Menuju konten utama

Penangkapan Paksa Demonstran IWD di Malang, Makassar & Papua

Terjadi beberapa penangkapan paksa saat aksi hari perempuan internasional pada 8 Maret lalu.

Penangkapan Paksa Demonstran IWD di Malang, Makassar & Papua
Massa aksi damai Women's March 2018 membawa atribut poster yang menyuarakan isu-isu perempuan, Jakarta, Sabtu (3/3/18). Tirto.id/Hafitz Maulana

tirto.id - Peringatan internasional women's day (IWD) atau hari perempuan internasional pada 8 Maret lalu diwarnai oleh penangkapan paksa para demonstran di berbagai daerah. Dari mulai Malang, Makassar, hingga Jayapura.

Akbar Rewoko, salah satu peserta aksi IWD di Makassar, Sulawesi Selatan hendak mengambil kendaraan untuk pulang di depan Pantai Losari pukul 17.35 WITA. Ketika itu ia bersama demonstran lain dari elemen serikat buruh, warga Papua, hingga Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar.

Tiba-tiba seseorang berteriak kalau aksi ini didalangi oleh orang-orang yang pro Papua merdeka. Akbar sadar dia anggota ormas meski tak tahu ormas apa karena tak berseragam.

"Kawan-kawan massa aksi diintimidasi, diteriaki, dan ditunjuk-tunjuk. Salah satu kawan perempuan dari LBH Makassar bahkan dikatai, 'ini dalangnya, anti pancasila'," kata Akbar kepada reporter Tirto, Selasa (9/3/2021).

Massa dari Papua pulang dengan menaiki angkot lima menit kemudian, tapi anggota ormas tak juga berhenti bertingkah. "Anggota ormas masih tetap meneriaki dan menunjuk-nunjuk kawan-kawan perempuan dengan kalimat, 'kau pakai jilbab tapi dukung LGBT'."

Tak lama kemudian, sekitar 10 anggota ormas mendatangi massa dan meminta mereka membubarkan diri.

Akbar yang dikerubungi anggota ormas mendapatkan kekerasan verbal. Setelah sempat adu mulut, tiba-tiba polisi menarik Akbar dan memaksanya masuk ke mobil Jatanras pukul 17.46 WITA.

Salah satu peserta aksi bernama Alim mengikutinya untuk merekam tapi akhirnya dia pun ikut dibawa. "Saya ikut diseret masuk mobil Jatanras. HP saya dirampas, tapi tidak saya kasih."

Akbar dan Alim dibawa ke Polrestabes Makassar untuk dimintai keterangan. "Paginya kami dilepaskan. Saya tidak tahu status kami sebagai apa sampai ditangkap."

Reporter Tirto telah menghubungi Kapolda Sulsel Irjen (Pol) Merdisyam, namun hingga berita ini tayang dia belum merespons.

Penangkapan paksa juga terjadi di Malang, Jawa Timur. Kali ini jumlahnya lebih banyak, 28 orang. Aksi digelar di samping Stadion Gajayana-Kapolresta Malang kota.

Penangkapan terjadi saat aparat keamanan yang terdiri dari TNI, Polri, dan Satpol-PP meminta massa aksi atas nama Gerakan Perempuan Bersama Rakyat (Gempur) bubar karena alasan COVID-19--Malang merupakan zona merah penyebaran. Mereka juga disebut tidak memiliki izin dan membawa isu Papua.

Pukul 10.15 WIB, massa mulai membentangkan spanduk, poster, dan peralatan aksi dalam barisan. 10 menit kemudian, polisi bertindak represif dengan mendorong massa aksi dan memaksa mereka membubarkan diri. Aparat terutama mempermasalahkan poster tentang isu Papua bertuliskan "tolak otsus, referendum" dan mendengar teriakan "Free West Papua".

Aparat mencoba menerobos barisan, merampas poster, dan menarik demonstran agar keluar. Massa coba menahan.

"Beberapa massa aksi IWD mulai pingsan dan sesak nafas karena kepungan pihak keamanan," kata Daniel Siagian, Koordinator Advokasi LBH Surabaya pos Malang kepada reporter Tirto, Selasa.

Para demonstran akhirnya ditangkap dan dipaksa naik ke mobil Dalmas pukul 10.59 WIB. Penangkapan ini, kata Daniel, disertai "pemukulan dan tendangan oleh aparat kepolisian dan TNI."

Di seberang jalan, seorang demonstran dari organisasi Pembebasan bernama Irfan dikepung dan dikeroyok polisi dan TNI. Massa yang dimasukkan ke mobil Dalmas mengamuk melihat itu. Mereka pun memecahkan kaca mobil. Para demonstran yang memecahkan kaca mobil ditangkap dan dibawa ke Mapolresta Kota Malang. Mereka tiba sekitar pukul 11.36 WIB.

Setelah dimintai keterangan, koordinator lapangan aksi IWD, Alam, dan 11 demonstran lain dimasukkan ke ruangan. "Satu per satu kawan-kawan ditarik masuk untuk diinterogasi di dalam ruangan. Sementara delapan kawan lainnya dijemur di panas matahari kurang lebih satu jam," kata Daniel.

Harry Loho (23), salah satu mahasiswa asal Papua peserta aksi, ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan perusakan dan perlawanan terhadap aparat.

Kabid Humas Polda Jawa Timur Kombes Pol Gatot Repli Handoko mengklaim aksi dibubarkan lantaran tidak mendapatkan izin dari Polresta Malang.

Demonstrasi sebenarnya tak butuh izin aparat tapi hanya surat pemberitahuan. Gempur sendiri telah melayangkan surat tersebut sejak H-3.

Gatot pun membenarkan telah menetapkan Harry Loho sebagai tersangka. "Yang bersangkutan bertanggung jawab atas perusakan kendaraan dan melukai anggota karena pelemparan batu, yang berakibat demo menjadi rusuh," kata Gatot ketika dikonfirmasi reporter Tirto, Selasa.

Lebih jauh ke timur, penangkapan paksa demonstran juga terjadi di Jayapura, Papua.

Awalnya, Aliansi Perempuan di Papua menggelar aksi di tiga titik: Expo; Perumnas Tiga; dan Abe Lingkaran sekitar pukul 08.00 WIT.

Satu jam kemudian, setelah orasi, massa aksi di Expo dihampiri polisi. Aparat memaksa mereka bubar dengan alasan tidak menerima surat pemberitahuan aksi, tak menggunakan masker, dan mengganggu ketertiban lalu lintas. Negosiasi coba dilakukan namun alot. Akhirnya polisi mendorong-dorong massa, lalu mengambil megafon, pamflet, dan baliho.

"Kemudian dengan tindakan fisik menarik paksa massa aksi menuju mobil Dalmas dan dibawa menuju Polresta Jayapura," kata jenderal lapangan aksi IWD, Rossyana Zine K, melalui keterangan tertulis, Selasa.

Sembilan demonstran yang ditangkap diminta keterangan di Polresta Jayapura. Mereka adalah Rossyana Zine K; Christin B. Wakerkwa; Alfando Kogoya; Elias Hindom; Yurdin Kogoya; Astry B. Yikwa; Iman Kogoya; Warinus Murib; dan Yokbeth Felle. Mereka tidak memberikan informasi karena menunggu pendampingan hukum.

Setelah didampingi LBH Papua dan PAHAM Papua, akhirnya mereka dibebaskan.

Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol Ahmad Musthofa Kamal mengklaim pembubaran peringatan IWD dilakukan lantaran "giat (demonstrasi, bahasa polisi) tidak ada pemberitahuan." Lalu sembilan demonstran yang dibawa ke Polresta Jayapura, klaim dia, tidak ditangkap melainkan hanya diberikan pengarahan.

"Pada saat diperintahkan untuk bubar, kan, alot. Langsung negosiasi baru diamankan. Sesampainya di polres mereka memahami dan diantar ke Perumnas III, dibebaskan," kata Kamal kepada reporter Tirto, Rabu (10/3/2021).

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan penangkapan demonstran merupakan bukti kemerdekaan menyampaikan pendapat di Indonesia masih buruk. Asfin juga mengkritik pernyataan polisi yang mengatakan demonstran tidak mengantongi izin. Berdasarkan UU Nomor 9 Tahun 1998, kata Asfin, demonstrasi hanya butuh surat pemberitahuan ke aparat.

Ia juga mengkritik keterlibatan ormas dalam membubarkan massa di Makassar. "Kenapa polisi membiarkan? Ini jelas-jelas diskriminasi perlakuan yang mencolok," kata Asfin kepada reporter Tirto, Selasa.

Menurutnya baik polisi atau ormas yang menghalangi warga menyampaikan pendapat telah melanggar UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, yang dapat dipidana paling lama satu tahun penjara.

Baca juga artikel terkait HARI PEREMPUAN INTERNASIONAL atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Hukum
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino