Menuju konten utama
19 Juni 1945

Pendaratan Sekutu dan Perlawanan Sengit Jepang di Tarakan

Tak seperti dugaan Sekutu, Jepang melakukan perlawanan sengit di Tarakan meski mereka kalah jumlah.

Pendaratan Sekutu dan Perlawanan Sengit Jepang di Tarakan
Ilustrasi Mozaik Perebutan Tarakan. tirto.id/Sabit

tirto.id - Sebelum bulan Maret 1945, Tanjung Redeb yang terletak di seberang Tarakan menjadi sasaran pesawat pembom Sekutu. Selama tiga hari, daerah itu dibombardir hingga hancur lebur. Serangan itu dilakukan sebelum tentara Sekutu mendarat di Kalimantan Utara dalam Operasi Oboe I.

Mereka menyangka tentara Jepang terkonsentrasi di Tanjung Redeb, padahal menurut Agus Suprapto dalam Perang Berebut Minyak (1996:178), di sana adalah tempat berkumpulnya 20 ribu pekerja tambang batu bara asal Jepang, Korea, dan Indonesia, yang di antaranya diungsikan ke Balikpapan. Balatentara Jepang justru terpusat di Tarakan.

Pulau kaya minyak itu dipertahankan oleh 2.300 serdadu Jepang yang dipimpin Mayor Tadai Tokoi. Pasukan ini adalah campuran dari Angkatan Darat dan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang yang kerap tak akur.

Sejak April 1945, tentara Sekutu sudah bersiap untuk merebut Tarakan. Dari pangkalannya di Morotai, lebih dari 10 ribu personel diberangkatkan. Bagian terbesar dari para pendarat itu berasal dari Divisi ke-7 tentara Australia dan Brigade ke-26 Amerika Serikat. Dari pihak Belanda ada sumbangan satu kompi KNIL yang isinya orang-orang Indonesia.

Sebelum pasukan pendarat turun dari kapal dan menuju pantai, Sekutu melancarkan tembakan-tembakan artileri ke arah Tarakan sejak 27 April 1945. Tentara Jepang tidak kaget dengan kedatangan Sekutu. Mereka sudah menduga bahwa Tarakan akan menjadi medan pertempuran. Pantai Lingkas akan dijadikan titik pendaratan tentara Australia. Untuk memuluskan rencana itu, kompi 2/13 yang memiliki sapper (serdadu perintis zeni), pada 29 April ditugaskan merusak rintangan agar pasukan mudah bergerak masuk.

“Mereka harus menyingkirkan penghalang pantai dan bawah air; mereka harus menarik peralatan yang macet karena kondisi pantai yang buruk,” tulis penyusun buku Engineers of the Southwest Pacific, 1941-1945 (1947:290).

Waktu alas pendaratan tenggelam ke dalam lumpur, para teknisi tentara itu menggunakan kayu-kayu yang masih bulat maupun yang sudah digergaji—yang teronggok di pantai sebelum mereka datang--untuk membuat jalur majunya pasukan di belakang mereka.

Ketika perintis zeni itu bekerja, tembakan kepada tentara Jepang tak henti menyalak. Bisa saja peluru kawan mengenai mereka. Sementara itu, dengan segala keterbatasan logistik dan amunisi, tentara Jepang memilih bersabar di dalam perlindungan.

Dan penyerbuan ke Tarakan pun dimulai pada 1 Mei 1945. Pasukan Sekutu dipimpin oleh Brigadir David Whitehead. Pasukan pendarat berpindah dari kapal angkut ke kapal yang ukurannya lebih kecil disertai tank amfibi. Menurut Agus Suprapto dalam Perang Berebut Minyak (1996:187), begitu kapal kecil berisi pasukan dan tank amfibi itu berjarak 3 kilometer dari pantai, tembakan meriam-meriam Jepang mulai menebarkan maut.

Sejumlah tank dan kapal pendarat Sekutu terbakar beserta awaknya. Hal ini membuat mental pasukan Sekutu terganggu. Saat laju tentara Sekutu melambat, senapan mesin Jepang pun berhenti menyalak. Baru setelah posisi para serdadu Sekutu semakin mendekat, maka mereka pun kembali menjadi sasaran tembak.

Tentara Jepang sadar musuh berkali lipat lebih kuat dari mereka. Usia perlawanan mereka tidak akan lama, maka itu mereka memberikan perawanan terbaiknya sampai titik darah penghabisan. Selama berhari-hari setelah pendaratan Sekutu, posisi mereka sulit didesak musuh. Dan semakin Sekutu maju ke pedalaman Tarakan, perlawanan mereka kian gigih.

Menurut Agus Suprapto (1996:191-192), pada awal pendaratan tentara Sekutu yang terdiri dari Australia dan AS, tak banyak tentara Jepang yang mereka temukan. Hingga akhirnya Sekutu menemukan lubang-lubang persembunyian yang segera disiram bensin lalu dibakar: serdadu Jepang terpanggang.

Infografik Mozaik Perebutan Tarakan

Infografik Mozaik Perebutan Tarakan. tirto.id/Sabit

Sekutu baru bisa merebut Pangkalan Udara Juwata pada hari ke-6. Sementara serdadu Jepang yang tersisa semakin nekat. Mereka melakukan serangan bunuh diri kepada tentara Sekutu. Dari 2.300 tentara Jepang, akhirnya hanya ratusan yang masih hidup.

Jika bukan karena ditembak atau dibakar tentara Sekutu, tentara Jepang yang mati dikarenakan bunuh diri. Sementara di pihak Sekutu, 200-an serdadu terbunuh dan 600-an lainnya terluka. Ketika Tarakan diduduki, sisa-sisa tentara Jepang ada yang mencoba menyeberang ke Tanjung Redeb. Namun perahu-perahu warga lokal yang hendak digunakan banyak yang sudah dirusak pesawat patroli AS.

Gangguan dari tentara Jepang di Tarakan berupa pertempuran-pertempuran kecil masih berlangsung hingga berminggu-minggu. Hingga, pada 19 Juni 1945--tepat hari ini 76 tahun silam, tentara Sekutu berhasil melumpuhkan dua serdadu Jepang di dekat Bukit 105. Seturut pemberitaan Australian Daily News, kejadian itu dianggap sebagai gangguan terakhir dari tentara Jepang di Tarakan.

Dua hari kemudian, Whitehead baru berani menganggap Tarakan sudah aman. Sementara itu, Operasi Oboe II sedang dipersiapkan untuk menyerbu Balikpapan. Kali ini, agar jumlah korban dari pihak Sekutu tidak terlalu banyak, maka kota Balikpapan terlebih dahulu dibombardir selama berminggu-minggu.

Pihak yang paling diuntungkan dengan didudukinya Tarakan dan lalu Balikpapan adalah Belanda. Tentara Australia kehilangan kawan mereka yang terbunuh Jepang dan dengan segera jauh lebih jatuh iba kepada penduduk asli di Tarakan yang menderita karena Jepang. Tentara-tentara itu jauh lebih peduli kepada orang Indonesia dibandingkan perwira-perwira Belanda yang justru berusaha menegakkan NICA di kota yang baru diduduki. Belanda kemudian merekrut bekas tawanan perang untuk menjadi KNIL agar bisa kembali menguasai Indonesia.

==========

Artikel ini pernah terbit pada 3 Maret 2021 dengan judul yang sama. Kami melakukan penyuntingan ulang untuk ditampilkan dalam rubrik Mozaik Tirto.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Politik
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Irfan Teguh & Fadrik Aziz Firdausi