Menuju konten utama

Penelitian Gempa dan Geologi Sudah Ada Sejak Zaman Belanda

Perkembangan geosains di Hindia Belanda berkelindan dengan kepentingan kolonial mengeksplorasi kekayaan mineralnya.

Penelitian Gempa dan Geologi Sudah Ada Sejak Zaman Belanda
Museum Geologi Bandung; 1932. FOTO/Wikicommon

tirto.id - Dalam khazanah geosains global, disebut bahwa Kepulauan Indonesia Jutaan tahun lalu adalah bagian dari Samudra Tethys purba. Itu di masa ketika daratan di bumi masih terdiri dari dua benua raksasa, Laurasia dan Gondwana. Seiring waktu dan pergerakan lempeng benua, kini Kepulauan Indonesia berada di zona pertemuan geosinklin Alpine-Himalaya dan Sirkum-Pasifik. Kepulauan ini diimpit kekuatan besar lempeng Eurasia di utara dan lempeng Australia di selatan.

Singkatnya, secara geologis Indonesia berada di zona geologi yang sangat aktif dan senantiasa membentuk rupa. Karenanya, Indonesia adalah wilayah yang sangat menjanjikan bagi riset-riset terkait dinamika deformasi kerak bumi. Namun, ketertarikan terhadap potensi geosains Kepulauan Indonesia baru mengemuka pada abad ke-19. Meski bukan berarti sebelum itu tak ada informasi atau riset geologis di Nusantara.

Sejak mula masyarakat Nusantara telah punya perhatian pada fenomena alam semacam gempa, tanah longsor, atau gunung meletus dan aliran piroklastik yang menyertainya. Mereka tahu bagaimana memprediksi perilaku alam dan menurunkan wawasan itu ke generasi pelanjut.

Pengetahuan dan penafsiran mereka atas fenomena alam terwariskan melalui folklore dan naskah-naskah kuno. Hanya saja, seringnya pengetahuan itu bercampur baur dengan dongeng dan fantasi. Jadinya, informasi tentang keadaan geologi Kepulauan Nusantara yang faktual sebelum abad ke-16 nisbi terbatas. Informasi geologis yang lebih faktual baru didapat setelah penjelajah Eropa menyambangi Nusantara.

Pionir pengamatan geologis terawal di Kepulauan Nusantara adalah G.E. Rumphius di abad ke-17. Naturalis pegawai VOC ini membuat deskripsi geografis dan mineral yang terkandung dalam perut bumi Maluku. Lebih jauh ia juga menyusun suatu proyek riset jangka panjang untuk menyingkap sejarah alam kepulauan Maluku.

Sayangnya, Rumphius tak punya penerus. Pada abad ke-18 riset geosains di Hindia justru meredup. Naturalis Eropa kebanyakan lebih tertarik pada bidang botani dan zoologi. Riset geosains sebenarnya tetap ada, namun skalanya kecil.

“Observasi itu bersifat lokal dan tidak ada pemetaan skala besar. Diskusi tentang geosains yang umum pun tak ada. Pengecualian untuk ini adalah monografi dan peta geologi Jawa yang luar biasa buatan F. Junghuhn. Itu mengawali dimulainya riset geologis yang serius di Hindia Belanda,” tulis H. Stauffer dalam “The Geology of the Netherlands Indies” yang jadi bagian bunga rampai Science and Scientist in Netherlands Indies (1945: 320).

Belanda Mulai Melirik Mineral

Musabab ilmu botani lebih maju dari geosains pada dasarnya karena kepentingan praktis saja. Sebelum abad ke-19 VOC memang hanya tertarik pada hasil tanaman rempah Hindia. Naiknya minat kolonial pada geosains juga berkelindan dengan kepentingan mereka terhadap kekayaan mineral Hindia.

Selama berabad-abad Belanda membeli emas dari pedagang-pedagang Sumatra. Tetapi, hingga awal abad ke-20 Belanda sama sekali tak tahu soal letak tambang emas di Sumatra. Padahal, kabar tentang Sumatra yang berjuluk pulau emas itu sudah ada sejak Tome Pires berkelana ke Nusantara pada awal abad ke-16.

Dalam Hidup Mati di Negeri Cincin Api (2013), Ahmad Arif bahkan menyebut, “Beberapa penjelajah mencatat, emas di Sumatra banyak dihasilkan dari pedalaman. Emas di Sumatra baru mulai ditambang Belanda sekitar tahun 1900, salah satunya yang tertua adalah di Lebong, Bengkulu, di kaki Bukit Barisan” (hlm. 31).

Minat pemerintah kolonial pada mineral Hindia—dan kemudian geosains—meningkat pada paruh kedua abad ke-19. Tengara awalnya dimulai pada 1816 dengan pembentukan Natuurkundige Commissie atau Komisi Ilmu Alam. Menurut sejarawan Andrew Goss dalam Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan dari Hindia Belanda sampai Orde Baru (2014), lembaga ini didirikan untuk mempelajari sejarah alam Hindia yang sampai saat itu belum banyak diketahui. Namun, pada 1844 komisi ini dibubarkan karena minim hasil.

Pemerintah kolonial lalu membikin lagi sebuah lembaga geosains Natuurkundige Vereeniging (NKV) pada 1850. Ketuanya adalah naturalis Belanda Pieter Bleeker. Lembaga ini bertujuan untuk memajukan riset-riset geosains di Hindia dan memublikasikan hasil-hasilnya untuk masyarakat.

“Persatuan ini segera berusaha membangun kredibilitas keilmuan dengan mengangkat anggota kehormatan yang berkedudukan di Belanda. Pada Oktober 1850, persatuan ini meluncurkan jurnalnya sendiri,” tulis Andrew Goss (hlm. 33).

Sejak itu riset-riset geosains dan publikasinya mengalami kemajuan berarti. Riset-riset itu selain diinisiasi oleh NKV juga disponsori oleh Dienst van de Mijnwezen alias Departemen Pertambangan. Keseriusan Mijnwezen ditunjukkan dengan penerbitan Jaarboek van het Mijnwezen di Nederlandsch Indie (Buku Tahunan Departemen Pertambangan Hindia Belanda) pada 1872 dan diikuti munculnya Tijdschrift van het Koninklijke Nederlandsch Aardrijkskundige Genootschap (Jurnal Masyarakat Geografi Kerajaan) pada 1876.

Perkembangan geosains di tanah koloni kian semarak kala tiga universitas Belanda—yaitu Leiden, Utrecht, dan Groningen—mulai mempelajari geologi tanah koloni pada 1878. Stauffer menyebut bahwa sejak itu minat akademisi Belanda terhadap studi geologi di koloni meningkat. Karenanya, spesimen batuan dan fosil dari Hindia pun menjadi buruan universitas-universitas Belanda (hlm. 320).

Dipicu Letusan Kelud

Perkembangan geosains di Hindia kian pesat pada awal abad ke-20. Mijnwezen aktif mensponsori riset-riset geologi praktis untuk menemukan dan eksplorasi deposit mineral berharga. Sementara itu, eksplorasi dan pemetaan geologi murni menjadi agak terpinggirkan. Meski begitu, sejak 1920 survei geologi murni oleh Mijnwezen telah menghasilkan sejumlah peta geologi regional yang mencakup seluruh kepulauan.

Pada 1919 Gunung Kelud mengalami erupsi. Aliran lahar dinginnya meluap ke lereng barat daya dan merayah Blitar. Beberapa desa hancur diterjang lahar dingin dan 550 orang tewas. Beberapa waktu sebelumnya, aliran lumpur besar dari Gunung Semeru menghancurkan Lumajang. Keasyikan Departemen Pertambangan mengeksplorasi mineral membuat mereka luput pada ancaman besar yang jamak di Hindia: gunung api.

Merespon bencana gunung api itu, Mijnwezen kemudian membentuk satuan Vulkaan Bewakingdienst (VBD) alias Dinas Pengawas Gunung Api pada 1920. Dr. G.L.L. Kemmerling adalah pemimpin pertama dan satu-satunya selama dinas ini eksis. Tahun itu menjadi titik awal gunung api di Hindia Belanda dipelajari secara sistematis. Gunung-gunung yang dianggap punya potensi erupsi destruktif kemudian diawasi seksama.

VBD kemudian melahirkan ahli-ahli gunung api terkemuka di Hindia Belanda. Di antara mereka adalah Dr. Kemmerling sendiri, Neumann van Padang, dan Wing Easton. Studi-studi awal tentang gunung api di Indonesia banyak lahir dari VBD yang bermarkas di Bandung ini.

“VBD mengumpulkan informasi rinci tentang fenomena vulkanologi, menggunakannya sebagai bahan fundamental untuk studi menyeluruh aktivitas gunung berapi. Di antaranya adalah mengamati, mengukur, membandingkan tanda-tanda aktivitas vulkanik, dan mendeteksi siklusnya,” tulis Alexander L. Ter Braake dalam “Volcanology in the Netherlands Indies” yang jadi bagian bunga rampai Science and Scientist in Netherlands Indies (hlm. 26).

Infografik Sejarah lembaga kebumian kolonial

Berlanjut Setelah Merdeka

Sejak awal abad ke-20 hingga 1942 riset lembaga-lembaga geosains dan vulkanologi ini telah meliputi hampir seluruh wilayah Hindia Belanda. Perusahaan-perusahaan minyak dan pertambangan yang beroperasi di Hindia pun tak ketinggalan mempekerjakan ilmuwan untuk mendukung eksplorasi.

Hindia Belanda pun menjadi salah satu destinasi riset geosains dan vulkanologi yang menarik. Bidang-bidang risetnya pun kian spesifik, sehingga data dan dokumentasi itu semestinya bisa digunakan untuk dasar studi geosains Indonesia hari ini.

Stauffer dalam artikelnya menulis, “Upaya bersama oleh pemerintah dan perusahaan minyak dan pertambangan, juga riset ilmiah partikelir, telah mencakup sekitar 80% dari wilayah Hindia Belanda. Banyak dari pekerjaan ini telah dilakukan dengan sangat rinci. 20% area lain yang masih ‘terra incognita’ adalah pedalaman Kalimantan, New Guinea bagian timur, daerah pegunungan di Sulawesi dan beberapa pulau di Maluku” (hlm. 321).

Kegiatan lembaga-lembaga itu terhenti saat Jepang menduduki Indonesia. Usaha pemantauan geologi dan vulkanologi lantas berlanjut kala Indonesia merdeka. Masih mengikuti pola zaman kolonial, tugas itu diserahkan kepada Jawatan Pertambangan. Kini, geosains Indonesia dilanjutkan oleh lembaga-lembaga seperti Badan Geologi, BMKG, dan PVMBG.

Baca juga artikel terkait SEJARAH SAINS atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Ivan Aulia Ahsan