Menuju konten utama

Penegakan Hukum: Persepsi Publik Vs Kenyataan

Survei CSIS menunjukkan persepsi publik terkait kinerja pemerintah di bidang hukum mengalami kenaikan menjadi 62,1 persen. Namun, hasil survei ini tidak berbanding lurus dengan dukungan pemerintah terkait anggaran penegakan hukum di APBN, serta upaya pemerintah merevisi PP Nomor 99/2012 yang mengundang pro dan kontra karena dinilai akan membuat koruptor mudah mendapatkan remisi.

Penegakan Hukum: Persepsi Publik Vs Kenyataan
Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla (kanan). Antara Foto/Puspa Perwitasari.

tirto.id - Center for Strategic and International Studies (CSIS), lembaga riset yang berkantor di Jakarta merilis hasil survei nasional terbaru, Selasa (13/9/2016). Survei yang bertajuk “2 Tahun Jokowi: Optimisme Publik, Konsolidasi Kekuasaan dan Dinamika Elektoral” menunjukkan, tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengalami kenaikan dari 50,6 persen pada Oktober 2015 menjadi 66,5 persen pada Agustus 2016.

Hasil survei yang melibatkan 1.000 responden dan tersebar secara proporsional di 34 provinsi di Indonesia ini menunjukkan, secara rata-rata publik cukup puas terhadap kinerja pemerintah. Peningkatan sebesar 15,9 persen yang terbilang cukup signifikan ini dipengaruhi tingginya optimisme publik terhadap kemampuan pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla dalam membawa perubahan untuk masyarakat.

Kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah tercermin dalam beberapa bidang utama, seperti ekonomi, hukum, politik, maritim. Keempat sektor ini mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Misalnya, pada Oktober 2015 tingkat kepuasan publik di bidang hukum hanya 51,1 persen, naik menjadi 62,1 persen pada Agustus 2016. Begitu juga di bidang politik, pada Oktober 2015 hanya 40,0 persen, naik menjadi 53,0 persen pada Agustus 2016. Di bidang maritim juga mengalami peningkatan, dari 59,4 persen pada Oktober 2015, naik menjadi 63,9 persen pada Agustus 2016.

Sementara di sektor ekonomi, meskipun nilainya mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya, yaitu dari 30 persen pada Oktober 2015 menjadi 48,8 persen pada 2016, namun tingkat kepuasan publik belum menyentuh angka 50 persen. Menurut survei CSIS ini, tantangan yang dihadapi ke depan adalah masih lemahnya keyakinan publik terhadap kemampuan pemerintah menaikkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6 – 7 persen, serta menumbuhkan iklim investasi. Padahal, selama ini pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla cukup fokus di bidang ekonomi ini.

Lalu, bagaimana dengan keyakinan publik terhadap program pemerintah dalam bidang hukum, mengingat selama ini banyak pihak yang menilai pemerintah Jokowi menganaktirikan penegakan hukum?

Secara umum, hasil survei nasional CSIS ini menunjukkan, kepuasan publik di bidang hukum mengalami kenaikan sekitar 11 persen pada Agustus 2016. Kalau ditarik lebih spesifik terhadap program pemerintah dalam bidang hukum, keyakinan publik juga menunjukkan data positif. Misalnya pada Oktober 2015, kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah dalam komitmen memperkuat KPK hanya 62,6 persen, naik menjadi 74,6 persen pada Agustus 2016.

Begitu juga persepsi publik terhadap komitmen pemerintah mendorong reformasi di institusi Kepolisian, pada Oktober 2015 hanya 61,3 persen, naik menjadi 65,0 persen pada Agustus 2016. Hal yang sama juga terlihat dalam konteks komitmen pemerintah dalam memberantas mafia peradilan, persentasenya pada Oktober 2015 adalah 52,0 persen, naik menjadi 62,4 persen pada Agustus 2016.

Persepsi Publik Vs Kenyataan di Lapangan

Namun, hasil survei CSIS di atas tidak berbanding lurus dengan dukungan pemerintah terkait anggaran penegakan hukum di APBN. Kalau mengacu pada institusi yang berperan vital dalam penegakan hukum, khususnya kasus korupsi selama ini, maka ada empat instansi yang bisa dijadikan contoh, yaitu Mahkamah Agung (MA), Kejaksaan Agung, Kepolisian Republik Indonesia (Polri), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Mengacu pada Nota Keuangan Rancangan APBN 2017, anggaran untuk keempat lembaga di atas mengalami penyusutan. Misalnya, KPK hanya mendapatkan alokasi dana sekitar Rp766,8 miliar, padahal pada APBN-P 2016, KPK dibujet Rp991 miliar. Anggaran tersebut juga lebih kecil jika dibandingkan dengan anggaran dalam APBN 2016 yang mencapai Rp1,06 triliun.

Pemotongan anggaran juga dialami Kejaksaan Agung. Pada RAPBN 2017, Kejagung mendapat bujet Rp4,28 triliun, padahal pada APBN-P 2016 mendapatkan anggaran sebesar Rp4,99 triliun. Hal yang sama juga dialami MA yang mendapatkan anggaran Rp8,54 triliun dalam RAPBN 2017.

Dari empat institusi penegak hukum di atas, hanya Polri yang relatif mendapat anggaran besar, yaitu Rp72,43 triliun. Kalau dibandingkan dengan anggaran kementerian atau lembaga tinggi negara lainnya, anggaran Polri pada tahun 2017 menempati urutan ketiga, di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) serta Kementerian Pertahanan.

Selain soal dukungan anggaran ini, selama ini pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla dinilai lebih fokus pada sektor ekonomi ketimbang penegakan hukum, bahkan tak sedikit yang beranggapan kalau Presiden Jokowi menganaktirikan penegakan hukum itu sendiri.

Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Saldi Isra dalam opini yang dimuat Harian Kompas, 22 Juli lalu menyebutkan, banyak pihak berharap duet Jokowi-Jusuf Kalla mampu untuk melakukan lompatan besar penegakan hukum, misalnya, dalam menjawab soal kepastian hukum yang masih menjadi persoalan.

Menurut Saldi, salah satu masalah besar selama ini adalah soal substansi hukum dan penegak hukum yang sering ”bertindak liar” dalam penegakan hukum. Potret buram penegak hukum terjadi dari hulu hingga hilir: dari penyelidikan, penyidikan, persidangan, dan segala macam penyimpangan di rumah tahanan negara. Namun, sampai pertengahan 2016, pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla terbukti lebih memberikan perhatian pada bidang ekonomi dibandingkan persoalan hukum.

Sebagai contoh, hingga Juli tahun ini, pemerintah telah menerbitkan tak kurang dari selusin paket kebijakan di bidang ekonomi. Sementara, sentuhan pemerintah di bidang hukum nyaris tidak ada. Kalaupun ada, upaya tersebut lebih banyak untuk memperlancar pencapaian paket bidang ekonomi.

Selain itu, hasil monitoring peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada Januari-Juni 2016 dapat menjadi pembanding hasil survei nasional CSIS, khususnya dalam konteks penegakan hukum ini. Pada periode ini, ICW telah melakukan monitoring terhadap 325 perkara korupsi dengan 384 terdakwa yang telah diperiksa dan diputus oleh pengadilan, baik di tingkat pertama, banding, kasasi, maupun Peninjauan Kembali (PK).

Dari 325 perkara korupsi yang berhasil terpantau, nilai kerugian negara yang timbul adalah Rp1,4 triliun dan 19.770.392 dolar Amerika. Data tersebut juga menunjukkan bahwa dari 325 perkara korupsi, sebanyak 319 terdakwa dinyatakan bersalah dan terbukti korupsi, 46 terdakwa divonis bebas atau lepas oleh pengadilan, sedangkan 19 terdakwa tidak dapat diidentifikasi. Persoalannya, rata-rata vonis untuk koruptor hanya 25 bulan atau 2 tahun 1 bulan penjara.

Kalau dibandingkan dengan periode yang sama, maka tren vonis ringan tersebut tiap tahun selalu meningkat. Misalnya pada Januari-Juni 2016, para koruptor yang divonis ringan berjumlah 275 orang, meningkat dari tahun 2015 yang berjumlah 163 orang.

Belum lagi kalau survei CSIS terkait kepuasan publik terhadap penegakan hukum di era Presiden Jokowi ini kita bandingkan dengan upaya pemerintah untuk merevisi PP Nomor 99/2012. Keinginan revisi PP Nomor 99/2012 ini mengundang pro dan kontra di masyarakat karena dinilai akan membuat para koruptor dengan mudahnya mendapatkan remisi.

Artinya, walaupun dalam survei CSIS persepsi publik tentang penegakan hukum dan program pemerintah untuk mendorong reformasi di institusi Polri, serta komitmen pemerintah dalam memberantas mafia peradilan mendapat penilaian baik, namun kenyataan di lapangan masih jauh dari yang diharapkan.

Namun, setidaknya survei kepuasan publik terhadap penegakan hukum ini dapat menjadi pemicu rencana pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla untuk penerbitan paket kebijakan reformasi hukum dalam waktu dekat ini. Pemerintah melalui Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi, Johan Budi mengatakan pemerintah sedang menyiapkan paket reformasi bidang hukum, yang antara lain ditujukan untuk memperkuat penanganan kasus korupsi. Paket tersebut saat ini sedang dalam penyelesaian pada tingkat kementerian dan lembaga negara.

Baca juga artikel terkait PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Hukum
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti