Menuju konten utama

Penelitian: Mengapa Kebohongan Politisi Kerap Dimaafkan?

Pemikiran kontrafaktual dapat mengarahkan orang untuk memaafkan orang lain yang mengatakan suatu kebohongan.

Penelitian: Mengapa Kebohongan Politisi Kerap Dimaafkan?
Ilustrasi pembohong. Getty Images/IStockphoto

tirto.id - Debat Pilpres menjadi bagian dari kampanye politik setiap pasangan calon presiden. Memiliki visi serta argument yang logis bisa bernilai positif bagi pasangan. Tetapi kemudian sebagian masyarakat mengaggap argumen itu harus diimplementasikan. Oleh karena itu pentingnya menepati janji.

Tetapi terkadang saat terpilih menjadi presiden, ia kemudian banyak melakukan perubahan pada janjinya. Tak jarang sejumlah presiden terpilih tak menepati janjinya saat kampanye.

Penelitian yang dipublikasikan oleh Personality and Social Psychology Bulletin menjelaskan tentang bagaimana pemikiran kontrafaktual dapat mengarahkan orang untuk memaafkan orang lain yang mengatakan kebohongan.

Peneltian ini melibatkan 2.783 orang yang mengetahui dan mengalami beberapa pernyataan palsu yang dibuat dalam konteks pemilu Amerika Serikat 2016. Penemuan penelitian ini terjadi pada hampir semua pendukung dan lawan Trump.

Dalam beberapa argumen Trump, para peserta mengakui jika klaim itu salah atau palsu. Tetapi ketika argumen palsu itu berhubungan dengan perpolitikan yang terjadi di masyarakat, kemudian argument itu ditambah dengan situasi-situasi yang kontrafaktual (konsep berpikir yang selalu mencari jawaban aman jika dalam suatu masalah), hasilnya, Trump mendapat toleransi.

Lalu hal ini ditambah dengan imajinasi yang tampaknya bisa membuat kebohongan terasa "benar" dan itu cukup untuk membuat si pembohong diterima.

Misalnya, untuk mempertahankan klaim palsu bahwa lebih banyak orang menghadiri pelantikan Donald Trump daripada Barack Obama, juru bicara menyampaikan bahwa kerumunan Trump akan lebih besar jika cuaca lebih baik.

“Hasil-hasil ini mengungkapkan kemunafikan yang halus dalam cara kita mempertahankan pandangan politik kita. Penelitian saya menunjukkan bahwa bahkan ketika partisan setuju pada fakta, mereka bisa sampai pada kesimpulan moral yang berbeda tentang ketidakjujuran menyimpang dari fakta-fakta. Akhirnya adalah lebih banyak perselisihan di dunia yang sudah terpolarisasi secara politis,” jelas Effron, penulis penelitian.

Orang-orang yang membayangkan bagaimana kepalsuan menjadi argument yang benar menilai klaim itu memang kurang etis. Efek ini terjadi pada orang yang menilai kepalsuan yang selaras dengan keyakinan politik mereka. Pada saat inilah polarisasi politik kontrafaktual meningkat.

Yang menarik menurut Effron adalah membayangkan kontrafaktual dapat meningkatkan kecenderungan untuk menilai kepalsuan itu disukai oleh orang-orang. Meskipun mereka tetap menganggapnya kurang etis.

Kita tahu bahwa orang lebih memperhatikan bukti yang mendukung apa yang ingin mereka percayai daripada bukti yang tidak dipercayai. Hal ini disebut sebagai bias konfirmasi.

“Apa yang saya temukan sangat menarik tentang peristiwa yang mungkin benar, yang sebenarnya menurut definisi, itu tidak benar-benar terjadi. Jika orang dapat membenarkan sampai pada kesimpulan moral mereka hanya dengan membayangkan apa yang ingin mereka bayangkan, itu sangat menakutkan," jelas Effron

Ini juga menunjukkan ketika tokoh masyarakat kedapatan mengatakan sesuatu yang salah, pendukung mereka menetapkan standar moral yang cukup rendah. Hal ini dilakukan agar tokoh mereka yang mengatakan kebohongan ‘lolos’. Effron berharap penelitiannya dapat mendorong orang untuk melihat lebih dekat kecenderungan kita untuk memaafkan para pemimpin yang kita sukai.

“Kita harus mewaspadai kemampuan kita untuk membayangkan apa pun yang kita inginkan. Imajinasi adalah kapasitas manusia yang kuat. Hal ini memungkinkan kita untuk melakukan segala macam hal besar seperti menulis novel, menciptakan sesuatu, belajar dari kesalahan kita. Tetapi penelitian ini menunjukkan sisi gelap dari membayangkan bagaimana kepalsuan bisa benar,” kata Effron seperti dikutip London Business School.

"Ini memungkinkan kita untuk menahan orang-orang yang kita kagumi dengan standar moral yang lebih rendah daripada orang-orang yang tidak kita sukai. Itu juga menunjukkan bahwa orang-orang cukup mudah untuk dimanipulasi."

“Pemimpin sering membuat pernyataan yang terbukti salah. Penelitian saya menunjukkan bahwa jika kita mencoba membayangkan bagaimana pernyataan ini bisa benar, kita cenderung memaafkan para pemimpin," tambahnya.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Febriansyah

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Febriansyah
Penulis: Febriansyah
Editor: Yantina Debora