Menuju konten utama

Penganiayaan Pendamping Korban Kekerasan Seksual di Jombang

Seorang pendamping korban kekerasan seksual di Jombang dianiaya oleh kelompok dari lingkaran pelaku.

Penganiayaan Pendamping Korban Kekerasan Seksual di Jombang
Aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Banten berunjuk rasa memperingati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) di Bundaran Ciceri, Serang, Banten, Kamis (10/12/2020). ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman/wsj.

tirto.id - Pada Minggu (9/5/2021) siang di Ploso, Jombang, Jawa Timur, Rani, bukan nama sebenarnya, sedang mengaji di rumah dengan khusyuk. Lalu enam orang pria datang dan merusak kekhidmatan. Mereka merampas telepon genggam, mengancam keselamatan, bahkan membenturkan kepalanya ke tembok.

“Pelaku penganiayaan diduga merupakan jamaah organisasi Shiddiqiyah, Ploso, Jombang. Akibat kejadian tersebut korban menderita sakit di kepala dan trauma,” ujar Direktur Woman Crisis Centre (WCC) Jombang Ana Abdilah kepada reporter Tirto, Selasa (11/5/2021).

Sore pada hari itu juga Rani pergi ke Polsek Ploso dengan didampingi seorang teman. Ia melaporkan perbuatan tercela para pria itu dan menjalani visum.

Rani pikir kejadian siang itu sebagai pamungkas. Tapi ternyata tidak. Begitu malam tiba, datang gerombolan pria lain ke rumah. Pihak keluarga merasa tak nyaman dan terintimidasi. Beruntung para tetangga Rani berjibaku mengusir gerombolan yang diduga berasal dari Shiddiqiyah.

“Hingga kejadian ini dilaporkan, belum diketahui persis apa motif penganiayaan yang ditujukan kepada korban dan intimidasi kepada keluarganya,” ujar Ana. Meski demikian, rentetan peristiwa itu diduga akibat Rani membela korban kekerasan seksual di sebuah pondok pesantren di Jombang. Pelakunya ialah M Subchi Azal Tsani, putra pimpinan pesantren.

Azal memerkosa Ulfah—bukan nama sebenarnya—seorang alumni Pesantren Bahrain Shiddiqiyyah saat proses wawancara internal. Azal mendaku memiliki ilmu metafakta sebagai 'penjaga lingkaran emas'. Ilmu itu membuat Azal merasa bebas mengawini siapa pun.

Dalam sesi wawancara itu, Azal meminta Ulfah melepas pakaiannya. Tentu Ulfah menolak. Namun Azal menuding Ulfah terlalu menggunakan logika atau akal, sementara untuk menurunkan ilmu metafakta mesti tanpa akal.

Kasus Azal sudah dilaporkan sejak 29 Oktober 2019 lalu dengan Nomor Laporan Polisi : LP/329/X/RES.1.24./2019/JATIM/RES JOMBANG.

Azal saat ini telah ditetapkan sebagai tersangka tapi belum ditangkap oleh Polda Jatim.

Shiddiqiyyah: Itu Kami

Sekjen DPP Organisasi Shiddiqiyyah (ORSHID) Ummul Choironi membenarkan kedatangan gerombolan ke rumah Rani. Mereka adalah murid Kiai Moch. Muchtar Muthi, ayahanda Azal. Murid-murid tersebut datang untuk mengklarifikasi unggahan Rani di Facebook yang dianggap menghina Kiai Muchtar, katanya.

Saat itu “dia (Rani) malah emosional dan marah-marah kepada orang yang ingin melakukan klarifikasi,” ujar Ummul kepada reporter Tirto, Selasa.

Lantaran Rani tidak kooperatif, para murid Kiai Muchtar segera pergi. Namun menurut Ummul, Rani malah “menyusul sambil melempar batu ke arah mobil [santri].” “Hal tersebut juga sudah dilaporkan balik ke Polres Jombang dengan tuduhan fitnah dan perusakan,” imbuh Ummul. Ummul juga menyayangkan sikap tersebut.

Dalam kasus ini Kiai Muchtar sendiri selalu menyampaikan kepada masyarakat bahwa pesantren dan khususnya keluarga sedang dalam fitnah besar.

Ummul lalu mengirimkan tangkapan layar unggahan Rani di Facebook yang membuatnya diminta klarifikasi. Isinya: “Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua, punya kedudukan, punya umat, tapi selalu mengajak orang untuk selalu menyalahkan korban, khususnya korban kekerasan seksual. (Bukan Soe Hok Gie).”

Menurutnya sangat masuk akal apabila para murid Kiai Muchtar mendatangi Rani untuk menagih klarifikasi. “Hanya karena dia menjadi anggota LSM bukan berarti omongannya ditelan mentah-mentah tanpa dicek fakta di lapangan,” tandasnya.

Polisi Harus Usut Kekerasan

Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini mengatakan pihaknya telah menerima aduan terkait kekerasan yang dialami Rani. Ia menilai peristiwa tersebut adalah bukti rentannya keselamatan diri para pendamping korban kekerasan seksual.

Selain itu, peristiwa yang dialami Rani juga menunjukkan bahwa penundaan berlarut terhadap penanganan kasus kekerasan seksual telah mendorong ketidakpastiaan hukum dan terjadinya impunitas.

“Berdasarkan pemantauan kami pada kekerasan seksual dengan pelaku pengurus organisasi keagamaan maupun pemimpin/tokoh agama, kondisi hambatan dalam mengakses keadilan serupa ini kerap terjadi,” kata Rini saat dihubungi wartawan Tirto, Selasa (12/5/2021) malam.

Rini mencatat beberapa masalahnya. Pertama, karena kultur patriarkis menempatkan perempuan pada posisi subordinat, apalagi korban masih berusia anak, santriwati atau mahasiswi, dan pelaku mengancam korban.

Kedua, rape culture dalam masyarakat, yang cenderung menyalahkan perempuan korban (reviktimisasi) sebagai penyebab kekerasan. Ketiga, posisi pelaku sebagai pengurus, guru, kiai, pendeta atau memiliki relasi kekerabatan dengan tokoh/pemilik lembaga pendidikan keagamaan oleh masyarakat dipandang terhormat, menjadi panutan, dan berpengaruh.

Rini mendesak agar Polres Jombang mengusut tuntas kasus penganiayaan dan ancaman terhadap Rani sebagai perempuan pembela hak asasi manusia (PPHAM). “Polres Jombang harus memastikan korban [Rani] dan keluarganya mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan ancaman kekerasan lanjutan,” kata dia.

Tak hanya itu, Komnas Perempuan juga menuntut Polda Jawa Timur dan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur untuk segera menuntaskan penyidikan kasus kekerasan seksual ini. “Agar kepastian hukum dan perlindungan terhadap korban atas keadilan, kebenaran, dan pemulihan terpenuhi,” tambahnya.

Kepada wartawan Tirto, Kanit Intelkam Polsek Ploso Wawan Purwoko mengaku bahwa kasus Rani sudah dilimpahkan ke Polres Jombang. “Lebih baik ke Polres untuk minta penjelasan panjang lebar,” kata Wawan, Selasa sore.

Namun pihak yang dirujuk tak juga bisa memberikan penjelasan. Kepala Bagian Humas Polres Jombang Hariyono mengaku “belum memonitor kasusnya.” Hariyono mengatakan pihaknya masih harus memeriksa fakta dan data terlebih dahulu. “Sejauh mana ditangani, sudah divisum apa belum, pelakunya siapa. Kita, kan, harus runtut dan utuh [masalahnya],” kata dia, Selasa malam.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Hukum
Reporter: Haris Prabowo & Alfian Putra Abdi
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino