Menuju konten utama

Pengamat Katakan Petani Mulai Meninggalkan Profesinya

Rata-rata masyarakat di Indonesia mulai meninggalkan profesi petani yang ditekuni sejak dulu karena semakin canggihnya teknologi dan kemajuan peradaban. Salah satu alasan petani berpaling dari profesinya karena penghasilannya yang sangat minim hanya Rp200 ribu per bulan

Pengamat Katakan Petani Mulai Meninggalkan Profesinya
Petani membajak sawah menggunakan tenaga kerbau di Bawen, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Rabu (7/12). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), indeks nilai tukar petani (NTP) nasional per November 2016 mencapai 101,31 atau turun 0,4 persen dibandingkan NTP Oktober. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra.

tirto.id - Rata-rata masyarakat di Indonesia mulai meninggalkan profesi petani yang ditekuni sejak dulu karena semakin canggihnya teknologi dan kemajuan peradaban. Salah satu alasan petani berpaling dari profesinya karena penghasilannya yang sangat minim. Pendapatan riil petani hanya Rp200 ribu per bulan, angka yang sangat kecil dibanding dengan harga bahan pokok yang terus meroket.

"Hasil penelitian dan bahan wawancara langsung dengan sejumlah petani di daerah tertentu diketahui bahwa petani merupakan profesi mulai ditinggalkan penduduk Indonesia, termasuk yang ada di NTT," kata Pengamat Pertanian Agribisnis Universitas Nusa Cendana Kupang Ir Leta Rafael Levis, M.Rur.Mnt di Kupang, Sabtu, (10/12/2016) seperti dilaporkan Antara.

"Pendapatan seperti itu itu berpotensi mengganggu target swasembada jagung yang ditargetkan secara nasional pada 2018," imbuh Dosen pada Fakultas Pertanian Undana Kupang itu.

Selain penghasilan yang minim, sebab lain petani mulai meninggalkan profesi ini karena perkembangan iklim dalam tiga tahun terakhir ini yang tidak beraturan yang menurut para ahlinya disebabkan oleh fenomena el-nino dan la-nina.

Dia mengatakan dengan tipe curah hujan moonsonal (memiliki satu puncak hujan) itu, NTT tidak luput dari fenomena ini. Normalnya musim kemarau yang berlangsung cukup lama hingga delapan bulan, sementara rata-rata musim hujan berlangsung selama 4 bulan (Desember-Maret) hampir tidak berjalan normal dalam tiga tahun terakhir ini.

Bahkan pada 2014 dan 2015, NTT mengalami musim kemarau yang lebih panjang dibandingkan tahun normal, meskipun intensitas hujan tidak sebesar peningkatan di daerah lain yang menimbulkan banjir.

Pola musim seperti ini di NTT dipengaruhi oleh angin kering dari Australia menyebabkan konvergensi awan tidak seintens wilayah Indonesia yang lain.

"Pertanian di NTT katanya merupakan sektor paling rentan terhadap resiko iklim ekstrim, baik itu el-nino maupun La-nina dengan dampaknya masing-masing, seperti pada kondisi La Nina tentumenyebabkan kerusakan tanaman akibat banjir, dan meningkatkan intensitas serangan hama dan penyakit," katanya.

La Nina menyebabkan kelembaban dan curah hujan tinggi yang disukai oleh Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Pada daerah rawan banjir, kehadiran La Nina menyebabkan gagal panen akibat terendamnya tanaman.

Pengaruh kelebihan air terhadap tanaman akan lebih sensitif pada tanaman muda dibandingkan tanaman dewasa. Sehingga tingkat kerentanan terhadap La Nina juga tergantung pada saat kejadiannya, apakah anomali iklim terjadi pada fase awal perkembangan tanaman atau pada tahap dewasa.

Karena itu, pemerintah daerah perlu memainkan peran yang strategis guna menarik minat masyarakat menjadi petani jagung yang profesional dalam rangka mewujudkan target swasembada jagung 2018.

"Ya salah satu strategi untuk mewujudkan target swasembada jagung 2018 untuk memenuhi kebutuhan jagung sendiri tanpa impor maka pemerintah harus menciptakan peluang guna menarik minat masyarakat menjadi petani yang profesional," katanya.

Baca juga artikel terkait PETANI atau tulisan lainnya dari Mutaya Saroh

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Mutaya Saroh
Penulis: Mutaya Saroh
Editor: Mutaya Saroh