Menuju konten utama

Pendatang Baru Jakarta dan Lambatnya Pembangunan Desa

Pembangunan di desa kurang ekspansif meski dana yang digelontorkan cukup besar. Akibatnya, masih banyak warga desa terus pergi dan mencari pekerjaan ke kota-kota besar.

Pendatang Baru Jakarta dan Lambatnya Pembangunan Desa
Ilustrasi. Penumpang kereta api Tawang Jaya Lebaran tiba di Stasiun Pasar Senen, Jakarta, Sabtu (8/6/2019). ANTARA FOTO/Reno Esnir.

tirto.id - Jakarta bakal kembali dibanjiri pendatang baru pada arus balik lebaran tahun ini. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memprediksi jumlah pendatang yang akan masuk ibu kota mencapai 71 ribu jiwa.

Angka itu ditaksir berdasarkan jumlah pendatang baru yang masuk dalam daftar tiga tahun terakhir. Jumlah pendatang yang tercatat di dinas dukcapil DKI pada 2016 sebanyak 68.763 jiwa. Jumlah itu bertambah dua tahun setelahnya menjadi 70.752 jiwa pada 2017 dan 69.479 jiwa pada 2018.

Meski demikian, mantan rektor Universitas Paramadina itu tak terlalu ambil pusing soal kepadatan penduduk yang bakal meningkat di Jakarta. Ia bilang, tak akan ada operasi yustisi melainkan hanya kewajiban lapor RT/RW setempat.

Seiring dengan bertambahnya penduduk, kata Anies, "harapannya jumlah tenaga kerja yang tersedia di Jakarta juga semakin banyak". Dengan kata lain, ia menginginkan warga baru di DKI datang dengan skill yang dibutuhkan, bukan tanpa kemampuan.

Respons demikian sebenarnya wajar belaka. Lagi pula, menurut pengamat ketenagakerjaan Payaman Simanjuntak, jumlah pendatang baru di Jakarta sudah menyusut cukup besar ketimbang awal tahun 2000-an.

Pada periode tersebut, Payman mengatakan jumlah penduduk yang berpindah dari daerah ke ibu kota bisa mencapai 200 ribu jiwa. Artinya, dalam kurun 5 tahun, ada pertambahan 1 juta jiwa di Jakarta.

Meski demikian,menurut dia, pertambahan penduduk itu tetap perlu diwaspadai oleh Pemprov DKI lantaran dapat menciptakan perkampungan-perkampungan padat baru dan juga kumuh. Payman menilai Anies tak bisa terus-menerus mengandalkan dalih pertumbuhan ekonomi Jakarta --yang selalu berada di atas rata-rata nasional-- dan menutup mata dari dampak negatif arus urbanisasi.

Apalagi, menurut dia, hampir sebagian besar pendatang baru non-keahlian mengharapkan pekerjaan di sektor-sektor informal, mulai dari asisten rumah tangga (ART) hingga kuli bangunan. Hal ini bisa diprediksi dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat tingginya pertumbuhan PDB dari lapangan usaha "Jasa Lainnya" pada triwulan I tahun 2019 [PDF].

Pembangunan Desa

Di sisi yang bersamaan, laju pertumbuhan lapangan usaha pertanian, kehutanan dan perikanan di daerah terus melambat. Triwulan I lalu, berdasarkan catatan BPS, pertumbuhan lapangan usaha sektor tersebut hanya sebesar 1,81 persen. Angka ini lebih rendah dibandingkan triwulan IV/2018 yang bisa tumbuh 3,87 persen, dan triwulan I/2018 yang tumbuh 3,34 persen.

Data tersebut menunjukkan lapangan usaha pertanian, kehutanan dan perikanan tak lagi mampu menyerap tenaga kerja pedesaan yang jumlahnya terus bertambah. Padahal, pada triwulan I 2017, pertumbuhan lapangan usaha sektor ini masih cukup tinggi yakni 7,11 persen.

"Ini bisa dinilai sebagai kesalahan pemerintah pusat dan daerah. Harusnya ada inisiatif dari mereka, untuk berkoordinasi menciptakan solusi agar pembangunan tak terpusat di kota-kota besar, dan daerah tetap dibangun sebagai penyuplai kebutuhan kota," ujar Payaman saat dihubungi Tirto, Selasa (11/6/2019).

Dalam kesempatan yang berbeda, Rektor Institut Pertanian Bogor, Arif Satria menilai bahwa program pemerintah dalam menangani urbanisasi belum optimal meski menunjukkan perbaikan. Selama ini, kata dia, keluhan urbanisasi terus bermunculan, tapi ironisnya pembangunan di desa kurang ekspansif meski dana yang digelontorkan cukup besar.

Akibatnya, masih banyak warga desa terus pergi dan mencari pekerjaan ke kota-kota karena proyek pembangunan yang lebih banyak. "Desain dana desa sebenarnya mengarah ke pembangunan desa, tapi karena masih kurang jadi perlu kita dorong terus," ucapnya kepada reporter Tirto.

Menurut Arif, urbanisasi di era modern sebenarnya fenomena yang wajar dan terjadi di mana-mana. Sayangnya, di Indonesia urbanisasi bukan perpindahan penduduk yang mendorong pertumbuhan sektor formal atau industri.

Seperti dijelaskan oleh data BPS di atas, menurut Arif sektor formal belum mampu menyerap tenaga kerja sehingga muncul sektor informal. Ia menilai hal ini merupakan masalah lanjutan dari ketidakseimbangan transformasi struktural, yakni ketidakseimbangan antara struktur ekonomi dan struktur tenaga kerja.

"Pangsa pertanian terhadap PDB menurun lebih cepat daripada pangsa tenaga kerja. Namun, ketika pertumbuhan pertanian di desa menurun maka orang desa yang kurang memiliki keahlian berbondong-bondong ke kota," jelas Arif.

Kendati demikian, Arif mengatakan sektor informal tetap penting karena menyelamatkan jutaan penduduk dari pengangguran. Namun, menurut dia, yang perlu dipikirkan lebih jauh adalah membuat desa kembali memiliki daya tarik.

Menurut pengajar di Fakultas Ekologi Manusia itu, kebijakan mencegah urbanisasi dengan menggalakkan pembangunan dan kegiatan ekonomi di desa mendesak untuk dilakukan. Namun, ia menilai minimnya infrastruktur dari prasarana jalan, listrik, air dan fasilitas umum lainnya menjadi problem dalam mengembangkan potensi dan ekonomi desa.

Arif menambahkan, setiap desa punya potensi lapangan pekerjaan yang berbeda-beda. Kondisi sumber daya alam dan kemampuan sumber daya manusia yang tak sama di setiap desa membuat pendekatan serta nilai dana yang diperlukan pun berbeda-beda.

Atas dasar itu, Arief menekankan bahwa pemerintah perlu menganalisis lebih mendalam untuk menggali dan menetapkan suatu produk unggulan di setiap desa.

"Yang tak kalah penting, adalah adanya kebijakan yang sinkron antara pusat dan daerah terkait dengan pembangunan perdesaan," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait PENDATANG JAKARTA atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Gilang Ramadhan