang oleh apakah orang tersebut dapat menginspirasi atau tidak dapat dipercaya,” ujar Prof, Belin. Menurutnya, ketika mesin diberikan suara, maka mesin tersebut memiliki kepribadian seolah-olah seperti manusia. Suara menyalurkan emosi dan dapat menghidupkan sesuatu.

Para peneliti di French National Centre For Scientific Research (CNRS) telah menentukan bagaimana kita membentuk kesan terhadap orang lain ketika kita mendengar mereka berbicara untuk pertama kalinya. Penilaian pertama kami dibuat berdasarkan naik turunnya suara, yang juga dikenal sebagai intonasi.

Orang membentuk gambaran mental yang mewakili kepribadian orang lain sesuai dengan kualitas suara individu. Dalam suara terdapat kecepatan, sintaksis, nada, dan fonetik semuanya memberikan informasi tentang apa yang dirasakan seseorang.

Ketika manusia berbicara, maka dapat dilihat bagaimana mimik wajah, sintaksis, prosodi, intonasi yang ada di suara. Semakin dekat hubungan, semakin intens mimik wajah bawah sadar kita. Umumnya, jika ingin disukai lawan bicara maka ada kecenderungan meniru. Senyum memicu kebahagiaan, jika melihat orang tersenyum maka otomatis Anda akan tersenyum.

Profesor Marc Swerts, ahli komunikasi dan kognisi, mengatakan, “Kita membiarkan diri kita dipengaruhi oleh suasana hati seseorang. Contohnya, pembicara yang tersenyum maka akan memengaruhi audiens menjadi tersenyum dan memberikan umpan balik positif. pembicara lebih serius, maka peserta juga akan serius,” ungkapnya. Sinkronisasi menandakan empati dan minat kepada orang lain.

Profesor Oliver Neibur dari University of Southern Denmark telah melakukan banyak studi, semuanya sama, yang penting adalah bukan apa yang dikatakan, tapi bagaimana kita mengatakannya.

“Suara adalah sinyal kompleks yang memiliki sinyal, kita semua memilki informasi yang kita bagikan, tapi menyerapnya adalah kerja keras dari sudut pandang kognitif. Bagaimana kita menyajikannya, menekankan kata-kata, dapat mengirim sinyal yang jelas kepada lawan bicara."

AI untuk Menilai Emosi Manusia

Tidak hanya kita saja yang bisa menilai wajah dan suara dalam menguraikan emosi manusia. Kini, teknologi kecerdasan buatan (AI) juga cepat belajar membaca wajah dan suara. Sebuah foto atau kalimat yang diucapkan biasanya sudah cukup untuk mendapatkan informasi tentang identitas, kesehatan, emosi bahkan kepribadian.

Gabriel Skantze, profesor di bidang speech communication and technology ini mengembangkan robot yang dapat merasakan emosi manusia sejak tahun 2011 hingga saat ini. Robot tersebut diberi nama Furhat.

“Furhat tahu kapan sebuah percakapan dimulai dan berakhir, bagiamana ia memandang lawan bicara, dan jawaban yang ia beri kadang di luar perkiraan kami,” ungkapnya. Saat ini, Furhat bahkan dapat melihat ekspresi mikro wajah dari lawan bicaranya.

Dan internet telah menjadi basis data wajah dan suara yang luas dan terus berkembang. Berdasarkan bunyi suara, kecerdasan buatan (AI) kini dapat mendeteksi apakah seseorang menderita Parkinson, depresi, atau bahkan Covid-19.

Artificial intelligence (AI) dapat digunakan untuk mendeteksi infeksi Covid-19, hanya melalui suara dari aplikasi ponsel, menurut penelitian European Respiratory Society International Congress di Barcelona, Spanyol.

Wafaa Aljbawi, seorang peneliti di Institut Ilmu Data, Universitas Maastricht, Belanda, mengatakan kepada kongres bahwa model AI akurat 89% secara waktu. Sedangkan akurasi uji aliran lateral sangat bervariasi. Juga, tes aliran lateral jauh kurang akurat dalam mendeteksi infeksi Covid-19 pada orang yang tidak menunjukkan gejala.

“Hasil yang menjanjikan ini menunjukkan bahwa rekaman suara sederhana dan algoritme AI yang disempurnakan berpotensi mencapai presisi tinggi dalam menentukan pasien mana yang terinfeksi Covid-19,” katanya. Infeksi Covid-19 biasanya memengaruhi saluran pernapasan bagian atas dan pita suara, yang menyebabkan perubahan suara seseorang.

Meski AI dapat membantu manusia, tetapi masih ada bias rasial. Google pernah keliru menandai wajah hitam sebagai “gorila”, kamera mengidentifikasi orang Asia sebagai “berkedip”. Dan belum lama ini, algoritma AI yang emosional memberi peringkat orang kulit hitam sebagai “lebih marah” daripada rekan kulit putih mereka. Apalagi, AI juga kesulitan mengindentifikasi emosi orang pada wajah orang yang sudah tua.

Masih banyak kontroversi seputar emosi AI. Untuk saat ini, sepertinya kita perlu hati-hati dalam memanfaatkan teknologi AI.

Baca juga artikel terkait LIFESTYLE atau tulisan lainnya dari Daria Rani Gumulya

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Daria Rani Gumulya
Penulis: Daria Rani Gumulya
Editor: Lilin Rosa Santi