Menuju konten utama

Pengakuan Petani Jambi yang Disiksa Polisi karena Konflik Lahan

Para petani di Jambi dalam Serikat Mandiri Batanghari mengaku disiksa, bahkan satu balita ikut ditangkap polisi.

Pengakuan Petani Jambi yang Disiksa Polisi karena Konflik Lahan
Ratusan petani, nelayan, dan aktivis dari berbagai elemen melakukan aksi memperingati Hari Tani Nasional 2017 di depan Istana Negara, Jakarta, Rabu (27/9). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Pada Kamis, 18 Juli lalu, Lina tengah memasak di dapur Sekretariat Serikat Mandiri Batanghari (SMB) di sebuah kecamatan di Jambi saat ia mendengar deru mesin mobil. Mobil itu memuat belasan aparat kepolisian, mendatangi area permukiman.

Saat itu para petani yang tergabung dalam SMB tengah sibuk menyiapkan kantor. Sementara Agus, pimpinan SMB, sedang keluar membeli beras. Mereka berencana menggelar pengajian untuk memperingati 7 hari meninggalnya seorang bayi.

Didatangi para polisi, Lina terkejut dan bertanya-tanya: "Ada gerangan apa?"

Kekhawatiran Lina terbukti. Polisi berseragam dan berpakaian sipil merangsek ke Sekretariat SMB. Menembakkan peluru ke udara dan memaksa orang-orang di Sekretariat SMB untuk tiarap.

Dina, salah seorang anggota SMB, mengisahkan aparat polisi menendang dan menginjak para penghuni sekretariat.

Saat itu Dina berada di dekat Rani, istri Agus yang sedang hamil tiga bulan. Dina melihat seorang aparat mendekati Rani, menanyakan keberadaan Agus.

"Enggak ada, Pak. Agus lagi belanja," jawab Rani, sebagaimana diceritakan Dina. Namun, polisi memarahi Rani, menuduhnya berbohong.

Saat Agus tiba di Sekretariat SMB, polisi langsung menangkapnya. Bukan cuma Agus, seluruh petani di sekretariat dan permukiman, termasuk para perempuan, ikut diangkut oleh aparat lalu dibawa ke bus polisi. Total ada 45 orang dewasa dan 3 bocah.

Kejadian itu adalah aksi balasan aparat kepolisian dari peristiwa 13 Juli 2019.

Kala itu petani terlibat cekcok dengan penghuni kantor PT Wirakarya Sakti (WKS), anak usaha Sinar Mas Group dalam pengelolaan hutan tanaman industri, serta aparat kepolisian di kantor PT WKS di Distrik VIII, Mersam, Kabupaten Batanghari. Pangkal soalnya, sengketa lahan antara petani dan perusahaan. Dan, sejumlah anggota TNI dikabarkan jadi korban pemukulan petani saat keributan.

Esok harinya, 14 Juli 2019, perwakilan petani SMB, polisi, TNI, dan manajemen PT WKS berdamai. Mereka duduk bersama dan perdamaian itu direkam dalam sebuah video. Agus menyerahkan perlengkapan aparat yang disita petani, salah satunya gas air mata.

Saat aksi balasan itu, Lina ditarik-tarik aparat. Sementara Rani, istri Agus yang mengandung, ditarik bajunya hingga menyisakan bra dan celana pendek. Polisi bahkan memborgol tangan Rani meski akhirnya melepaskan dan mengembalikan bajunya setelah warga memohon.

Sementara Dina yang menggendong bocah berusia 1,5 tahun, memohon kepada aparat agar diizinkan mengambil baju buat anaknya agar tak masuk angin. Namun, aparat melarangnya.

"Tidak boleh turun! Biar saja dia masuk angin!"

Dina terpaksa berada di bus bersama anaknya yang hanya mengenakan singlet dan celana pendek.

Menurut Dina, ada banyak pria yang terlihat wajahnya berdarah. Mereka ditempatkan di bagian depan bus, sehingga anak-anak yang berimpitan di belakang bisa melihat cucuran darah dari wajah para lelaki itu.

Di sepanjang jalan, aparat polisi berkata kasar terhadap para petani. Masih memendam pertanyaan, Lina dan Dina serta puluhan warga petani itu diturunkan di depan kantor PT WKS di Distrik VIII, sekitar 20 menit dari perkampungan mereka.

Disiksa dan Ditelantarkan

Selepas turun, Dina mengisahkan aparat memerintahkah petani laki-laki melepas baju dan hanya memakai celana dalam. Mereka disuruh merayap ke kantor PT WKS. Di kantor anak usaha Sinar Mas itu, polisi memukuli mereka.

Selang beberapa saat, polisi memindahkan kembali 48 petani ke Mako Brimob di Jambi.

Setelah 4 jam perjalanan, setiba di sana, anggota SMB itu dibagi dua: Perempuan ditempatkan di lantai bawah dan laki-laki di lantai atas.

Dina, Rani, dan Lina bersama perempuan-perempuan lain disekap di kamar sempit. Mereka tak boleh keluar selama 2 hari.

Sementara tiga anak yang ikut dibawa dibiarkan tanpa baju ganti. Anak Dina berumur 1,5 tahun muntah-muntah dan demam di sepanjang perjalanan. Kondisinya belum sehat sampai tengah pekan lalu.

Selama di kamar sempit, para perempuan tak pernah tahu apa yang dialami suami dan para petani lain dari anggota SMB. Belakangan, Dina baru tahu jika suaminya dan anggota SMB lain disiksa: dipaksa mengunyah puntung rokok, disundut bara rokok, hingga ditusuk gagang besi. (Wajah suami Dina memperlihatkan 8 bekas sundutan rokok.)

Dua hari berselang, Dina dan anggota perempuan SMB dilepas dari Mako Brimob dan dibawa ke Polda Jambi. Mereka sempat dijanjikan bisa bertemu suami tapi, kenyataannya, ditelantarkan saat malam hari di lapangan parkir Polda Jambi.

Dina berkata bersyukur karena bersama anggota perempuan SMB, diselamatkan saudara Agus saat pagi buta. Mereka menginap di rumah kerabat Agus.

Selepas dari rumah kerabat Agus, Dina memilih pulang ke rumah ibunya di dekat rumah lamanya. Di sana, ia mendapatkan kabar permukiman SMB dan kantor SMB serta fasilitas sosial yang dibangun secara swadaya, ludes dibakar aparat. Harta benda, pakaian, dan surat-surat resmi tinggal abu.

Penangkapan dan Penyiksaan Berulang

Kebrutalan polisi tak cuma saat penangkapan pada 18 Juli. Ulah serupa diulang sehari berselang.

Daud, salah seorang anggota SMB, berinisiatif mendatangi Sekretariat SMB selepas mendengar kabar teman-teman petaninya dicokok polisi.

Saat tiba di lokasi sekretariat, ia melihat puluhan aparat polisi dan TNI berjaga-jaga. Aparat mengulangi aksi serupa: para anggota SMB ditangkap dan dibawa ke mobil, diangkut menuju kantor PT WKS.

Menurut Daud, saat tiba di kantor PT WKS, para petani itu dipisah: perempuan ke suatu kamar di tengah ruangan, laki-laki dipisah dua ruangan di kanan dan kiri.

Mereka kemudian dibagi menjadi tiga kelompok: Kelompok yang menghajar TNI tanggal 13 Juli; kelompok yang ikut ke distrik VIII tanggal 13 Juli tapi tidak menghajar TNI; dan kelompok yang tidak ikut ke distrik VIII tanggal 13 Juli. Daud masuk ke dalam kelompok terakhir.

Selama di kantor PT WKS, ia menonton teman-temannya disiksa oleh aparat. Sepanjang malam, mereka dipukuli, dipaksa mengunyah puntung rokok, tulang keringnya ditekan dengan ujung batang cangkul. Malam itu muka mereka bonyok dan lebam-lebam.

"Saya melihat semuanya," ujar Daud kepada reporter Tirto, pekan lalu.

Wiwik, juga anggota SMB yang ikut ditangkap aparat polisi dan TNI, mengamini kesaksian Daud. Ia mendengar jeritan dan rintihan teman-temannya dari bilik ruang khusus tempat anggota perempuan SMB ditempatkan di kantor PT WKS. Wiwik melihat penyiksaan itu dari dinding tripleks yang bolong.

"Malam itu enggak ada yang bisa tidur. Semua mendengar, menyaksikan," kata Wiwik. "Ibaratnya, orang itu yang 'aduh-aduhan' ditendang, entah diapain."

Pagi hari, Wiwik menyaksikan para petani pria anggota SMB dipaksa berjalan jongkok ke bus untuk diangkut ke Polda Jambi, bahkan seorang lelaki tua yang tak mampu berjokok ditendang aparat hingga terjungkal.

Selepas itu, Wiwik dan perempuan lain diantar ke rumahnya di desa berbeda dari permukiman SMB.

Sebulan setelahnya, Lina, Dina, Daud, dan Wiwik baru memberanikan diri ke Jakarta. Mereka mendatangi kepolisian, Komnas Perempuan, Komnas HAM, hingga Ombudsman RI untuk memohon keadilan. Mereka berharap bisa kembali ke Jambi bersama keluarga, kembali bertani dengan tenang.

Polisi dan PT WKS Sama-sama Membantah

Kabid Humas Polda Jambi Kombes Kuswahyudi Tresnadi membantah kesaksian dari empat narasumber mengenai penyiksaan tersebut.

Polisi memang menangkap 59 orang pada 18 Juli dan 19 Juli, tapi yang ditangkap seluruhnya laki-laki dan satu orang perempuan, istri dari Agus, ujar Kuswahyudi. Ia juga menampik ada 3 anak yang ikut ditangkap dalam kejadian itu.

Kuswahyudi membantah polisi menyiksa; membantah melakukan tembakan peringatan. Sebaliknya, menurut Kuswahyudi, dua anggota polisi terluka karena dibacok.

"Tidak ada penyiksaan, sesuai prosedur SOP," kata Kuswahyudi kepada reporter Tirto, pekan lalu.

Menurut Kuswahyudi, yang tidak ada di lokasi saat peristiwa itu, polisi tidak membawa para petani ke kantor PT Wirakarya Sakti, anak usaha Sinar Mas Group. Semua yang ditangkap langsung dibawa ke Mako Brimob, ujarnya, buat menjalani pemeriksaan. Ia juga mengklaim warga yang ditangkap didampingi penasihat hukum.

Kini, para warga itu masih di dalam tahanan. Ia menyebut kondisi mereka "baik dan sehat." Perkaranya sudah dilimpahkan ke Kejaksaan.

Menurut Kuswahyudi, mereka dijerat dengan pasal berlapis, antara lain pencurian, penyerangan, penganiayaan, dan perusakan.

Sementara menurut Taufik, Humas PT Wirakarya Sakti, anak usaha Sinar Mas Group dalam pengelolaan hutan tanaman industri, ia tidak mengetahui rincian proses penangkapan terhadap anggota SMB pada 18-19 Juli, termasuk soal dugaan penyiksaan. Ia hanya mengetahui aparat kepolisian menangkap anggota SMB menyusul kejadian penyerangan 13 Juli.

Taufik menjelaskan, pada 13 Juli, petani yang tergabung dalam Serikat Mandiri Batanghari menyerang kantor PT WKS di distrik VIII. Saat itu kantor dan mes dirusak. Harta benda dijarah massa; bahkan, menurutnya, ada anak-anak yang jadi korban.

"Karyawan ada yang lari ke hutan, anak istrinya lari ke hutan dan baru bisa dievakuasi tanggal 14 (Juli) jam 1 siang," kata Taufik kepada reporter Tirto, pekan lalu.

Selain itu, Taufik membantah ada perjanjian damai antara PT WKS, petani SMB, Polri, dan TNI usai peristiwa 13 Juli. Ia berkata PT WKS hanya sekali bertemu dengan serikat SMB pada pertengahan 2019 untuk membahas sengketa lahan.

Pertemuan itu digelar setelah 24 undangan pertemuan sebelumnya tidak dipenuhi SMB. Barulah mereka berinisiatif masuk ke permukiman SMB setelah pertemuan itu tak lagi diizinkan.

Mengenai dugaan kantor PT WKS di distrik VIII sempat dijadikan tempat transit oleh aparat, Taufik tak bisa memastikan kabar itu. Namun, ia berkata hal itu mungkin saja karena lokasi kejadian di tempat terpencil dan satu-satunya lokasi yang bisa menampung orang dalam jumlah banyak adalah kantor PT WKS.

=======

Keempat petani dari Serikat Mandiri Batanghari dalam laporan ini minta hak anonim namanya disamarkan demi alasan keselamatan.

Baca juga artikel terkait KONFLIK LAHAN atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Mufti Sholih