Menuju konten utama

Penerapan PSBB Tanpa Karantina & Deteksi COVID-19 Sama Saja Bohong

Pemerintah perlu mengevaluasi penerapan PSBB termasuk pentingnya deteksi dini COVID-19 dengan tes swab masif dan karantina wilayah secara ketat.

Penerapan PSBB Tanpa Karantina & Deteksi COVID-19 Sama Saja Bohong
Lalu lintas jalan Sudirman pada jam pulang kantor lebih lengang dibandingkan biasanya pada masa pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) oleh pemerintahan Indonesia sebagai langkah mengurangi persebaran virus COVID-19, Jumat (17/4/20). Tirto.id/Hafitz Maulana.

tirto.id - Sejumlah daerah telah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk percepatan antisipasi penyebaran dan penanganan virus COVID-19.

Kebijakan tersebut diberlakukan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSBB dalam rangka percepatan penanganan COVID-19 atau penyebaran virus corona. Aturan tersebut juga tertuang di dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 9 tahun 2020.

Beberapa pemerintah daerah yang mengusulkan PSBB dan telah disetujui oleh Menkes Agus Terawan. Antara lain Provinsi DKI Jakarta yang telah diterapkan sejak 7 April kemarin. Menyusul Provinsi Jawa Barat meliputi Kabupaten dan Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten Kota Bekasi, Bandung pada 11 April 2020.

Selanjutnya Provinsi Banten meliputi Kabupaten dan Kota Tangerang, serta Kota Tangerang Selatan yang telah disetujui pada 12 April 2020. Lalu Kota Pekanbaru, Riau 12 April 2020, dan Kota Makassar, Sulawesi Selatan 16 April.

Provinsi Jawa Barat kembali mengusulkan PSBB yang meliputi Kota dan Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, dan Kabupaten Sumedang pada 17 April 2020 dan Tegal, Jawa Tengah pada 17 April kemarin.

Selanjutnya Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) juga mengajukannya dan akan diberlakukan mulai Rabu (22/4/2020). Kemudian baru-baru ini Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, dan Kabupaten Gresik (Surabaya Raya) telah disetujui untuk menerapkan PSBB.

PSBB Harus Ada Karantina & Deteksi COVID-19

Pakar Epidemiologi Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono menilai penerapan PSBB yang dilakukan oleh pemerintah selama ini tidak efektif. Pasalnya, masih banyak masyarakat yang beraktivitas seperti bekerja, berkumpul dan tidak menjaga jarak. Lantaran masih banyak dari mereka tidak mengetahui maksud dari kebijakan tersebut.

"Pemerintah harus lebih gencar lagi melakukan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat agar menerapkan PSBB. Bisa melibatkan RT/RW yang bersentuhan langsung dengan masyarakat," ujarnya kepada Tirto, Selasa (21/4/2020).

Kurang efektifnya penerapan PSBB juga, kata dia, karena pemerintah hanya memberlakukannya di beberapa daerah dengan persyaratan khusus saja. Namun, masih banyak daerah lainnya yang belum melakukan kebijakan tersebut.

Dosen yang mengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI ini menyarankan agar pemerintah tidak perlu memberlakukan syarat administrasi kepada daerah yang ingin melakukan PSBB sebagaimana yang diatur di dalam Permenkes. Sebab pandemi corona saat ini sudah berstatus bencana nasional.

Pemerintah Pusat menginstruksikan kepada pemerintah daerah untuk menyediakan Rumah Sakit khusus penanganan COVID-19 dan tempat isolasi pasien seperti RS Darurat Wisma Atlet di Jakarta.

"Selama ini implementasinya sepotong-sepotong. Maka kebijakan PSBB harus diberlakukan secara nasional agar virusnya tidak menyebar. Terus tidak perlu pakai izin-izin segala," ucapnya.

Agar PSBB dapat berjalan secara maksimal, pemerintah juga harus memiliki manajemen yang baik selama diterapkan di Indonesia.

Pemerintah harus membuat perencanaan yang matang, mengorganisir satuan kerja perangkat daerah (SKPD), mengaplikasikan PSBB secara prosedur: menindak perusahaan yang masih bekerja, membatasi operasional kendaraan, melakukan patroli untuk mengimbau warga agar jaga jarak, dan sebagainya.

Apabila telah dilaksanakan, Pemerintah harus melakukan evaluasi agar dapat mengetahui ketidakefektifan penerapan PSBB dan ke depan bisa dikerjakan lebih baik lagi.

"Sebentar lagi mau Ramadan dan Idul Fitri, gimana caranya virusnya hilang agar bisa beribadah bersama. Kalau bisa sebelum 17 Agustus lah, masa kita sudah merdeka tapi masih dijajah sama virus," pungkasnya.

Bukti tidak efektifnya PSBB juga terlihat dari data penyebaran COVID-19 di DKI Jakarta. Berdasarkan data dari laman corona.jakarta.go.id per Selasa (21/4/2020), angka positif COVID-19 di DKI Jakarta sudah mencapai 3.279 orang. Jumlah pasien meninggal dunia mencapai 305 dan 286 orang telah dinyatakan sembuh.

Dari sejumlah pasien yang positif, sebanyak 1.935 orang masih menjalani perawatan di Rumah Sakit dan 753 lainnya tengah melakukan isolasi mandiri di kediamannya masing-masing. Pasien Dalam Pemantauan (PDP) mencapai 5.201 orang dan Orang Dalam Pemantauan (ODP) di angka 5.799.

Padahal DKI Jakarta merupakan provinsi yang pertama kali menerapkan PSBB di Indonesia. Namun, kenyataannya, jumlah pasien yang positif COVID-19 di daerah yang dipimpin oleh Gubernur Anies Baswedan itu nyaris menyentuh angka 50 persen dari total keseluruhan di Indonesia yang mencapai 7.135 pasien.

Dari semua langkah itu, Pandu juga meminta agar pemerintah mendeteksi warga menggunakan tes swab agar dapat dideteksi sejak dini sebagai bentuk pencegahan.

"Kalau pemerintah tidak melakukan itu, sama saja menebar garam di laut, alias tidak ada gunanya melakukan PSBB tanpa penanganan yang serius dan deteksi dini COVID-19," tegas dia.

Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Faisal Yunus pun menilai penerapan PSBB yang diberlakukan oleh pemerintah pusat saat ini tidak efektif untuk mencegah penyebaran virus corona.

Sebab sejauh ini, ia melihat masih banyak warga yang beraktivitas di jalan raya dengan kendaraannya, hingga masih menjalankan kegiatan di rumah ibadah. Menurutnya, hal tersebut disebabkan karena kinerja pemerintah yang tidak maksimal dalam penerapan PSBB.

"Kalau dilakukan dengan ketat PSBB bisa efektif, tapi kalau dilihat sekarang kayaknya tidak ketat. Bahkan ada yang masih salat di masjid dan lainnya. Harusnya ada yang sweeping atau ronda untuk menertibkan," kata dia kepada Tirto, Selasa (21/4/2020).

Memandang PSBB tidak berjalan secara efektif, Faisal pun meminta Presiden Jokowi untuk memberlakukan lockdown atau karantina wilayah. Sebagaimana yang pernah diusulkan oleh pihaknya dan beberapa organisasi kesehatan lain, namun kala itu usulan tersebut tidak diindahkan oleh Presiden Jokowi.

Akan tetapi dia menyarankan apabila melakukan karantina, tidak bisa hanya dilakukan oleh satu provinsi saja, karena masih berpotensi terjadi penyebaran di daerah lainnya yang berada di dalam satu pulau.

"Kalau perlu karantina satu negara, atau minimal satu pulau lah, agar pemerintah bisa fokus mengatasi virus di satu pulau, terus dilakukan secara bertahap ke pulau-pulau yang lain," ucapnya.

Menurutnya, selama ini pemerintah kurang maksimal dan tidak efektif dalam mendeteksi penyebaran COVID-19 di masyarakat. Sebab, kata dia, pemerintah hanya menggunakan rapid test dengan akurasi kebenarannya hanya 30 persen bahkan kurang dan memiliki potensi salah yang cukup besar.

Saat ini yang mendeteksi warga dengan rapid test salah satunya Pemprov DKI Jakarta. Hingga Selasa (21/4/2020), Pemprov DKI telah melakukan rapid test kepada 62.100 orang. Sebanyak 2.248 (3,6%) dinyatakan positif sementara sisanya 59.852 orang dinyatakan negatif.

Faisal pun mendorong Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk melakukan tes swab yang memiliki akurasi tinggi mencapai 90 persen ketika melakukan deteksi COVID-19 kepada warganya, seperti yang dilakukan oleh Korea Selatan.

Terutama kepada Orang Tanpa Gejala (OTG), karena warga dengan kategori tersebut namun terjangkit positif COVID-19 sangat berbahaya. Lantaran selama ini mereka melakukan aktivitas dan berinteraksi dengan banyak orang dan berpotensi menularkan virus corona.

"Jadi kalau warga maupun OTG dites swab dan terbukti positif COVID-19, pemerintah bisa melihat riwayat perjalanan, terus berinteraksi dengan siapa saja. Jadi bisa memutus rantai penyebaran COVID-19," terangnya.

Jokowi akan Evaluasi PSBB

Melihat perkembangan penerapan PSBB, Presiden Jokowi akan mengevaluasi kebijakan tersebut. Jokowi ingin mengetahui dampak positif dan negatif dari pelaksanaan PSBB. Ia ingin ada perbaikan jika terdapat kekurangan dalam pelaksanaan PSBB selama ini.

Hal itu ia katakan saat melakukan rapat terbatas bersama Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 via teleconference dari Istana Merdeka, Jakarta, Senin (20/4/2020).

"Hari ini saya ingin ada evaluasi total dari apa yang telah kita kerjakan dalam penanganan Covid ini terutama evaluasi PSBB," kata Jokowi.

Dalam rapat tersebut, mantan Gubernur DKI Jakarta itu ia kembali mengingatkan daerah untuk melaksanakan pengujian sampel secara masif. Ia ingin pengujian diikuti dengan pelacakan progresif serta mengisolasi orang-orang yang positif Covid-19.

"Tiga hal ini yang terus ditekankan kepada [pemerintah] daerah," ucapnya.

Baca juga artikel terkait PANDEMI CORONA atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Maya Saputri