Menuju konten utama

Penerimaan Negara 2018 Tembus Target, tapi Pajak Masih Shortfall

Yustinus Prastowo menyampaikan pemerintah harusnya bisa menggenjot pajak di sektor non-migas tahun ini.

Penerimaan Negara 2018 Tembus Target, tapi Pajak Masih Shortfall
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan paparan saat menjadi pembicara kunci dalam seminar ekonomi Prospek Bisnis dan Investasi Jawa Tengah 2019 di Semarang, Jawa Tengah, Rabu (12/12/2018). ANTARA FOTO/Aji Styawan/ama.

tirto.id - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan penerimaan negara sepanjang 2018 tembus target dalam APBN. Namun, penerimaan pajak masih meleset dari target pemerintah yang dicanangkan pada tahun lalu.

Data sementara Kementerian Keuangan menunjukkan kantong pajak hanya terisi Rp1.315,9 triliun atau 92,4 persen dari target Rp1.424 triliun hingga tutup tahun 2018.

Hal ini membuat Indonesia kembali mengalami shortfall atau tak pernah mencapai target penerimaan pajak selama 10 tahun berturut-turut. Capaian penerimaan pajak Indonesia yang melampaui target, hanya terjadi pada 2008 dengan realisasi sebesar Rp571 triliun atau 106,7% dari target Rp535 triliun.

Kinerja penerimaan pajak 2018 juga hanya berada di angka 13,2 persen secara year on year, meskipun kata Sri Mulyani, tumbuh cukup signifikan dibandingkan 2017.

Hal ini membuat beban pertumbuhan penerimaan negara pada 2019 membengkak, yakni pada kisaran 20 persen. Padahal, kata Sri Mulyani, dengan penerimaan yang cukup kuat di tahun 2018, penerimaan pajak bisa tumbuh di kisaran 16 persen.

“Kami perlu membuat kemungkinan dari pertumbuhan tahun ini dengan tahun depan,” kata Sri Mulyani saat konferensi pers realisasi APBN 2018, di kantornya, Rabu (2/1/2018).

Menurut Sri Mulyani, shortfall tahun 2018 disebabkan oleh capaian pajak non-migas yang hanya sebesar 90,3 persen atau Rp1.251,2 triliun dari target APBN sebesar Rp1.385,9 triliun.

Realisasi PPh non-migas masih berada pada angka 84,1 persen dari target Rp817triliun, meski angka pertumbuhannya lebih baik, yakni dari 5,3 persen (2017) menjadi 15,1 persen pada 2018.

Pertumbuhan pajak pertambahaan nilai (PPn) bahkan hanya mencapai 11,9 persen atau lebih rendah dari tahun sebelumnya yang berada di angka 16,6 persen. Meskipun secara target, kata Sri Mulyani, realisasinya jauh lebih baik dibandingkan PPh non-migas, yakni di angka 99,3 persen atau sebesar Rp538,2 triliun.

Meski demikian, kata Sri Mulyani, penghasilan pajak yang rendah di sektor non-migas bisa dikompensasi dari sektor lain yang pendapatannya cukup tinggi.

“Ini dikompensasi oleh pendapat pajak penghasilan (PPh) migas kita yang cukup tinggi,” kata dia.

PPh sektor migas memang tercatat cukup baik pada 2018, yakni sebesar Rp 64,7 triliun atau tumbuh 28,6 persen. Namun, lebih rendah jika dibandingkan pertumbuhan tahun sebelumnya yang mencapai 39,4%.

Selain PPh migas, ada pula sektor industri pengolahan Rp363,60 triliun atau naik 11,12 persen, perdagangan Rp 234,46 triliun (tumbuh 23,72 persen), sektor jasa keuangan & asuransi Rp162,15 triliun (11,91 persen) konstruksi & real estate Rp83,51 triliun (6,62 persen), pertambangan Rp 80,55 triliun (51,15 persen), serta sektor pertanian Rp 20,69 triliun (21,03 persen).

Direktur Eksekutif Center of Indonesian Tax Analysis Yustinus Prastowo menyampaikan pemerintah harusnya bisa menggenjot pajak di sektor non-migas tahun ini. Terutama, kata dia, dari pajak PPn yang pertumbuhannya rendah pada 2018.

Yang terpenting, ujar Prastowo, pengawasannya perlu ditingkatkan serta sanksi atau law enforcement juga harus ditegakkan.

“Pengawasannya perlu ditingkatkan sehingga faktur fiktif itu tidak ada lagi. Terus yang ketiga law enforcement yang tahun lalu tidak dilakukan, harusnya usai pilpres tidak ada alasan lagi untuk tidak dilakukan," tuturnya.

Selain itu, kata Prastowo, yang tak kalah penting adalah pemanfaatan data automatic exchange of information (AEoI) serta keterbukaan data transaksi keuangan harus ditingkatkan sehingga bisa dirasakan dampaknya tahun ini.

Menurut Prastowo, pendekatan dalam pengawasan pajak juga harus diperkuat dengan bantuan IT atau penambahan SDM.

"Kalau dulu pendekatannya itu perjenis pajak pengawasannya. Misalnya pajak penghasilan badan, orang pribadi, PPn dan lain-lain. Kalau sekarang itu, kan, pendekatannya fungsi pelayanan, yang membedakan. Kalau dulu satu wajib pajak bisa diawasi oleh tiga orang. Kalau sekarang satu orang mengawasi banyak wajib pajak,” kata dia.

Meski demikian, Prastowo tetap pesimistis target realisasi pajak tahun depan akan mencapai target. Sebab, kata dia, sejumlah harga barang komoditas terutama pertambangan.

"Tahun ini memang butuh growth-nya 20 persen. Tapi menurut saya berat memang kalau sampai 100 persen (realisasinya). Kemungkinan kalau kami ngitung sih paling bisa di 97 persen. Menurut saya sudah bagus kalau melihat realisasi tahun ini juga tidak 100 persen," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait PAJAK atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz