Menuju konten utama

Pencabutan Remisi Pembunuh Wartawan Bali Pertontonkan Masalah Lain

Pencabutan remisi memang patut diapresiasi, tapi itu tetap saja mempertontonkan bahwa memang ada masalah.

Pencabutan Remisi Pembunuh Wartawan Bali Pertontonkan Masalah Lain
Presiden Joko Widodo memberi sambutan ketika bersilahturahmi dengan pelaku usaha perikanan tangkap penerima Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) di Istana Negara, Jakarta, Rabu (30/1/2019). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

tirto.id - Joko Widodo akan membatalkan remisi terhadap I Nyoman Susrama, terpidana pembunuh jurnalis Radar Bali (Jawa Pos Group) AA Gde Bagus Narendra Prabangsa pada 2009 lalu. Kepastian tersebut disampaikan Jokowi saat Pemimpin Redaksi Jawa Pos Abdul Rokhim menanyakan secara langsung pada puncak peringatan Hari Pers Nasional 2019 di Surabaya, Sabtu (9/2/2019) kemarin.

Sebelumnya Susrama divonis penjara seumur hidup, namun dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 29 Tahun 2018, bekas caleg dari PDIP ini dapat remisi bersama 115 narapidana lainnya. Hukumannya jadi cuma 20 tahun.

“Saat itu (ketika mendatangi kantor Radar Bali) pak Jokowi menyatakan akan mengkaji remisi I Nyoman Susrama. Kami tunggu sampai empat hari lebih tidak ada kabar. Makanya langsung saya tanyakan,” kata Rokhim.

Pertontonkan Masalah Lain

Keputusan Jokowi itu memang disambut baik pelbagai pihak, tak terkecuali dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Tapi toh ada aspek lain dari itu: bahwa pencabutan remisi pembunuh wartawan memperlihatkan bahwa memang ada masalah di pemerintahan saat ini. Direktur LBH Pers Ade Wahyudin misalnya, melihat pemberian dan kemudian pencabutan remisi menandakan masalah yang dimaksud terkait dengan koordinasi antar lembaga.

“Dalam memutuskan remisi, grasi, atau yang lainnya itu pemerintah kerap ‘kecolongan’. Ketika sudah ramai, baru direspons. Artinya memang tidak ada kajian atau dampak sosial, beserta nilai-nilai keadilan yang berlaku,” kata Ade.

Hal serupa dinyatakan Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati.

Asfin menilai, pemberian dan pencabutan remisi menandakan ada yang salah dari koordinasi pemerintah, mulai dari Kepala Lapas, Direktur Jenderal Lapas, hingga Menteri Hukum dan HAM.

“Kesalahan pembuatan keputusan tersebut menunjukkan orang di bawah presiden tidak bekerja dengan benar, dan semua orang sudah tahu,” ujar Asfin kepada reporter Tirto.

Seperti Ade, Asfin juga mengatakan pemberian remisi tak dikaji dengan baik karena pencabutan baru dilakukan setelah ada desakan masarakat. Desakan yang dimaksud termasuk demonstrasi para wartawan menentang pemberian remisi di berbagai kota beberapa hari yang lalu, juga audiensi dengan Kemenkumham.

Pernyataan ini secara tidak langsung dibenarkan Dirjen Pemasyarakatan (PAS) Kemenkumham, Sri Puguh Budi Utami, ketika ia mengatakan kalau salah satu alasan mereka membatalkan remisi Susrama adalah karena “aspirasi masyarakat.”

“Kami sampaikan kepada jajaran, ketika ada perkara yang menarik perhatian masyarakat, tolong hati-hati, harus mempertimbangkan berbagai aspek,” kata Sri, Jumat 8 Februari kemarin.

Sri menerangkan, pemberian remisi Susrama sebenarnya sudah melalui prosedur sesuai Keppres 174/1999. Susrama, seperti narapidana lain, perilakunya dipantau dan dinilai oleh lembaga pemasyarakatan (lapas). Setelah penilaian itu disetujui, maka dokumen diajukan ke ke kantor wilayah Kemenkumham. Prosedur remisi setelah penilaian, kata dia, berlanjut ke Ditjen Pemasyarakatan, Menkumham, hingga presiden.

Menkumham Yasonna Laoly juga mengatakan remisi Susrama “memang sudah proses umum.” Tapi, berdasarkan kesaksian Sri, Yasonna membuat kajian ulang untuk remisi Susrama setelah muncul banyak tekanan dari publik. Kajian tersebut dilakukan dengan dasar UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Ada dugaan kalau Kemenkumham tak mengecek ulang nama-nama yang akan diberi remisi. Juga dengan Jokowi sebelum meneken keputusan remisi.

Pangkas Pangkal Masalah

Dari penjelasan Sri, kita tahu kalau remisi berawal dari penilaian oleh tim di lapas, baru kemudian secara komando diteruskan hingga struktur paling atas.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR), Anggara, mengatakan apa yang terjadi di lapas itulah yang mesti diperbaiki pertama kali. Jika tidak, masalah serupa bisa terulang.

“Aturannya [saat ini] menjelaskan bahwa soal remisi dan lain sebagainya itu fokus pada pembinaan pada lapas,” ujar Anggara.

Masalahnya, lapas di Indonesia sudah kelebihan orang. Memberi remisi adalah jalan pintas agar tak terlalu banyak yang dipenjara. “Karena mereka memang terbiasa untuk melihat remisi sebagai peluang untuk mengatasi overcrowding,” ungkap Erasmus Napitupulu, peneliti ICJR, sebelum Jokowi meneken pembatalan remisi.

Guna mengantisipasi agar tidak ada hal semacam ini berulang, pengajar ilmu Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentara, Bivitri Susanti, pernah menganjurkan agar Keppres Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi bisa direvisi. Bivitri menegaskan bahwa revisi beleid tersebut harus berfokus pada perbaikan prosedur dan dari segi materi yang menjadi pertimbangannya.

Menurut Bivitri, pertimbangan pemberian remisi tidak bisa hanya dilakukan secara internal oleh Kemenkumham. Ia menilai perlu adanya proses yang lebih transparan serta melibatkan sejumlah pemangku kepentingan, termasuk masyarakat.

“Lalu harus ada juga pembacaan terhadap profil narapidananya. Jangan sampai cuma berdasarkan perhitungan matematikanya saja [remisi] dilihat. Tapi juga perlu dilihat terpidananya dalam kasus apa,” ucap Bivitri.

Baca juga artikel terkait REMISI SUSRAMA atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Hukum
Reporter: Fadiyah Alaidrus & Damianus Andreas
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Rio Apinino