Menuju konten utama

Pencitraan Moderat Rouhani, Faktor Bonus Pendorong Aksi Protes Iran

Rouhani dinilai gagal memenuhi janji kampanye yang akan membawa Iran lebih terbuka dan menghormati kaum minoritas Sunni.

Pencitraan Moderat Rouhani, Faktor Bonus Pendorong Aksi Protes Iran
Pemimpin Tertinggi Revolusi Iran Ayatullah Ali Khamenei bersama Presiden Hassan Rouhani. FOTO/Istimewa

tirto.id - Akhir tahun di Iran diramaikan dengan aksi protes massa yang menyita perhatian publik internasional. Pada 28 Desember 2017, massa menyemut di jalanan Kota Masyhad, lalu menyebar ke ibu kota Teheran, Dorud, Abhar, Kermanshah, Tonekabon, dan Karaj, selama kurang lebih empat hari. Rata-rata protes dari mayoritas kelas bawah ini mengerucut atas penaikan harga kebutuhan pokok, pengangguran yang masih tinggi, dan korupsi di tubuh pemerintahan.

Setidaknya tiga hal itu menjadi porsi pemberitaan terbesar media-media massa. Namun Alex Vatanka, peneliti senior Middle East Institute, lembaga tangki pemikiran dari Washington D.C., menawarkan sudut pandang lain mengenai politik kontemporer di Iran. Dalam analisisnya untuk Foreign Affairs, Vatanka menyebut sikap moderat Presiden Hassan Rouhani hanya pencitraan dan menjadi pendorong kemarahan massa.

Pada 12 November mendatang Rouhani akan berusia 70 tahun. Ia lahir di satu desa bernama Sorkjej di Provinsi Semnan. Dalam catatan BBC News, Rouhani termasuk salah satu pemain kunci dalam politik nasional Iran sejak Revolusi 1979. Sepanjang perang Irak-Iran tahun 1980-an ia menempati sejumlah posisi elite yang berdampak terhadap karier politiknya pada era 1990-an dan awal 2000-an.

Sejak 1989 hingga 2005 Rouhani mendapat posisi sebagai sekretaris Dewan Keamanan Nasional Tertinggi (Showrāye Āliye Amniyate Mellī), badan pembuat keputusan tertinggi di Iran yang ditunjuk oleh serta bertanggung jawab kepada Pemimpin Tertinggi. Pada 2003-2005 ia mengepalai badan negosiator nuklir sehingga semakin dikenal oleh pemimpin negara-negara Barat yang berusaha mengontrol program nuklir Iran.

Menjelang pemilihan presiden 2013, Rouhani mencitrakan diri sebagai politisi yang moderat dan reformis. Ia paham bakal menjadi pelawan arus di tengah konservatisme mayoritas politisi, baik yang turut mencalonkan maupun mendukungnya. Namun ia juga tahu lakon sebagai politisi moderat punya daya tarik menjaring suara dari elemen masyarakat Iran kekinian yang makin merindukan jaminan dan cakupan kebebasan sipil lebih luas serta perbaikan ekonomi.

"Pemerintah yang kuat tidak sama dengan pemerintah yang menghalangi dan mencampuri segala macam urusan. (Pemerintahan yang kuat) tidak membatasi kehidupan rakyat," ujar Rouhani sebulan sebelum pelantikannya pada 2013 seperti dilansir BBC. Ia menegaskan sudah saatnya partisipasi rakyat dalam pemerintahan dimulai.

Pada 7 Mei 2013 Rouhani mendaftarkan diri sebagai kandidat calon presiden. Setelah lolos penyaringan oleh Dewan Wali (Shūra-ye negahbān-e qānūn-e āsāsī) sebagai calon dari Partai Moderasi dan Pembangunan (Hezb-e E'tedāl va Towse'eh), Rouhani berkampanye dengan moto “Pemerintah yang Bijak dan Harapan”.

Dalam catatan Guardian, janji Rouhani antara lain menstabilkan hubungan Iran dan Barat, yang sebelumnya bertensi panas di bawah dua periode pemerintahan Mahmoud Ahmadinejad. Sanksi nuklir juga jadi prioritas, bersama penegakan hak asasi manusia yang kerap jadi objek kritikan dunia internasional.

Terakhir, Rouhani berjanji merangkul seluruh minoritas di Iran, membuka keran kebebasan mengakses informasi di dunia maya, dan memperbaiki hak perempuan dengan menunjuk juru bicara kementerian luar negeri perempuan.

Gagal Memenuhi Ekspektasi Kaum Moderat dan Minoritas

Banyak pengamat yang percaya Rouhani bukan pilihan pertama Pemimpin Tertinggi Iran Ayatullah Ali Khamenei. Namun, Khamenei juga menginginkan konfrontasi Iran dengan Barat terkait nuklir mereda, demi dicabutnya sanksi yang meremukkan ekonomi dalam negeri. Maka Khamenei mendukung dan membantu Rouhani memenangkan pilpres 2013 dengan mengalahkan kandidat lain sekaligus penantang terkuatnya, Mohammad Bagher Ghalibaf.

Pekerjaan yang paling diprioritaskan Rouhani usai disumpah jabatan adalah ekonomi Iran yang menunjukkan tren kurang bergairah akibat sanksi nuklir. Rouhani segera menegosiasikan sanksi dengan P5+1, negara-negara yang sejak 2006 menjalin diplomasi dengan Iran mengenai program nuklir. Sanksi Iran berhasil dicabut pada awal Januari 2016. Ekonomi Iran memang tumbuh di periode pertama pemerintahan Rouhani, tetapi tak diiringi pemerataan kesejahteraan sehingga memicu protes pada awal tahun 2018.

Lebih jauh lagi, sebagaimana analisis Alex Vatanka, janji-janji berlebihan di masa kampanye memang normal di Iran. Namun dalam kasus Rouhani, ada jarak yang cukup lebar antara janji kampanye dan realisasinya di lapangan.

Infografik HL Indepth Iran

Dalam laporan Guardian Agustus 2017, atau beberapa bulan sejak kemenangan dalam pemilihan presiden, Rouhani mendapat tekanan dari luar pemerintahan, terutama dari kalangan aktivis perempuan, karena tak kunjung menunjuk menteri perempuannya. Seluruh pejabat kementerian Rouhani di periode pertama adalah laki-laki. Namun setelah satu periode berlalu, orang-orang mulai curiga apakah sikap moderat Rouhani mulai tergerus oleh tekanan pihak konservatif.

Rouhani bahkan kalah dari Ahmadinejad yang pada tahun 2009 mencalonkan tiga perempuan sebagai menteri meski kemudian ditentang anggota parlemen dan ulama senior yang konservatif. Setelah melalui pelbagai pertimbangan, salah satu dari tiga calon tersebut, Marzieh Vahid-Dastjerdi, akhirnya disepakati jadi menteri perempuan pertama Iran pasca-Revolusi 1979. Ia diberi tanggung jawab mengepalai kementerian kesehatan dan pendidikan kedokteran.

“Konservatisme, bagaimanapun, masih memiliki pandangan tradisional terhadap perempuan. Prioritas mereka adalah agar perempuan tetap berada dalam rumah sambil mengurus anak. Bahkan anggota parlemen perempuan memegang perspektif yang sama dan mengejar kebijakan yang sesungguhnya diskriminatif terhadap perempuan,” kata Ghoncheh Ghavami, aktivis perempuan yang tinggal di Teheran, mengomentari pemerintahan Rouhani.

Sikap serupa ditunjukkan Rouhani terhadap minoritas Sunni. Citranya yang moderat pada pemilihan presiden 2017 membuat sebagian besar muslim Sunni memilihnya, demikian laporan Radio Farda. Muslim Sunni di Iran paling banyak tinggal di Kurdistan dan Baluchestan, berdekatan dengan Pakistan dan Afghanistan. Namun, menurut catatan Alex Vatanka, Rouhani memilih menyenangkan para ulama garis keras dengan tidak merangkul politisi Sunni ke kabinetnya. Rouhani bahkan tak menunjuk seorang pun gubernur Sunni di seluruh 31 provinsi Iran.

Vatanka juga menyebut bagaimana kebijakan luar negeri Iran tetap dipertahankan pada "momen yang kurang tepat." Dalam laporan Washington Post pada 3 Januari 2018, massa aksi protes bertanya, mengapa pemerintah Iran masih menghabiskan jutaan dolar AS untuk kebijakan menyokong perang di luar negeri, terutama di kawasan Timur Tengah, sementara dana subsidi kebutuhan pokok dipotong?

Aksi massa pun tumpah merespons rencana Rouhani pada bulan Desember 2017 untuk menaikkan anggaran bagi tentara Garda Revolusi, sementara dana segar, persenjataan, hingga kombatan harus tetap mengalir ke Suriah, Yaman, hingga Lebanon. Para demonstran menganggapnya ironis sebab anggaran publik ini tak dipakai untuk menanggulangi persoalan sehari-hari rakyat Iran, terutama kalangan kelas bawah, yang sebagian besar masih berusaha bertahan hidup setelah peristiwa gempa bumi pada November 2017.

Vatanka mengakhiri analisisnya dengan kesimpulan: Mengawali periode kedua, setidaknya sejak Mei 2017, Rouhani memang sengaja tampil makin konservatif. Tujuannya agar bisa mendekati kelompok garis keras, terutama di Majelis Ahli (Majles-e Khobregān-e Rahbari). Lembaga ini berwewenang menunjuk pemimpin tertinggi setelah Khamenei mangkat, dan Rouhani memang mengincarnya sebagai visi jangka panjang.

Rouhani, tulis Vatanka, tak pernah menyebut dirinya reformis—demikian pula rakyat Iran.

“Kemenangannya pada pemilu kurang berkaitan dengan popularitasnya ketimbang ketidakpopuleran lawannya yang garis keras, Ebrahim Raisi.”

Bertarung dengan Raisi Memengaruhi Garda Revolusi

Dalam laporan Reuters, sejak mendekati pemilihan presiden tahun lalu, Garda Revolusi memang mulai menggodok suksesi pemimpin tertinggi. Tapi ini dilakukan secara diam-diam. Informasi yang disebutkan Ali Alfoneh, peneliti senior Atlantic Council yang mendalami Garda Revolusi, menyebutkan langkah Rouhani bakal cukup terjal sebab Garda Revolusi sebenarnya menghendaki Ebrahim Raisi sebagai pengganti Khamenei.

Raisi menjadi penantang terkuat Rouhani pada pilpres 2017. Ia mewakili Asosiasi Ulama Kombatan (Jāme'e-ye Rowhāniyyat-e Mobārez) dan meraup 15,8 juta atau 38,28 persen. Sementara Rouhani berjaya di posisi pertama dengan 23,6 juta suara atau 57,14 persen.

Konservatisme Raisi kokoh. Ia, misalnya, mendukung pemisahan ruang berdasarkan jenis kelamin di ruang-ruang kerja. Ia pun mendukung Islamisasi universitas-universitas di Iran, pengetatan penggunaan internet dan sensor dari segala hal yang dianggap berbau Barat. Alih-alih penghalang, Raisi justru melihat sanksi ekonomi sebagai kesempatan untuk mandiri. “Ekonomi perlawanan” yang ia gadang-gadang diklaim mampu mengurangi angka kemiskinan di Iran.

Meski kalah melawan Rouhani, Garda Revolusi sempat berjuang keras untuk melambungkan Raisi selama kampanye pilpres 2017 dengan cara menggandeng kelompok paramiliter Basij. Mobilisasinya, menurut Ali Alfoneh, hingga menjangkau ke area pedesaan dan perkotaan besar. Dengan demikian, lanjut Ali, pemilu 2017 bukan soal pemilihan presiden, tapi calon pemimpin tertinggi masa depan.

Sayangnya upaya Garda Revolusi menemui kegagalan akibat kemenangan Rouhani. Tapi bukan berarti mereka menyerah, sebab pada dasarnya konservatisme Raisi otomatis menempatkannya sebagai oposisi rezim Rouhani. Tak heran jika pihak Rouhani kemarin turut menuduh Raisi sebagai dalang di balik protes anti-pemerintah yang diramaikan dengan slogan “Matilah kau Rouhani!”

Baca juga artikel terkait IRAN atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Politik
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf