Menuju konten utama

Penelusuran Gua yang Mengancam Nyawa

Banjir adalah bahaya paling mematikan saat melakukan penelusuran gua. Hindarilah menelusuri gua pada musim hujan.

Penelusuran Gua yang Mengancam Nyawa
Ilustrasi caving. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - 4 Maret 1998, belasan anggota organisasi pencinta alam Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIEKN) Jaya Negara Malang menelusuri gua Sriti di Kecamatan Pagak, Kabupaten Malang. Saat rombongan telah berada di dalam gua, hujan tiba-tiba turun.

Mulut gua yang berada di lembah dengan area tangkapan hujan yang cukup luas segera mengalirkan air ke dalam gua. Debit air naik cepat. Air bah bergerak trengginas. Sebagian besar rombongan segera naik ke tempat yang tak terjangkau air. Namun, dua orang anggota rombongan terlambat naik dan akhirnya mereka terseret air bah.

Kabar kecelakaan tersebut beredar, regu penolong pun segera dibentuk. Karena gua telah dipenuhi air, mereka kemudian mencari informasi lewat pemetaan gua dan menemukan satu hal bahwa air ternyata masuk melalui sistem irigasi. Saluran itu segera ditutup dan mengalihkan air lewat bendungan sungai besar. Setelah sisi gua disusuri, ternyata aliran air sampai ke laut. Dua orang korban yang terseret air bah mereka temukan di laut dalam kondisi sudah tidak bernyawa.

“Guanya dipenuhi air, kami melakukan operasi seminggu di situ. Yang dilakukan hampir sama seperti yang terjadi di Thailand. Tidak ada penyelaman karena gua yang terpetakan hanya sebatas kita bisa masuk, sementara lorong belakang telah penuh air, dan kita waktu itu tidak punya kemampuan untuk melakukan penyelaman,” ujar Thomas Suryono, salah satu anggota regu penolong dari Acintyacunyata Speleological Club.

Menurut Thomas, proses pembentukan gua secara keseluruhan dikontrol oleh aktivitas air. Gua terbentuk karena air melarutkan batu gamping. Aktivitas air dalam jangka waktu lama secara perlahan akan membentuk lorong gua. Orang awam kebanyakan melihat gua hanya dari permukaannya, tanpa melihat sistem perguaan di dalam yang kerap lebih rumit dari yang diperkirakan.

Mulut gua biasanya terbentuk di daerah rendah. Saat hujan turun airnya mengumpul ke arah mulut gua, kemudian masuk ke gua, lalu menembus ke sistem gua yang ada di bawahnya. Oleh karena itu, kondisi keamanan gua sangat tergantung dari air, jadi ancaman itu tergantung pada musim.

Berdasarkan pengalamannya, Thomas mengatakan bahwa orang-orang yang terjebak di dalam gua biasanya salah perhitungan soal cuaca. Mereka menyangka musim hujan telah lewat, lalu masuk dan menelusuri gua, padahal musim belum benar-benar berganti kemarau. Lalu tiba-tiba hujan turun dan air memenuhi gua, lalu mereka terperangkap di dalam. Dalam catatan Acintyacunyata Speleological Club, dari 97 karus kecelakaan gua di Indonesia, 25 di antaranya terjadi karena banjir.

“Haram hukumnya menelusuri gua pada musim hujan,” katanya.

Risiko kecelakaan gua akibat hujan adalah semua rombongan akan terpapar bahaya.

“Yang perlu diketahui pertama kali adalah bahwa gua ini ada ancaman bahayanya, termasuk hujan. Kalau terjadi hujan dan banjir, yang terkena itu bukan satu atau dua orang tetapi seluruh orang yang masuk semuanya pasti terdampak. Sementara kalau misalnya jatuh, yang celaka hanya sendiri,” imbuhnya.

Sebagai contoh, pada 2017 ia tergabung dalam regu penolong terhadap seorang pencinta alam yang terjatuh di dalam gua di daerah Kulonprogo yang terlepas dari lintasan jalannya. Beberapa tahun sebelumnya, ia juga terlibat dalam penyelamatan seorang warga yang terjatuh di dalam gua vertikal di Gunungkidul. Masing-masing memakan korban tunggal.

Informasi serupa disampaikan oleh Djadjo Dondy Rahardjo. Kecelakaan di dalam gua menurut anggota kehormatan Mapala UI itu terjadi karena dua hal, subjektif dan objektif. Hal subjektif adalah kecelakaan yang disebabkan oleh si penelusur gua, salah satunya bisa terjadi karena si penelusur tidak mampu mempergunakan atau mengelola alat ketika berada di dalam gua. Sementara itu, kecelakaan objektif disebabkan oleh amuk alam yang tak terjangkau oleh batas kendali manusia.

Meski para penelusur gua biasanya dibekali kemampuan dasar dalam melakukan penelusuran, tapi saat salah memperhitungkan gejala alam, maka kecelakaan akan terjadi.

“Biasanya teman-teman caving udah lebih siap. Kalau kita dari satu tim kecil caving, duapertiganya harus bisa me-rescue. Namun, tetap harus menghindari masuk gua-gua vertikal pada saat musim hujan,” ujarnya.

Sofa Nurzamzam dari Bandung Speleological Activities menyampaikan hal yang sama. Menurutnya, gua adalah salah satu penampungan air terbesar, sehingga saat hujan terjadi air akan masuk ke dalam gua di kawasan karst tersebut. Hal ini tentu akan menjadi bahaya yang sangat mengancam para penelusur.

Kondisi ini yang membuat penyelamatan banjir adalah yang paling berat dalam proses evakuasi korban kecelakaan gua. Menurut Thomas Suryono, orang awam kadang melihat yang paling berat itu adalah ketika melakukan penyelamatan di medan vertikal karena harus menggunakan alat, memasang tali lintasan yang banyak sekali, sehingga rumit orang melihatnya.

“Tapi menurut saya itu tidak terlalu berbahaya karena kejadiannya hanya menimpa satu orang. Tapi ketika kita melakukan penyelamatan pada kecelakaan banjir, ini sebenarnya semua orang yang terlibat penyelamatan mendapat ancaman yang sama seperti orang yang dicari, karena daerah permukaannya masih hujan jadi kemungkinan banjir besarnya itu masih ada,” terangnya.

Pemetaan Gua dan Bahaya Lain

Saat hendak menelusuri gua, para penelusur biasanya telah mengantongi pemetaan kondisi gua terlebih dahulu. Proses pemetaan ini dilakukan setelah sebelumnya gua dimasuki, diteliti kondisi lorong-lorongnya, juga diperkirakan bahaya apa saja yang mungkin terjadi pada setiap lorong itu. Meski mereka hendak menelusuri gua yang pernah dijajal, pemetaan tetap diperlukan. Pemetaan gua juga sangat berguna bagi regu penolong saat hendak mengevakuasi korban kecelakaan di dalam gua.

Menurut pandangan Thomas Suryono, proses penyelamatan korban gua yang terjadi di Thailand baru-baru ini--selain diuntungkan oleh banyaknya sumber daya yang membantu--bisa dilakukan karena gua tersebut telah terpetakan secara baik.

“Mereka tahu batas guanya, di kedalaman berapa [korban berada], sehingga tahu harus di titik mana mereka mencari [para korban]. Jadi mereka bisa memperkirakan risiko yang harus dia hadapi, cara yang harus lakukan, kemudian suplai tabung [oksigen] yang persiapkan itu sudah bisa dia perhitungkan. Dan akhirnya memang ketemu, dan itu hampir di batas ujung gua. Kalau korban itu di luar daerah yang dipetakan, saya kira belum tentu hasilnya seperti sekarang,” ujarnya.

Selain banjir, sejumlah ancaman lain yang bisa menyerang para penelusur gua di antaranya adalah keberadaan binatang-binatang di dalam dan di sekitar gua, juga kadar oksigen yang semakin menipis.

Dampak yang ditimbulkan oleh hewan-hewan yang berada di dalam gua bisa langsung atau sebaliknya. Sebagai contoh, karena gua adalah tempat yang sejuk bagi hewan untuk berteduh di siang hari, jadi bisa saja para penelusur mendapati hewan karnivora di mulut gua dan menyerang mereka.

Contoh lain adalah kalacemeti, hewan yang biasanya berada di dinding gua. Hewan ini berbisa, tapi tidak mematikan. Kalacemeti menyemprot air seninya dan ketika kena kulit penelusur rasanya seperti terbakar. Karena tinggal di dinding gua, hewan ini biasanya terpegang oleh para penelusur, sehingga ia merespons melakukan serangan.

Sedangkan dampak tidak langsung bisa ditimbulkan oleh habitat kelelawar yang populasinya sangat tinggi di dalam gua. Menurut Thomas Suryono, banyak virus yang ditularkan oleh kelelawar tersebut.

“Kalau kita baru keluar dari gua, kita biasanya baru tahu kalau kita misalnya terkena histoplasmosis, yaitu jamur yang ada di sekitar kotoran kelelawar,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa penelusur gua biasanya terdampak jamur tersebut seminggu atau dua minggu atau sebulan berikutnya setelah keluar gari gua. Terhadap jamur ini, dokter bisa saja salah mendiagnosis jika si penelusur tidak bercerita bahwa ia baru memasuki gua. Hal ini terjadi karena ciri-cirinya hampir sama dengan orang yang kena TBC.

Infografik Sebelum Masuk Gua

Tingkatan Bahaya Goa dan Perlengkapan Penelusuran

Meski gua pada umumnya tidak banyak ditelusuri oleh masyarakat awam, termasuk di Indonesia, karena memiliki risiko kecelakaan yang tinggi, tapi ada beberapa gua yang bisa diakses masyarakat umum sebagai objek pembelajaran dan wisata.

Sofa Nurzamzam dari Bandung Speleological Activities menyebut ada beberapa gua yang bisa ditelusuri oleh masyarakat umum, misalnya gua Pawon di daerah Padalarang, Kabupaten Bandung Barat. Gua ini menyajikan dekorasi gua sebagai bahan pembelajaran sejarah dan arkeologi nyaris tanpa ancaman bahaya besar seperti banjir, longsor, dan lain-lain.

Ada juga gua Buniayu di Kabupaten Sukabumi yang biasa digunakan oleh para wisatawan yang bertualang dengan perlengkapan lengkap dan bimbingan para caver profesional. Sementara yang di Thailand, menurutnya, adalah gua untuk wisata khusus yang memerlukan keahlian khusus.

Untuk para penelusur gua yang tidak terlalu menguasai speleologi atau ilmu tentang perguaan, dan hendak menelusuri gua-gua yang secara risiko tidak terlalu berbahaya, mereka tetap harus mengetahui sejumlah perlengkapan yang wajib dipersiapkan. Perlengkapan dasar tersebut di antaranya adalah sumber penerangan, karena masalah gua yang pertama adalah kegelapan ruang.

“[Tantangan] survival yang pertama di gua itu adalah gelap, jadi sumber penerangan itu harus. Tidak hanya satu, minimal dua,” ujar Thomas Suryono.

Selain itu, karana di dalam gua kerap terjadi benturan dan gesekan dengan dinding dua, maka peralatan lain yang harus dipersiapkan adalah helm, sepatu, dan baju yang bisa melindungi tubuh dari benturan dan gesekan tersebut.

Ia menambahkan bahwa para penelusur gua juga harus membawa logistik yang cukup untuk melakukan penelusuran. Jika hendak melakukan penelusuran selama satu jam, minimal si penelusur harus membawa logistik yang cukup untuk tiga atau empat jam. Jadi, jumlah logistiknya dikali tiga masa penelusurannya.

“Kalau bicara soal keamanan ya idealnya sebelum masuk gua belajarlah. Anda tanya sama orang yang lebih tahu, jangan asal nyelonong [masuk gua], cari tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama di dalam gua. Itu akan jauh lebih baik. Jadi kemungkinan tersesat atau kecelakaan bisa dihindari,” ujar Djadjo Dondy Rahardjo.

Baca juga artikel terkait GUA atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Maulida Sri Handayani