Menuju konten utama

Peneliti Asing dan CIA di Indonesia dalam Pusaran Perang Dingin

Keterlibatan peneliti dalam proyek-proyek intelijen AS meningkat selama Perang Dingin. Tujuannya: memerangi komunisme secara global.

Peneliti Asing dan CIA di Indonesia dalam Pusaran Perang Dingin
Dunia penelitian akademik tak sepenuhnya bebas dari politik. tirto/Gery

tirto.id - Anggaran perang yang menipis dan tumbangnya ribuan tentara mendorong Belanda untuk mengirim seorang orientalis bernama Christiaan Snouck Hugronje ke kubu lawan dalam Perang Aceh (1873-1904). Menyamar sebagai Abdul Ghaffar (kemudian akrab disapa Gopur), Snouck tiba di Aceh pada 6 Juli 1891 setelah wafatnya pemimpin gerilya Aceh Teungku Chik di Tiro (1836-1891). Ia tinggal di sana hanya sampai Februari 1892.

Gopur pulang ke rumah Sangkana, seorang perempuan asal Cimahi yang dinikahinya sejak 1890. Ia menuangkan pemikiran dan pengalamannya selama di Aceh ke dalam De Atjehers ("Orang Aceh"), sebuah buku yang kelak jadi sumber informasi bagi pemerintah kolonial Belanda untuk memadamkan perlawanan rakyat Aceh.

Apa yang dilakukan Belanda melalui Gopur bukanlah hal istimewa. Hal serupa dilakukan oleh Amerika Serikat sejak Perang Dunia I, Perang Dunia II, hingga Perang Dingin. Tak sedikit peneliti yang pernah melakukan riset untuk proyek-proyek intelijen CIA, termasuk di Indonesia.

Menurut catatan David H. Price dalam “How The CIA and Pentagon Harnessed Anthropological Research during the Second World War and Cold War with Little Critical Notice” (2011), sebagian peneliti tersebut sadar telah bekerja untuk kebutuhan intelijen AS dan menganggap pekerjaan mereka bagian dari perjuangan melawan Nazi dan komunisme. Sebagian lainnya tak tahu telah dipekerjakan intelijen, mengingat rumitnya jalur pendanaan riset saat itu dan luasnya jejaring CIA di lembaga pendidikan.

Dalam karyanya yang lain, Cold War Anthropology, the CIA, the Pentagon, and the Growth of Dual Use Anthropology (2016), Price mencatat bahwa di awal pembentukan pada 1947, CIA memiliki jejaring profesor di 50 kampus elite AS, termasuk Yale dan Harvard. Mereka bertugas mengarahkan mahasiswa-mahasiswa untuk menggeluti bidang studi dan topik penelitian tertentu yang mewakili kepentingan intelijen AS.

Lembaga intelijen AS yang dibentuk pada era Presiden Truman ini juga memiliki jejaring 5.000 profesor berjulukan “P-Source” (Professor Source). Tugasnya menyusun pembekalan akademik untuk agen-agen CIA sebelum dikirim ke suatu wilayah dan mengerjakan riset sesuai bidangnya masing-masing.

CIA pernah menandatangani kesepakatan rahasia dengan Asosiasi Antropolog AS (AAA) pada 1950. Melalui perjanjian ini, CIA mempunyai akses untuk menyalin data lokasi riset para antropolog AAA berikut ringkasan hasil penelitian mereka.

Ada juga sebuah kelompok profesor bernama Princeton Consultant pada 1951. Empat kali dalam setahun mereka mengadakan pertemuan di Universitas Princeton untuk memberikan masukan kepada CIA. Ketika identitas Princeton Consultant bocor ke publik pada 1970, 27 profesor dari pelbagai bidang studi dan kampus terungkap sebagai anggota. Salah satunya Max Millikan, profesor ekonomi dari Massachusetts Institute of Technologies (MIT).

Pada 1967, Congressional Quarterly menurunkan edisi bertajuk “On CIA Disclosure”. Edisi khusus itu mengungkap sedikitnya 46 yayasan yang digunakan CIA untuk mengucurkan dana riset ke para antropolog dengan metode ‘triple pass’.

Dengan metode ini, CIA mendistribusikan pendanaan kepada yayasan abal-abal bikinannya, yang kemudian disalurkan lagi ke sebuah yayasan resmi. Dari yayasan resmi tersebut, dana kemudian dialirkan lagi ke organisasi-organisasi buatan CIA untuk menjalankan misi-misi khusus.

Antropolog Harvard Samuel Lothrop adalah salah seorang peneliti generasi awal yang terungkap pernah bekerja untuk intelijen AS. Namanya tercatat sebagai agen Angkatan Laut AS pada Perang Dunia I dan agen Special Intelligence Service (SIS) di bawah otoritas FBI selama Perang Dunia II.

Pada 1940, Lothrop aktif dalam operasi intelijen rahasia di Lima, Peru, guna mengawasi pergerakan Blok Fasis Jerman dan sekutunya. Kedoknya: melakukan penelitian arkeologi dengan dana dari Rockefeller Foundation. Saat itu yayasan filantropi tersebut tengah mendanai 20 arkeolog yang meneliti di Peru, Chili, Kolombia, Meksiko, Venezuela, dan kawasan Amerika Tengah.

Dibantu seorang asisten parlemen, Lothrop mencatat langkah-langkah politisi dan anggota parlemen untuk mengetahui arah politik mereka. Informasi ini lantas disampaikan ke FBI.

Pada 1944, Lothrop memutuskan berhenti bekerja untuk FBI. Ia menyangkal tuduhan Kedubes AS di Peru bahwa informannya telah memasok informasi palsu. Seperti yang ditulis Price dalam “Anthropologists as Spies” (2011) Lothrop pun kembali ke pos akademik di Harvad’s Peabody Museum dan Carnegie Institute.

'Proyek Anti-Komunis'

Keterlibatan peneliti dalam kerja-kerja intelijen AS memuncak selama Perang Dingin. Kepentingan AS saat itu adalah membendung penetrasi ideologi komunis dari Uni Soviet dan sekutunya.

Dalam Patriotic Betrayal: The Inside Story of the CIA’s Secret Campaign to Enroll American Students in the Crusade Against Communism (2015), Karen M. Paget mengisahkan keterlibatan James C. Scott dalam proyek intelijen pada masa Perang Dingin. Profesor ilmu politik dan antropologi Universitas Yale ini rupanya pernah terjun dalam aktivitas-aktivitas National Student Association (NSA), sebuah organisasi pelajar di AS yang bekerja sama dengan CIA untuk membendung pengaruh komunis antara 1950-1967.

Keterlibatan Scott dalam operasi NSA dimulai pada 1959, selaku mahasiswa Williams College yang menerima beasiswa dari Rotary Foundation. Ia direkrut Harry Lunn, salah seorang petinggi NSA, untuk menggarap riset kecil-kecilan di Myanmar.

Paget tak merinci penelitian apa saja yang dikerjakan Scott untuk Lunn. Ia hanya menyebutkan bahwa setelah beasiswanya habis, Scott sempat bekerja untuk terbitan NSA di Paris.

Menariknya, puluhan tahun kemudian, nama Scott masyhur dengan studi-studi agraria tentang perlawanan petani di Asia Tenggara, di antaranya Weapons of the Weak (1987) dan Domination and the Arts of Resistance (1990). Di luar dinding-dinding akademik, karya-karya Scott masuk dalam bacaan wajib aktivis gerakan sosial hingga hari ini. Ia pun jadi petani dan sarjana anarkis.

Infografik HL Indepth Peneliti Asing

'Proyek Modjokuto': 1952-1959

AS juga pernah mengirim peneliti dalam misi yang sama ke Indonesia. Yang paling terkenal adalah Proyek Modjokuto (1952-1959), yang diselenggarakan oleh Centre for International Studies (CENIS), sebuah lembaga yang didirikan di MIT pada 1952, dengan pendanaan dari CIA dan Ford Foundation. Mengambil sampel penelitian di wilayah Pare, Jawa Timur, proyek ini bertujuan untuk mempelajari respons budaya tradisional Indonesia dalam menghadapi pengaruh modernisasi, situasi pasca-kemerdekaan, dan topik-topik lain.

Tiga anggota CENIS tercatat sebagai inisiator, yakni Douglas Oliver, antropolog Clyde Kluckhohn, dan ekonom Max Millikan. Oliver sempat bekerja untuk Kementerian Luar Negeri AS sebagai asisten khusus untuk hubungan Timur Jauh, Millikan pernah menjabat asisten direktur CIA, dan Kluckhohn adalah mantan pegawai sebuah jawatan informasi perang AS dalam Perang Dunia I.

Clifford Geertz adalah salah seorang antropolog yang terlibat dalam Proyek Modjokuto. Dari proyek inilah lahir tiga karyanya yang paling berpengaruh: Agama Jawa: Santri, Abangan, Priyayi (1960); Penjaja dan Raja (1963); termasuk disertasinya Agricultural Involution (1963).

Dalam Agricultural Involution, Geertz berargumen bahwa kemiskinan di Jawa disebabkan oleh budaya setempat yang cenderung komunal dan suka berbagi. Bagi Geertz, intervensi kebudayaan dan ekonomi dari luar Jawa dibutuhkan untuk mengentaskan kemiskinan.

Price menilai solusi Geertz kental dengan logika teori modernisasi dua ekonom CENIS: W.W Rostow dan Millikan bahwa mandeknya perekonomian di Jawa hanya bisa diselesaikan lewat intervensi pemerintah negara-negara Barat.

Dalam Penjaja dan Raja, Geertz menyatakan pemerintah Indonesia pasca-kemerdekaan gagal mendorong kemandirian pengusaha bumiputera. Upaya nasionalisasi bisnis-bisnis asing secara besar-besaran ditengarai sebagai penyebab utamanya. Menurut Geertz, kebijakan pemerintah lebih dipengaruhi oleh élan revolusi dan nasionalisme, ketimbang hitung-hitungan ekonomi yang matang.

Dalam pandangan Geertz, pengusaha-pengusaha Indonesia selalu muncul dari golongan sosial yang punya riwayat hubungan dengan dunia luar. Karena itu, bagi sang antropolog, solusi terbaik bagi pengembangan pengusaha bumiputera adalah membuka diri pada dunia luar, tak terkecuali investasi asing.

Seperti diutarakan Price dalam Cold War Anthropology, solusi ekonomi Geertz dirancang mengikuti kerangka besar program suntikan dana AS ke negara-negara dunia ketiga. Program ini disusun Rostow dan Millikan melalui sebuah proposal berjudul A Proposal: Key to an Effective Foreign Policy (1957).

Namun, dalam wawancara dengan Price pada 1995, Geertz membantah risetnya dikerjakan di bawah pengaruh teori Rostow, yang membagi sektor ekonomi masyarakat menjadi tradisional dan kapitalis modern. Rostow menyatakan kemajuan ekonomi akan terjadi bila masyarakat beralih ke kapitalisme modern.

Sebaliknya, Geertz mengatakan pemikirannya terpengaruh oleh Talcott Parsons, pembimbing disertasinya di Harvard dan sosiolog penggagas teori fungsionalisme yang meyakini perkembangan masyarakat berkaitan erat dengan empat unsur subsistem: budaya, hukum, pemerintahan, dan ekonomi.

Geertz juga berkata sama sekali tak kenal Rostow dan Millikan sebelum Modjokuto. Ia berkata tak tahu-menahu kegiatan Millikan di luar CENIS seperti yang disebutkan Price, termasuk upaya pendanaan riset dari Ford Foundation yang diupayakan Millikan.

Terkait keterlibatannya di CENIS, Geertz bilang terdorong oleh mimpi mendirikan pusat penelitian sekelas Russian Research Centre, sebuah lembaga riset tentang Rusia di Harvard yang menerbitkan jurnal secara berkala.

Karena itu Geertz tak mempermasalahkan kedekatan Millikan dan Oliver dengan CIA. Menurutnya, sah-sah saja jika sebuah lembaga riset seperti CENIS memiliki anggota dari beragam latar belakang.

Bagi Geertz, Indonesia punya posisi penting di kancah politik dunia sebagai salah satu negara bekas jajahan pertama yang merdeka setelah Perang Dunia II dan mengalami pesatnya perkembangan gerakan komunis pada 1950-an—terlebih di bawah kepemimpinan Sukarno yang memiliki pengaruh luas di belahan Dunia Ketiga.

“(Bahwa Modjokuto terhubung dengan proyek intelijen)... itu sama sekali tak terduga, karena tidak ada seorang pun menyuruh kami mengumpulkan informasi untuk kepentingan pemerintah,” ujar Geertz kepada Price.

'Misi Intelijen' tentang Situasi Politik Indonesia Pasca-Kemerdekaan

Sebelum Geertz, ada dua antropolog AS yang menjalankan misi intelijen untuk menggali informasi seputar kehidupan politik di Indonesia.

Pada 1949, Raymond Kennedy, etnografer dari Yale University, berangkat ke Indonesia dengan dana sebesar 3.000 dolar AS dari Viking Fund. Ia berencana meneliti pengaruh Islam, Kristen, dan agama lokal, serta kondisi politik Indonesia setelah merdeka di tiga perdesaan.

Tak semujur Greetz, ia gagal merampungkan risetnya. Pada 2 April 1950, Kennedy dan koresponden majalah Time-Life Robert Doyle ditemukan terbunuh di Bandung saat hendak menemui Paul M. Kattenburg.

Kattenburg adalah teman Kennedy. Keduanya penerima beasiswa dari Office of Strategic Studies (OSS)—cikal bakal CIA, pada masa Perang Dunia II—yang dikirim untuk riset di Asia Tenggara. Baik Kennedy dan Kattenburg pernah bekerja sama dalam studi akademik tentang perkembangan politik Indonesia.

Pembunuh Kennedy dan Doyle tak jelas jejaknya. Indonesianis George McTurnan Kahin dan Clifford Geertz menduga keduanya dibunuh oleh anak buah Raymond Pierre Paul Westerling, mungkin juga oleh pasukan Darul Islam.

“The Unreported War in Indonesia” (1952), laporan investigasi Alexander Marshack atas kematian Kennedy dan Doyle, menyebutkan kedua warga negara AS itu adalah korban pembunuhan politik pemerintah Belanda. Pasalnya, Kennedy diduga telah menulis artikel yang mengusik aktivitas Belanda di Indonesia.

Pada 1953, Human Relations Area Files (HRAF) menerbitkan catatan Kennedy selama penelitian dalam buku bertajuk Fields Notes on Indonesia: South Celebes, 1949-1950. Buku ini merekam wawancara Kennedy dengan sejumlah penduduk di Indonesia dan memuat pelbagai informasi mengenai struktur sosial, adat, seksualitas, ritual kematian, aktivitas pertanian, dan situasi politik setempat.

Setelah Kennedy, pada 1950 Viking Fund kembali membiayai riset Lloyd. S Millegan di Indonesia. Anehnya, alih-alih mencantumkan afiliasi kampus dalam lamaran beasiswa, Millegan justru merinci sejumlah pengalamannya bekerja untuk CIA.

Millegan juga pernah bekerja di OSS untuk Joseph Ralston Hayden, penasihat Douglas MacArthur, seorang jenderal bintang lima yang jadi hero AS dalam Perang Pasifik.

Aplikasi yang dikirim Millegan ke Viking Fund mencantumkan kebutuhan dana sebesar 3000 dollar AS untuk survei pendirian cabang toko buku Pacific Book and Supply di Indonesia, Myanmar, Malaysia, dan Thailand.

Pacific Book and Supply semula didirikan Millegan pada 1946 di Wilmington, Delaware, sebagai lini bisnis Pacific Book and Publisher, inc. Cabangnya di Jakarta berdiri pada 1951 dengan Millegan sebagai presiden direktur; Cass Canfield, Harold H. Stern, dan Edgar Allan Pichard sebagai direktur operasional; dan Alvin Graurer sebagai manajer operasional.

Semua petinggi Pacific Book and Supply ini tercatat pernah bekerja untuk OSS selama Perang Dunia II. Cass Canfield bahkan sempat duduk di pucuk pimpinan penerbit Harper and Row dan mendirikan jurnal legendaris Foreign Affairs.

Belakangan, putra Millegan, Kris Millegan, mengatakan toko buku tersebut menjadi kantor CIA di Indonesia guna mengumpulkan data-data terkait dinamika perubahan sikap politik masyarakat dan informasi lain yang berhubungan dengan penyebaran komunisme.

Baca juga artikel terkait CIA atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Humaniora
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Windu Jusuf