Menuju konten utama

Pengamat Kebijakan Publik Minta Pemda Adil Atur Kawasan Tanpa Rokok

Pengamat Kebijakan Publik Universitas Airlangga Surabaya meminta pemerintah daerah melakukan sosialisasi Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR).

Pengamat Kebijakan Publik Minta Pemda Adil Atur Kawasan Tanpa Rokok
Ilustrasi dilarang merokok. FOTO/Istockkphoto

tirto.id - Pengamat Kebijakan Publik Universitas Airlangga Surabaya, Gitadi Tegas Supramudyo meminta pemerintah daerah lebih adil dalam mengatur kawasan tanpa rokok (KTR). Di tengah masifnya penerbitan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR), dia mengimbau pemerintah daerah juga harus mengakomodasi kepentingan konsumen dengan menyediakan tempat merokok yang memadai.

Dia mengimbau kepada pemerintah daerah tegas dalam mengambil kebijakan yang bertujuan melindungi kesehatan masyarakat. Namun dia juga berharap pemda mengakomodasi seluruh pemangku kepentingan industri hasil tembakau (IHT), termasuk petani dan pekerja.

"Menurut saya supaya bisa meng-cover dua ini, sediakanlah tempat untuk mengurangi kerugian perokok pasif. Karena masyarakat kita adalah masyarakat perokok, buatlah kawasan smoking area, sehingga perokok tidak menggunakan tempat umum,” kata Gitadi dalam keterangan tertulis, Jumat (2/9/2022).

Lebih lanjut dia menuturkan pemda perlu terbuka untuk menerima masukan dalam penyusunan Perda KTR, dan siap berkolaborasi, termasuk dalam hal penyediaan tempat khusus merokok, sehingga kebijakan yang dihasilkan tidak bersifat diskriminatif pada salah satu pihak. Tidak hanya itu, Gitadi berharap kebijakan yang dibuat dapat diimplementasikan dengan baik.

“Sebetulnya, bahkan kalau pabrik rokok dimintai kesediaan untuk membuat smoking area, mungkin mereka tak akan menolak. Jadi, memang harus ada kompromi dan solusi di lingkungan internal. Jangan sampai seperti terkesan menutup mata pada industri rokok yang menghidupi orang banyak. Harus ada win-win solution,” bebernya.

Dia juga menjelaskan dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT) juga bisa menjadi solusi untuk pembuatan tempat merokok, sehingga asapnya tidak mengganggu masyarakat yang tidak merokok. Di samping itu, Gitadi juga menanggapi banyaknya pemerintah daerah yang melakukan perubahan atas perda KTR yang telah berlaku sebelumnya. Dia menilai pemda fokus pada implementasi tanpa harus melakukan revisi.

“Masalahnya sekarang adalah implementasi. Tak perlu ada perda baru. Yang lama bisa dipakai sepanjang implementasinya punya konsep jelas. Pelanggaran sanksinya jelas. Tapi yang saya lihat dari dulu sampai sekarang tidak ada komunikasi dan eksekusi yang jelas,” ujarnya.

Sementara itu, dia menyarankan agar pemda tidak terburu-buru dalam memberlakukan regulasi yang berkaitan langsung dengan masyarakat, termasuk perda KTR. Gitadi berharap pemda memberikan sosialisasi terkait regulasi dan konsekuensinya.

Kemudian dia menilai peraturan yang langsung dieksekusi tanpa sosialisasi tidak akan berjalan dengan efektif. Apalagi saat proses penyusunannya tidak melibatkan pihak-pihak yang justru akan menjalankan regulasi tersebut.

“Jika peraturan langsung dieksekusi, tak akan efektif. Apalagi kalau masih sama dengan perda sebelumnya. Solusinya sederhana, misal sosialisasi jangan terburu buru. Dari 2020 sampai 2023 ada sosialisasi. Tak cuma larangan yang cuma ditempel dengan dalih melanggar perda,” ucap dosen FISIP Unair ini.

Gitadi menyampaikan bahwa negara memang perlu berpihak pada derajat kesehatan masyarakat yang lebih baik. Namun pertembakauan di Indonesia memiliki kepentingan yang luas sehingga regulasi yang berkaitan dengan tembakau harus menciptakan win-win solution antara semua pihak dan mencapai tujuan pembuatan peraturan tersebut.

Baca juga artikel terkait KAWASAN TANPA ROKOK atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin