Menuju konten utama

Pendidikan Partisipatif dan Memerdekakan Harus Didukung

Pemerintah melibatkan organisasi masyarakat dan para guru untuk menciptakan budaya pembelajaran partisipatif.

Pendidikan Partisipatif dan Memerdekakan Harus Didukung
Seorang siswa SD dengan masker di wajahnya berjalan meninggalkan sekolah usai melakukan pendaftaran ulang pada hari pertama sekolah di Jayapura, Papua, Senin (13/7/2020). ANTARA FOTO/Gusti Tanati/wsj.

tirto.id - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim terus menjadi sorotan. Sebagai sosok yang anti kemapanan, Nadiem punya beberapa istilah dan program di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) yang bercorak perubahan: Kampus Merdeka, Merdeka Belajar, Dosen Penggerak, Mahasiswa Penggerak, Program Guru Penggerak (PGP), dan Program Organisasi Penggerak (POP).

“Tidak ada perubahan dan inovasi tanpa ambil risiko. Kemajuan itu namanya mencoba hal baru. Ada ketidaknyaman, keluar dari zona nyaman, beberapa ada yang berhasil dan ada yang tidak. Kita belum cukup melakukan eksplorasi,” kata Nadiem, dalam Webinar Nasional bertema “Recovery Pembangunan Nasional Pasca Pandemi melalui Konsep Pentahelix” yang diselenggarakan oleh Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Selasa (4/8/2020).

PGP dan POP dinilai menjadi bagian dari inisiasi untuk menciptakan pendidikan yang selaras dan sesuai kebutuhan lingkungan dengan banyak ragam model yang ditawarkan kepada anak.

“Program ini dilandasi semangat holobis hontul baris. Gotong royong yang menempatkan pendidikan sebagai gerakan kebudayaan,” kata Susilo Adinegoro, Koordinator Jaringan Pendidikan Alternatif.

Jaringan Pendidikan Alternatif adalah sebuah organisasi cair berisi para individu, komunitas, dan penyelenggara pendidikan alternatif. Mereka menyerukan pemerintah dan masyarakat harus mendorong model pendidikan partisipatif dan memerdekakan anak seperti yang dicanangkan Mas Menteri, sapaan akrab Nadiem.

Menurut Susilo, konsep Merdeka Belajar yang digagas Ki Hadjar Dewantara sangat kontekstual dan perlu dijalankan pemerintah. Dalam konsep itu, tujuan utama pendidikan adalah memerdekakan semua yang terlibat.

Susilo menjelaskan, setidaknya terdapat tiga tujuan PGP dan POP yang seharusnya membuat masyarakat mendukung Kemdikbud. Pertama, program ini membuka ruang masyarakat terlibat dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sehingga tercipta budaya pembelajaran partisipatif. Kedua, program ini memacu para guru menjadi makhluk pembelajar dan bertumbuh bersama. Ketiga, program ini juga bisa memberikan perspektif baru tentang pendidikan.

Semua tujuan di atas bisa dicapai dengan syarat semua pihak yang terlibat berorientasi pada kepentingan terbaik siswa sebagai subjek, bukan objek pendidikan. Jika pendidikan bisa memerdekakan para siswa, mereka bakal tumbuh menjadi manusia kritis, kreatif, mandiri, serta bertanggung jawab.

Selanjutnya, untuk mencapai tujuan di atas dan dapat terus berkelanjutan, para penggerak juga harus mau berubah dan terus belajar. Biar bagaimanapun, masyarakat pasti belum terbiasa dengan perubahan yang bertubi-tubi. Cara-cara berpikir lama akan digantikan budaya baru. Para penggerak tak boleh resisten terhadap itu semua.

Di antara sederet gebrakan baru Kemdikbud, PGP dan POP adalah dua program terakhir. Pemerintah melibatkan organisasi masyarakat dan para guru—melalui serangkaian seleksi ketat—dalam kedua program ini.

Direktur Indonesia Mengajar, Ayu Apriyanti, menilai keberagaman organisasi penggerak menjadi bukti pemerintah mengedepankan gotong royong dalam memajukan pendidikan nasional. “Sejak awal ini bukan tentang Organisasi Penggerak, melainkan tentang anak-anak Indonesia. Kami berharap pendidikan anak Indonesia bisa selalu jadi tujuan akhirnya,” kata Ayu.

Meski memiliki cara dan tujuan mulia, PGP dan POP tetap menuai perdebatan setelah pemerintah mengumumkan pemenangnya. Tiga ormas besar, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), dan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), mengundurkan diri dari POP. Mundurnya tiga ormas besar itu disinyalir karena seleksi pemilihan yang dinilai tidak jelas.

Nadiem pun menyampaikan permohonan maafnya. “Dengan penuh rendah hati, saya memohon maaf atas segala ketidaknyamanan yang timbul dan berharap agar ketiga organisasi besar ini bersedia terus memberikan bimbingan dalam proses pelaksanaan program, yang kami sadari betul masih jauh dari sempurna,” kata Nadiem, Selasa (28/7).

Namun meski Nadiem telah menyatakan permohonan maaf, ormas-ormas tersebut masih bersikukuh untuk tidak bergabung dalam program ini. Lewat pernyataan di atas, Mas Menteri juga telah menunjukkan sikap terbuka, hal yang krusial bagi seorang pejabat negara.

Terlepas dari benar salahnya kebijakan yang menuai kontroversi itu, Nadiem telah berusaha untuk menurunkan ketegangan publik. Sebagai representasi generasi muda, sosok Nadiem memang menjadi harapan baru bagi perubahan. Di tengah masyarakat yang cepat kagum sekaligus cepat tersulut emosinya, tidak heran kemudian Nadiem dan Kemdikbud terus menjadi buah bibir.

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis