Menuju konten utama

Peneliti Nilai 'Serangan Fajar' Terjadi Sebab Caleg Mau Kunci Suara

Praktik politik uang dalam bentuk 'serangan fajar' terjadi karena banyak caleg tidak percaya diri sehingga ingin 'mengunci suara'.

Peneliti Nilai 'Serangan Fajar' Terjadi Sebab Caleg Mau Kunci Suara
Mahasiswa melakukan teatrikal ketika menggelar aksi Lawan Politik Uang di Jalan Urip Sumoharjo Solo, Jawa Tengah, Selasa (26/6/2018). ANTARA FOTO/Maulana Surya

tirto.id - Direktur Riset Charta Politika, Muslimin mengatakan praktik politik uang (money politic) dalam bentuk 'serangan fajar' atau pembagian uang di hari pencoblosan selama ini selalu terjadi di setiap pemilu di Indonesia.

Menurut dia, banyak kandidat, seperti calon legislatif (caleg), melakukan 'serangan fajar' karena tidak percaya diri akan menang sehingga menempuh cara itu untuk 'mengunci suara'.

Pada umumnya, dalih para kandidat menebar uang lewat 'serangan fajar' ialah untuk mengganti ongkos masyarakat yang mendatangi Tempat Pemungutan Suara (TPS) di hari pencoblosan.

"Ini [serangan fajar] model mengunci suara, karena mereka [yang dibagi ada] kecenderungan untuk memilih. Tetapi kalau tanpa ada hubungan emosional sebelumnya, saya kira tidak semudah itu [masyarakat memilih]," kata Muslimin saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (29/3/2019).

Dia menganggap praktik politik uang selama ini dilakukan oleh para caleg dari hampir semua partai politik. Apalagi, jika para caleg itu harus bersaing ketat dengan kandidat dari sesama partai.

"Misalnya di dalam partai, mereka lah yang bertarung di internal. Itu kemudian bagaimana mereka besar-besaran suara di internal partai. Jadi itu yang [juga] membuat money politic terjadi," kata dia.

Oleh karena itu, Muslimin berpendapat politik uang terjadi bukan karena masyarakat tidak cerdas. Hal itu marak terjadi di setiap pemilu karena sikap para caleg dan parpol yang pragmatis.

"Kalau kemudian tidak ada parpol dan caleg membagikan uang saya kira masyarakat tidak akan menuntut," ucapnya.

Seharusnya, kata Muslimin, para caleg dan semua partai politik memberikan pendidikan politik kepada masyarakat bukan malah melakukan hal yang sebaliknya. "Seperti komitmen tidak melanggar hal-hal seperti itu: membagi-bagikan uang," kata dia.

Salah satu bukti masih maraknya praktik politik uang adalah temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat menangkap anggota DPR dari Fraksi Golkar, Bowo Sidik Pangarso.

Bowo ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menerima suap dari PT Humpuss Transportasi Kimia. Suap itu terkait kerja sama Pelayaran untuk distribusi pupuk menggunakan kapal milik PT Humpuss Transportasi Kimia.

Dalam pengusutan kasus ini, KPK juga menyita uang milik Bowo senilai Rp8 miliar yang diduga merupakan hasil penerimaan suap.

KPK menduga duit itu akan dipakai oleh Bowo untuk "serangan fajar" jelang pemilihan legislatif pada 17 April mendatang. Uang Rp8 miliar itu ditemukan berupa pecahan Rp50 ribu dan Rp20 ribu yang dimasukkan dalam 400-an ribu amplop dan ditempatkan dalam 84 kardus.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2019 atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Politik
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Addi M Idhom