Menuju konten utama

Peneliti Ungkap Penyebab Panel Surya Lokal Lebih Mahal dari Impor

Menurut Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), pemerintah perlu membenahi regulasi terkait pembangkit tenaga surya agar industri panel surya lokal berkembang.

Peneliti Ungkap Penyebab Panel Surya Lokal Lebih Mahal dari Impor
Foto udara instalasi Pembangkit Lisrtik Tenaga Surya, yang dipasang sebagai sumber energi baru terbarukan (EBT), di Rumah Sakit Pertamina Cilacap, Jawa Tengah, Jumat (26/10/2018). ANTARA FOTO/Idhad Zakaria/foc.

tirto.id - Hasil kajian Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menyimpulkan harga panel surya buatan pabrik Indonesia masih sulit bersaing dengan produk impor.

Peneliti IEEFA, Elrika Hamdi mengatakan hal itu terjadi karena industri panel surya di Indonesia umumnya masih berupa perakitan. Komponen penting seperti sel surya masih mengandalkan impor karena belum banyak diproduksi di Indonesia.

Sayangnya, kata Elrika, terdapat kebijakan pemerintah yang membuat biaya impor komponen panel surya lebih mahal ketimbang barang jadi. Akibatnya, harga jual panel surya buatan lokal masih mahal di saat produk impor dari negara-negara Eropa dan Cina dibandrol murah.

“Pabrikan panel surya kita hanya assembly. Mereka masih perlu impor sel surya seperti dari Cina. Jadi waktu impor bahan bakunya, harganya enggak beda jauh [dari yang sudah jadi],” kata Elrika saat memaparkan kajian bertajuk "Indonesia's Solar Policies Designed to Fail?" di Plaza Kuningan, Jakarta pada Rabu (27/2/2019).

Elrika mengatakan persoalan ini menghambat implementasi kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang mengharuskan pengembang listrik swasta (IPP) menggunakan panel surya lokal. Sebab, harga panel surya lokal jauh lebih mahal dibanding produk impor.

Sementara pengembang listrik swasta dibebani oleh ketentuan pemerintah yang mewajibkan harga listrik pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) 85 persen lebih rendah dari Biaya Pokok Produksi (BPP) pembangkit konvensional.

Menurut Elrika, dua ketentuan pemerintah itu memunculkan dilema. Sebab, untuk menjual listrik sesuai ketentuan pemerintah, biaya panel surya harus ditekan dengan menggunakan produk impor. Namun, di satu sisi, kebijakan TKDN juga penting untuk mengembangkan industri panel surya lokal.

“IPP jadi ditekan dari berbagai sisi. Seharusnya salah satu. Kalau mau menguntungkan industri lokal seharusnya tak perlu ada 85 persen lebih rendah dari BPP,” ucap Elrika.

Di tempat yang sama, Managing Director Akuo Energy Indonesia, M. Refi Kunaefi menyarankan pemerintah memberi insentif bagi IPP yang mau menggunakan TKDN.

Dengan begitu, kata dia, harga panel surya lokal yang mahal dapat ditekan dengan meningkatkan serapan pasar dan investasi pada industri tersebut.

Selain itu, dia menambahkan, jika industri panel surya lokal berkembang, komponen yang biasa diimpor dapat diproduksi di dalam negeri.

“Kalau pengguna TKDN dapat insentif, orang bisa pakai dalam negeri. Jadi investasi ke industri panel surya bisa bikin dia makin murah,” ujar Refi.

Baca juga artikel terkait PEMBANGKIT LISTRIK atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Addi M Idhom